“Dua puluh empat yang paten. 24 jam. Waktu yang singkat untuk berjaya. Tapi sangat cukup untuk berbahagia dan bermanfaat bagi setiap insan”
***
Dua puluh empat jam waktu sehari, tidak kurang dan tidak lebih, selalu seperti itu setiap harinya. Tidak ada beda untuk si kaya dan si “yang butuh berjuang lebih”. Tidak ada beda untuk si cantik dan si pas pas-an. Dan juga tak ada beda bagi warga negara berkembang maupun negara maju. Dua puluh empat jam yang sama tiap orangnya. Dua puluh empat yang paten. 24 jam. Waktu yang singkat untuk berjaya. Tapi sangat cukup untuk berbahagia dan bermanfaat bagi setiap insan. Bagaimana harimu menyikapi dua puluh empat jam milikmu tahun lalu, bulan lalu, kemarin dan hari ini? Coba ingat! Pahami. Dua puluh empat jam itu akan berpengaruh pada dua puluh empat jammu selanjutnya.
Sedikit cerita mengenai bagian dari dua puluh empat jamku yang telah berlalu. Tidak terlalu menarik tidak terlalu bombastis tapi cukup pantas disanjung “ISTIMEWA”. Pemandangan yang masih asri, hingga keramaian warga desa Deresan Bantul Projo Tamansari mampu membuat beberapa rekanku terkesima dan akhirnya nyasar. Bukan ironi yang perlu disesali yaa teman, di sini kami tetap menunggu. Hingga akhirnya kita bersua. Diawali basa basi khas negeri sampai bergerak dengan pasti kita jajaki setiap rumah untuk berburu penerus bangsa. Sedikit kecewa tapi tak apa, tidak sesuai ekspetasi, ya ini realita. Kedatangan kami kiranya kalah dengan segarnya sungai, hemm penerus bangsanya malah asyik renang. Tidak menyalahkan sih, memang dari minggu kemarin mereka berencana untuk mengeksplorasi keindahan alam daerahnya. Tapi? Terus bagaimana dengan kami? Seketika rencana emas yang disiapkan terancam punah. Bagian dari dua puluh empat jamku harus rela terbuang untuk menunggu. Begitu pula dengan bagian dari dua puluh empat jamnya para Jendelist Bantul. Hingga akhirnya Resi dan Iban membawa kehangatan melalui senyumannya saat mereka datang dan langsung menyerbu buku.
Untuk menerkam lebih banyak mangsa tentu saja butuh perangkap, kami mulai memainkan ular tangga jumbo. Awalnya hanya Resi, Iban, Kak Ilak dan Kak Irma yang main. Tapi lama kelamaan, adik-adik lain mulai berkumpul menyerbu untuk ikut dalam keasyikan yang berhasil kami bangun. Lucu dan polos, mereka pun malu-malu ingin bergabung dalam permainan. Finish, Iban memenangkan permainan disusul oleh Resi. Sayangnya, kakak tercinta kami malah kalah sama jagoan-jagoan bangsa. Jangan malu yaa, Kak! Capek bermain, mereka pun beristirahat sambil clingak-clinguk seperti sedang menginvestigasi.
Tapi namanya anak kecil yaa tidak terduga dan gampang tergoda. Mereka terbujuk rayuanku untuk membantu mengambilkan daun singkong dan daun pepaya milik Pak Dukuh. Ini saya nggak ngajarin nyuri ya, sebelumya sudah setting-an sama Pak Dukuhnya. Permainan untuk melatih kreatifitas dan kesabaran, permainan butsir atau jiplak pola dengan cipratan pewarna mungkin kalian kalau mengingat ini jadi kembali bernostalgia saat jaman Taman Kanak-kanak dulu. Tapi sayangnya, kerajinan seperti ini tidak diajarkan lagi. Sebenarnya bagus juga sih karena mereka akhirnya lebih menikmati. Pola awal yang dibuat yaitu dari daun dengan tiga warna tersedia, yaitu hijau, kuning, dan hitam. Setelah selesai menggunakan daun yang telah terciprat, mereka kembali menggosok sisirnya dengan sikat gigi namun yang mereka jiplak adalah gambar-gambar tempat ibadah agama dan kepercayaan di Indonesia. Beberapa anak dengan tepat menjawab nama dan agama apa dari bangunan tersebut. Adapula yang justru mendapat informasi tambahan mengenai keberagaman agama di Indonesia.
Langkah para Jendelist makin membara ketika anak anak terbagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang masih asyik bermain ular tangga jumbo penuh edukasi, ada pula yang masih aktif mem-butsir meskipun sudah membuat 3 pola indah. Ada pula yang mencoba permainan baru seperti bermain labirin mencari tempat ibadah, puzzle tempat ibadah, dan bermain ABCD “Aku Bangga Cinta Daerah”. Permainan terakhir yang dilakukan bersama sama oleh Kakak Jendela dan para calon kebanggaan bangsa Indonesia adalah tebak profesi. Games terakhir ini cukup anarki, anarki yang menggemaskan. Kami harus membuat gaya yang sama untuk tiap kategori yang disebutkan. Apabila berbeda, kami harus menjawab pertanyaan dengan tema toleransi beragama. Dengan cerdas mereka menjawab pertanyaannya. Dan yang paling membanggakan adalah kedatangan kami membawa wawasan sekaligus tawa mereka.
Begitulah bagian dari dua puluh empat jam yang selalu berharga milikku. Bagian dari dua puluh empat jamku yang membawa asa untuk perkembangan diri pribadi sekaligus benih-benih unggul bangsa. Bagian dari dua puluh empat jamku yang lebih penting dari memandang telepon pintar kemudian scroll up tanpa tujuan. Inilah dua puluh empat jam yang akhirnya beralamat tanpa sesal. Beberapa jam yang entah. Tapi yang ini, istimewa. Terima kasih Tuhan, dua puluh empat jam kemarin, terima kasih Jendela dan terima kasih untuk diriku sendiri dengan segala pilihan hidupku.
Written by : Zagita