Lompat ke konten

Jendela dan Dioramanya

[Quote of the day]

Karena membaca adalah kayu bakar yang menjaga dan memperbesar nyala api nalar manusia”

***

Tidak terasa, sudah hampir satu setengah tahun penulis diterima di Komunitas Jendela, sebuah komunitas yang mewabahkan kegemaran membaca pada anak. Erupsi Merapi yang menyebabkan trauma pada masyarakat, khususnya anak-anak di sekitarnya, menjadi tolak awal terbentuknya komunitas ini.Tergeraklah hati sekawanan pemuda-pemudi untuk mengobati trauma pasca erupsi tersebut. Membaca buku dan bermain, menjadi inisiatif kegiatan yang mereka suguhkan dan berhasil menghadirkan suasana dan kebiasaan baru bagi anak-anak lereng Merapi. Sekawanan pemuda-pemudi tersebut menemukan ada manfaat yang dapat dirasakan : kebahagiaan yang bisa dibagi dan cita-cita besar yang dapat digantungkan dari membaca buku dan permainan aplikatifnya (dapat pembaca lihat pada tulisan-tulisan volunteer story dalam website ini). Mereka pun tidak berhenti disitu, inisiatif tersebut kemudian dikembangkan dan diterapkan di berbagai kawasan yang dinilai termarjinalkan akses pendidikannya, baik itu di desa terpencil ataupun pinggiran kota.

Di desa-desa, akses informasi masih sulit didapat. Pengetahuan dan informasi yang diperoleh anak-anak desa sangat terbatas dan tidak selengkap apa yang didapatkan anak-anak di wilayah perkotaan. Minimnya akses pengetahuan dan informasi tersebut berimplikasi pada munculnya istilah kuper (kurang pergaulan) dan ndeso saat anak-anak desa ini pada suatu ketika berinteraksi dengan masyarakat perkotaan. Kesenjangan itulah yang menimbulkan ketidakpercayaan diri yang dapat mematikan peran mereka di kehidupan sosial global. Padahal kita semua tahu bahwa manusia dibekali potensi lahiriah yang sama untuk memaksimalkan perannya dalam kehidupan masing-masing.

Di lain pihak, anak-anak kota dapat dengan bebas mengakses pengetahuan dan informasi yang mereka inginkan. Padahal, di era digital seperti sekarang ini, pengetahuan dan informasi dengan muatan positif dan negatifnya masing-masing terkemas dalam satu wadah. Hal tersebut seringkali menyebabkan bias-bias informasi. Jika daya saring dan daya serap anak-anak tersebut tidak seimbang, kecenderungan anak-anak untuk menyerap informasi yang negatif tentunya akan lebih besar. Suatu hal yang menjadi permasalahan yang menantang dan cukup serius, belum lagi jika kita tidak mengesampingkan fakta bahwa ada oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang sengaja menyebar doktrin negatif yang mereka kemas secara subtil di dalam informasi yang terkesan positif.

Kedua permasalahan di atas ibarat satu kurva dengan dua titik ekstrim yang berbeda. Dari titik ekstrim inilah, menurut penulis, istilah marjinal (pinggir/tepi) itu muncul. Sebuah realita yang harus diterima oleh dunia pendidikan dewasa ini. Buku dan permainan sederhana kemudian menjadi cara tersendiri bagi Komunitas Jendela untuk turut menjawab problematika pendidikan marjinal tersebut. Pertanyaan yang muncul lebih lanjut adalah bagaimana buku menjadi sebuah solusi dalam menjawab dua persoalan yang saling berseberangan?

Buku secara definitif adalah sekumpulan kertas yang berisi tulisan yang dapat dibaca. Karenanya, buku dan baca adalah dua kata yang berkaitan sangat erat. Dimana ada buku, disitu selalu ada kegiatan membaca. Seperti yang telah dipaparkan dalam artikel Membaca Bukan Mengeja (http://komunitasjendela-org.stackstaging.com/membaca-bukan-mengeja/), membaca secara substansial berarti berpikir, belajar menguraikan kembali pengalaman-pengalaman yang telah dialami dan menyelaraskannya dengan wawasan-wawasan yang baru ditemukan. Sehingga terciptalah sebuah sistem ide dan potensi kreativitas yang menjadi acuan dalam menjalani kehidupan. Anak-anak ditumbuhkan minat bacanya tidak lain adalah agar mereka memiliki pandangan yang luas dan sikap yang bijak terhadap pengalaman apa saja yang telah dan akan terjadi dalam kehidupannya.

Implementasinya, dengan sedikit kerelaan dan kepedulian dari para relawan, pendirian rumah baca (perpustakaan kecil) bukan hal yang cukup sulit untuk diupayakan. Kegiatan membaca bersama para relawan pendamping disana akan memenuhi kebutuhan anak-anak di daerah pedesaan terhadap akses pengetahuan dan informasi. Disamping itu, interaksi antara anak-anak dengan para relawan yang hadir dapat mengasah kepercayaan diri mereka. Apa yang ditangkap anak-anak dari buku bacaannya dapat mereka ceritakan kembali kepada relawan yang mendampingi.

Lebih lanjut, di era digital ini, rival utama buku adalah hiburan visual di dunia maya yang cenderung lebih menarik bagi anak-anak. Hal ini tidak bisa dipungkiri, karena memang dunia anak adalah dunia fantasi. Mau tidak mau, dalam menghadapi anak-anak di kawasan perkotaan, relawan pendamping harus lebih persuasif dalam membujuk anak-anak agar mau membaca buku, baik dengan meresensikan isi buku itu dengan cerita-cerita yang inspiratif atau pun dengan pancingan permainan-permainan sederhana. Ketika anak-anak berhasil dibujuk dan menemukan keasyikan membaca buku, aktivitas mereka di dunia maya dengan sendirinya terminimalisir. Dengan begitu, pengetahuan dan informasi negatif yang dikhawatirkan terserap oleh anak-anak di kawasan perkotaan, perlahan-lahan dapat dibendung.

Bagaimanapun, senada dengan puisi Dorothy L. Norte, Children Learn What They Live, pada umumnya anak-anak mudah sekali belajar dari apa yang mereka saksikan. Celoteh yang dilontarkan anak-anak sebagai komentar atas apa yang mereka baca membuktikan hal tersebut. Peran pendamping disini tidak untuk langsung mengiyakan atau serta merta membantah pandangan mereka. Relawan pendamping dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk mengeksplorasi pemaknaan anak-anak terhadap apa yang mereka ‘saksikan’ dari buku-buku bacaannya. Antarkanlah anak-anak pada kesimpulan yang terbentuk dari mekanisme berpikir yang paling logis, apapun hasil kesimpulannya. Dengan begitu, esensi membaca yang berarti berpikir dapat terwujud.

Itulah sedikit gambaran tentang apa yang penulis amati dan pelajari di Komunitas Jendela. Dengan membaca, kemandirian berpikir seseorang akan tertempa, karena membaca adalah kayu bakar yang menjaga dan memperbesar nyala api nalar manusia. Dan dengan kemandirian berpikir, seseorang tidak akan mudah bergantung pada orang lain. Mereka berdikari, berdiri di atas kaki sendiri.

Written by : Kildah Namariq

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *