RESENSI NOVEL
“12 MENIT” Dreaming is Believing, Vincero!
Judul : 12 Menit
Penulis : Oka Aurora
Penerbit : Noura Books-Jakarta
Halaman : xiv + 348 hlm.
Cetakan : I, Mei 2013
Kategori : Fiksi
Mereka berlatih ribuan jam hanya demi 12 menit penentuan. Kalimat yang sangat mengugah ketika membaca bagian cover belakang novel satu ini. Tergugah untuk membaca, tergugah untuk menyelami lebih dalam lagi tentang arti meraih mimpi, belajar untuk percaya pada mimpi. Novel dengan sudut pandang orang ketiga serba tahu ini memberikan karakter-karakter yang sangat mendalam pada semua tokoh yang terlibat. Alur maju mundur yang tertata apik oleh Oka Aurora membuat pembaca turut memainkan emosi, emosi yang tak menentu. Bingung -tak paham istilah-istilah yang muncul-, geram, sedih, haru, lucu, dan berbagai emosi yang begitu membuncah dari awal hingga akhir.
Tara, seorang gadis yang pendengarannya tinggal beberapa persen saja. Rasa bersalah yang tak kunjung reda, merasa penyebab kecelakaan yang membuat ayahnya meninggal serta hilangnya pendengarannya adalah dirinya sendiri. Setahun setelah ayahnya meninggal, ibunya pergi keluar negeri untuk kuliah lagi meninggalkan dirinya. Dia tak sendiri, dia bersama oma dan opa yang sangat menyayangi cucu satu-satunya ini. Kekuatan orang-orang disekitar membangkitkan semangat Tara, tak peduli akan pendengarannya yang hanya beberapa persen. Tara tetap berjuang untuk meraih mimpi bersama 130 teman-temannya beserta staf untuk membawa Marching Band Bontang Pupuk Kaltim menjadi juara di Grand Prix Marching Band (GPMP). Emosi yang masih labil sempat membuat Tara ingin berhenti, kata-kata sang pelatih “Kalau telingamu tak bisa dipakai, pakai matamu! Dan, pakai hatimu.”(hal 142). Terus terngiang-ngiang di kepala Tara, permintaan maaf sang pelatih serta bujukan Opa yang mengibaratkan si Doyok yang harus di dorong terus hingga melewati tanjakan, tak meluluhkan hati Tara yang terlanjur keras. Banyaknya hari yang berlalu akhirnya membuat Tara sadar bahwa apa yang di katakan pelatih benar adanya. Benar adanya bahwa yang paling kecewa kalau dia menyerah adalah dirinya sendiri, bukan oma dan opa, bukan ibunya atau siapapun tetapi DIRINYA.
Elaine, seorang gadis yang pandai memainkan biola, yang menganggap musik adalah segala-galanya. Gadis yang harus pindah dari kota metropolitan ke kota kecil yang bernama Bontang, yang bahkan tak terbayangkan olehnya bagaimana kehidupannya di Bontang nanti. Gadis ini hanya mengetahui satu hal, bahwa dia harus pindah ke kota kecil itu untuk ikut serta ayahnya ,Josuke Higoshi. Laki-laki keturunan Jepang yang beperangai keras tidak mendukung Elaine di bidang musik karena mengaggap hal itu sia-sia. Namun, gadis pintar nan cerdas ini tak menyerah begitu saja. Nilai yang menjadi patokan ayahnya agar dia tetap bisa mengikuti Marching Band di kota kecil itu mampu diraih tanpa kesulitan yang berarti walaupun harus latihan di stadion hingga malam tiba. Sembilan puluh lima, memang bukan angka yang sempurna tetapi itulah target yang diberikan Josuke, dan Elaine selalu melampaui target tersebut. Dilema baru datang ketika Elaine terpilih mengikuti olimpiade fisika dan field commander yang mengalami kecelakaan menyebabkan Elaine dipilih sang pelatih untuk menjadi field commander. Elaine sangat tahu bahwa ayahnya akan menyuruhnya memilih mengikuti olimpiade fisika, bukan memilih lebih tepatnya memaksa. Ibu Elaine yang pengertian membuat Elaine sedikit lebih tenang dalam mengambil keputusan, begitu pula pengalamannya berkunjung ke rumah Lahang, kunjungan yang mengingatkannya pada kata-kata gurunya di masa lalu. Elaine akhirnya mengambil keputusan tanpa memberitahukan hal itu pada ayahnya.
Lahang, anak keturunan dayak yang keadaan bapaknya semakin hari semakin memburuk. Lahang harus berjuang mencapai tempat latihan Marching Band Bontang dengan langkah demi langkah melewati rawa yang ada buayanya, jembatan dengan kayu tipis yang kapan saja bisa terperosok kedalam air rawa, semak-semak, pasir, serta puluhan kilometer jauhnya tak sedikitpun menyurutkan semangat Lahang untuk melihat Monas seperti impian ibunya yang sudah berpulang lebih dulu. Ya.. Ibu Lahang sudah berpulang ketika usianya 12 tahun, menjelang lulus SD. Lahang mengikuti lomba yang diadakan oleh Perhimpunan Tari di Samarinda. Berbekal biaya seadanya, dia pulang dengan membawa piala dua hari setelah ibunya meninggal. Kali ini ketika Ia ingin memenuhi impiannya, keadaan bapak Lahang semakin mengkhawatirkan apalagi setelah Pemeliatn mengatakan hal yang sebenarnya. Lahang semakin terpuruk namun dia segera berteriak dalam hati, “Kamu masih hidup, Lahang. Jadi, hiduplah. Jangan macam orang mati!”.
Sang pelatih, Rene. Rene seorang wanita lulusan fakultas Music Education and Human Learning di Amerika. Pelatih yang keras namun berhati lembut. Dia menyadari bahwa melatih anak-anak Bontang tidaklah sama dengan melatih anak-anak Jakarta. Mereka punya masalah pribadi masing-masing. Harus ekstra kesabaran serta keteguhan untuk meningkatkankan semangat mereka. Tak tanggung-tanggung kata-kata penyemangat sang pelatih membakar semangat anak-anak Bontang untuk meraih impian. “Think like champion and fight like one.”
Kesuksesan butuh pengorbanan.
By: Asti (JKT)