Zaira dan Turgo
Minggu, 11 September 2016
Pagi itu Zaira tidak sedang bermimpi indah di tempat tidur, tidak pula sedang melakukan senam jari dengan handphone sembari tidur. Pagi itu, Zaira sudah berpisah dengan tempat tidur tercinta menuju titik kumpul di depan Universitas Islam Indonesia. Sayangnya, pagi itu tidak Zaira awali dengan hal yang baik. Zaira datang paling akhir, dan hal itu benar-benar membuat Zaira merasa bersalah dan malu dengan sendirinya.
Perjalanan pun dimulai.
Dari Jalan Kaliurang Km.14 kami berjalan beriringan menuju desa Turgo di lereng Gunung Merapi.
Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih 45 menit. Desa Turgo berada di koordinat 7o35’47,57’’S 110o24’58,53’’T dengan ketinggian 869 mdpl. Lokasinya bisa dibilang jauh, tapi karena suasana sekitar jalan yang sangat hijau dan tidak ada kemacetan, perjalanan terasa mengalir begitu saja.
Semakin dekat dengan desa tujuan, semakin pula kami menemukan jalan yang menanjak, naik-turun, serta berkelok. Banyak sekali kebun buah salak yang menghiasi kanan-kiri jalan. Sesekali Zaira pun melihat air jernih mengalir deras di selokan. Suasana itu, benar-benar menenangkan.
Sesampainya di dusun Turgo, kami pun menuju Rumah Baca. Rumah Baca adalah salah satu tempat (rumah) yang bisa disebut juga sebagai perpustakaan kecil yang didirikan oleh Komunitas Jendela Jogja.
Sepi, sunyi, tidak ada orang. Ruangan itu kosong tanpa seorang anak kecil pun di dalamnya.
Kami yang sudah menyiapkan kegiatan untuk hari ini akhirnya menjemput salah satu “bos geng” dari anak-anak di dusun Turgo.
“Bos geng” ini bernama Ari. Dia cukup sering mengikuti kegiatan Jendela Jogja. Dia juga sudah sangat akrab dan hafal dengan beberapa dari kakak-kakak yang sering datang mengunjunginya.
Beberapa dari kami dan Ari pun akhirnya pergi menjemput teman-teman yang lainnya. Sasaran kami adalah anak-anak kecil mulai dari Balita sampai sekitar SMP.
“Penjemputan” ini bukanlah hal yang mudah menurut Zaira. Selain karena jalan yang naik turun, lokasi rumah warga tidak tepat berada di pinggir jalan aspal. Jadi, Zaira harus turun menuju rumah warga yang jalannya terbuat dari batu-batu berukuran sedang, kemudian naik untuk kembali mencapai jalan aspal.
Hal itu benar-benar melatih skill mengendarai motor bagi Zaira.
Alasan lain mengapa “penjemputan” itu bukanlah hal yang mudah adalah karena belum adanya keinginan atau inisiatif dari mereka untuk melakukan kegiatan bersama kami (Jendela Jogja). Dua gadis kecil yang Zaira temui di jalan menggelengkan kepala ketika Ari mengajak. Kakak beradik di rumah pertama yang Zaira kunjungi beralasan akan pergi membeli peralatan sekolah untuk persiapan sekolah (Zaira baru mengetahui kebenarannya setelah sang Ibu keluar rumah). Serta rumah terakhir yang Zaira kunjungi langsung menutup pintu setelah melihat Zaira dan Mas Fahmi datang beserta satu anak lainnya. Negosiasi sangat diperlukan di sana. Ajakan yang di lakukan pun tidak bisa secara langsung dan memaksa.
Penjemputan itu juga membuat Zaira sadar akan pentingnya bahasa. Zaira yang telahir dari Ayah-Ende, Ibu-Banyumas, 18 tahun kurang 5 hari hidup di Surabaya, sehari-hari di rumah memakai Bahasa Indonesia-Surabaya, benar-benar dibuat bingung ketika harus berkomunikasi dengan orang yang lebih tua menggunakan Bahasa Jawa halus. Bagaimana mungkin Zaira memakai Bahasa Jawa-Surabaya? Itu akan terdengar sangat sangat sangat kasar.
Setelah penjemputan selesai, kami pun berkumpul di Rumah Baca. Buku-buku baru yang ada langsung dikeluarkan berserakan begitu saja dengan harapan mereka tertarik dan mulai membukanya. Ada anak yang memang tertarik, tapi ada pula anak yang sangat tidak tertarik dan memilih untuk duduk di luar. Setiap anak memang berbeda, “titik leleh” untuk membuat mereka “cair” juga berbeda. Salah satu anak yang menarik perhatian Zaira adalah anak balita bernama Rio. Dia masih belum bisa berbicara dengan lancar, hanya bisa menirukan dan menunjuk sesuatu yang menurut dia menarik.
Selang beberapa menit kemudian, kegiatan Finding Words dan membuat boneka kertas yang kami siapkan belum bisa untuk dikeluarkan. Kegiatan utama ini benar-benar bergantung pada mood mereka. Mood, sekali lagi mood~
Bayangkan, mood anak-anak kecil yang sangat fluktuatif dan dinamis, (mungkin setara dengan cewe-cewe pms) serta cepat bosan, menjadi hal utama yang harus bisa dibaca dan dikontrol untuk dapat terlaksananya kegiatan. Mereka yang saat itu ingin berenang, benar-benar ingin agar keinginannya terwujud, berenang ya berenang. Bahkan sempat ada pilihan untuk pergi ke air terjun yang menurut pengalaman kakak yang sudah pernah kesana adalah sangat jauh.
Akhirnya setelah suasana mencair, mereka pun mau untuk melakukan kegiatan. Kegiatan yang diawali dari Finding Words akan berlanjut pada pembuatan boneka dari kertas. Peraturannya, untuk mendapatkan kertas calon boneka dan gunting, setiap anak wajib untuk menemukan kata di antara banyaknya huruf-huruf tersebut. Permainan Finding Words ini sudah dikategorikan menurut tingkat kerumitannya untuk disesuaikan menurut usia sang pemain.
Suasana menjadi sangat hening dan tenang ketika setiap anak sudah memegang gunting dan kertas calon boneka mereka masing-masing. Kertas yang sudah dipotong kemudian di rangkai dan lem sehingga membentuk boneka kertas seperti ini.
Setelah kegiatan utama yang sudah di rencanakan selesai, beberapa anak mulai merambah kegiatan lain seperti membuat kreasi dari kertas origami.
Sedangkan beberapa yang lainnya mulai menagih janji untuk pergi berenang.
Beberapa dari kami yang memilih untuk ikut pergi akhirnya berangkat menuju kolam renang yang tidak terlalu jauh, sekitar 15 menit untuk bisa sampai ke tempat tujuan. Kolam renang ini sederhana, sangat sederhana. Tiket masuknya tergolong murah, sekitar Rp 4000. Tempatnya juga tidak terlalu besar dan wah, tapi mungkin ini salah satu tempat yang benar-benar bisa membuat mereka bahagia.
Zaira sangat senang bisa mendapat kesempatan untuk bermain bersama mereka, meskipun saat ada sedikit waktu senggang yang ada di pikiran Zaira adalah hantu laprak, laprak, dan laprak. Entah mengapa tugas, kelas pengganti, dan laprak terasa semakin banyak menjelang H-10 UTS ini.
Segini aja yaa cerita Zaira kali ini, Terimakasih untuk semua Sobat yang mau menyempatkan membaca. Jangan lupa untuk selalu bahagia.
Yogyakarta, 15 September 2016
Di antara Laprak yang semakin banyak.
I’m Zaira. Keep Learning
Oleh : Fauziah Ibrahim