[Quote of the day]
“Putuskan, jalani, dan nikmati. Seperti kacang panjang yang telah kami olah. Nikmat sarapan pagi. Nikmatnya memulai hari.”
***
“Kacang panjang hijau, nikmat disantap untuk sarapan pagi. Mau tumis atau oseng, kreativitas chef yang menentukan akhir hidangan.” Kala itu, hari Selasa, 4 April 2017. Aku mengajak rekanku di sekre Jendela Jogja untuk masak kacang panjang. Rasanya lama kita enggak makan yang hijau-hijau seger. Apalagi harinya cerah. Syukur pada Pencipta, Sang pengecat warna lombok dan kacang panjang. Maka nikmat mana lagi yang kau dustakan?
Dengan pisau di tangan, ku potong kacang panjang, cabai, bawang merah dan putih. Tambahan sedikit, aku potongkan lauk ternikmat rakyat ngapak, tempe. Tempe kedelai menjadi akhir dari sesi potong. Apa lagi yang akan aku potong??? Mungkin, kenangan dengan para mantan? Namun, terkadang diperlukan kenangan untuk sebuah perjuangan hidup, ya seperti motor yang pempunyai spion, tak perlu menengok belakang, hanya perlu sedikit lirikan untuk keselamatan.
Untuk keselamatan memasak, ternyata kita berdua tidak tahu kapan waktu kacang panjang itu matang. Ah mungkin perlu bertanya, agar masakan selamat, layak makan, layak kenangan dengan mantan.
“Bro, tau berapa menit masak kacang panjang?” tanya rekanku.
“Hemm, aku enggak tau,” ucapku.
Aku rekomendasikan rekanku untuk bertanya atau searching mbah google.
“Coy, enggak ada yang tau, si Ui juga enggak tau,”
“Wah, udah kepalang dipotong nih,” timpalku.
“Sek, selo wae. Oiya, iki grup lagi rame,” ucapnya.
“Rame opo?”
“Iki tentang film nggo cah Ngemplak”
Kulirik hpku, ternyata memang benar, sedang ada usul ide tentang judul film. Pororo, Petualangan Sherina, itu usul yang pertama kali terlintas oleh seorang Jendelist. Up, Inside Out, Zootopia menjadi usul kedua. Mars Need Moms, The Simpson, Gravity Falls, Rick and Morty menjadi usul susulan yang muncul.
“Inside Out gak susah dicerna?” chat si Ra.
“Kata temenku, adiknya kelas 3 ngedong-ngedong aja mas liatnya,” chat si Ua.
“Kalo bisa cari yang gak pake subtittle, yang langsung bahasa Indonesia aja” timpal Ra.
“Pengalaman kemarin ketika lihat Little Prince pada enggak mudeng. Hahaha.” Lanjut Ra.
“Yang enggak ada kata-katanya aja, Shaun the Sheep,” chat Wa.
“Setahuku, mereka buat film kartun udah ada pertimbangan bisa dicerna apa enggaknya deh. Mengingat target mereka adalah anak-anak. Makanya butuh review dikit dan kasih pertanyaan terkait film,” chat Kapten mencoba menengahi.
“Sebenernya ada film Indonesia judulnya Meraih Mimpi,” usul lanjutan Kapten.
“Kan anak-anak beda mas. Kelas sosial dan lingkungan mempengaruhi,” chat Ra.
“Nah makanya, abis nonton film, direview pake bahasa yang pas kelas sosialnya, enggak usah jadi underestimate karena kelas sosial beda,” chat Ka.
“Aku setuju sama Mas Ra, kalo bisa yang bahasa Indonesia aja, karena anak-anak bisa lebih paham. Tapi masalah konten filmnya menurutku yang penting ada pesan moralnya itu udah cukup. Mungkin bisa dipake cara mas Ka itu, jadi habis nonton, beberapa dari mereka disuruh maju, menceritakan kembali apa yang dilihat tadi, syukur-syukur bisa memantik diskusi antar anak. Nanti diakhir, kita tegaskan lagi apa pesan moral dari film ini,” saran Ua pada chat.
“Oiya ini rangkumannya. Lima film ini antara lain :1. Boncengan karya Senoaji Julius yang bercerita soal praktik korupsi yang ternyata diwajarkan sejak kanak-kanak; 2. Maya karya Jennifer Aryawinata. Maya adalah seorang anak yang tidak tahan harus tidur dengan ayahnya yang suka mendengkur setelah mereka terpaksa pindah ke sebuah rumah susun; 3. Say Hello to Yellow karya BW Purbanegara. Ketika setiap anak mengantongi handphone dan terpaku pada gadget tiap waktu, apa yang terjadi dengan pola komunikasi langsung yang masih ada di desa-desa tanpa sinyal handphone; 4. Harap Tenang Ada Ujian karya Ifa Isfansyah. Sebuah film sederhana yang menganalogikan sesuatu yang lebih besar lewat cerita seorang siswa SD yang sedang menghafal sebuah buku sejarah Indonesia; 5. Forest Rangers karya Indra Jaya Wangsa. Seorang bocah cilik bernama Kevin bertanggung jawab untuk menjaga Hutan Fantasi dari semua penjahat, terutama Professor Matimatikau dan Evil Veg,” usul Ra.
“Saran sih, pengamatan kecil: anak-anak ngemplak sering ku kasih liat film, kalo durasi panjang mereka kadang tiba-tiba ngobrol karena bosan. Kalo pas mulai gini, pause aja, tanyain aja tentang beberapa hal di film,” Usul Aa
“Kalo mereka udah jawab baru lanjutin. Enggak papa kita jadi rese dikit, diprotes karena lagi nonton di-pause. Tapi interaksi tetep jalan, kita yang menghubungkan makna atau alur film ke mereka, biar mereka maksud dan tetep antusias. Jadi fungsi kita mirip-mirip fasilitator gitu. Dan short movie biasanya lebih enak, tinggal kita review aja di akhir,” lanjut Aa.
“Nah yang kamu kasih liat film apaa?” ucap Ka.
“Moana dan beberapa short movie. Subtitle Indonesia, tapi ya itu mereka biasanya kalo enggak mudeng aku pause. Cerita dikit aja. Kalo bisa, kita udah liat filemnya biar enak ngejelasinnya,” ucap Aa.
“Happy Tree Friends aja, mengajarkan solidaritas antar teman,” usul baru Wa.
“Akuu dulu nonton Inside Out nangis loh, kereen filmnya,”chat Ca.
“Kalo mau dilihat lagi yaa, anak Ngemplak lebih suka visual. Wajar Moana ngebosenin karena tokohnya cuma sedikit. Perkara subtitle dan cara baca itu malah jadi senjata, ketika visualnya seru, mereka bakalan nebak ketika bacaanya cepet dan lebih keluar effort-nya karena mereka suka sama visualnya. Inside Out itu keren, karena ternyata di dalam diri mereka ada beberapa sifat yang mereka harus tau. Kalo enggak ngandelin visual, apa yang bisa diliat adik kecil buat mereka yang tidak bisa baca,” chat Ka.
“Setujuu, mereka lebih suka Conjuring daripada Zootopia. Visualnya wow!” Ca menguatkan.
“Fungsi kita untuk menerjemahkan apa isi film itu, sama seperti pendampingan baca buku apa yang mereka enggak paham. Bukan hal yang instan buat mereka nangkep apa itu moral dan pesannya,” ucap Ka.
“Sebetulnya mau filem apa aja enggak masalah, mau kartun, film barat, dokumenter, korea, semua bagus ketika dipandang dari beberapa sudut. Mau anak itu visual atau yang lainnya, ketika kita benturkan ke filem apa, tentang apa, buatan mana, kalo ada pendampingan, pengarahan yang pas, anak bisa memahami,” chat Aa.
“Lihat pertelevisian kita. Semua dibuat untuk konsumsi manusia. Badan pertelevisian pun membuat kriteria BO, R, O sehingga kita pun harusnya bijak dan pas ngasihnya ke anak. Ada beberapa anak yang enggak suka kartun, dia lebih suka film yang science fiction, hewan nyata, peperangan ataupun horor,” lanjut Aa.
“Mereka bukan anak kita, tapi kita mau membantu dan terkadang orangtua punya kriteria masing-masing untuk tontonan anaknya. Artinya tontonan yang mau kita tontonkan sebisa mungkin sesuai budaya dan moral etis pada umumnya. Mau nonton apapun tidak masalah, asal ketika mereka dalam keraguan dan kebimbangan kita mencoba bantu dengan mengarahkan,” masih Aa menjelaskan.
“Ntaps, sebab film itu universal, enggak membedakan kelas sosial. Pesan moral sebatas nasehat, karena pendidikan moral hakiki dalam keluarga,” Ka pun menambahkan.
Keluarga. Memang hal ini yang perlu hadir dalam pendidikan di Indonesia. Jangan biarkan anak tidak bisa berbicara jujur pada keluarga, resah tanpa ada yang mendengar, melangkah lelah tanpa pendampingan. Sekolah hadir memang untuk pendidikan, namun pendidikan senyatanya ada, dekat, dan hangat bersama keluarga. Bahkan dalam bukunya Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional di negara kita, membahas mengenai pendidikan keluarga, keluarga sebagai pusat pendidikan, dan menyebut alam keluarga sebagai alam pendidikan permulaan.
Dalam alam keluarga, pendidikan dari orang tua sebagai guru penuntun, sebagai pengajar, dan pemberi contoh. Orangtua hadir dalam pendidikan alam keluarga sebagai penuntun, yang penuh cinta dan kasih sayang. Sebagai pengajar dimana orangtua menjadi pusat informasi pertanyaan dari anak dan orangtua dapat memberi pengajaran dari hal yang diketahui keluarga, misal tukang kayu, pertolongan pertama, menulis di surat kabar dan sebagainya. Dan orangtua menjadi teladan. Dalam hal ini, ibu bapak, guru/pengajar lain berdiri sejajar. Artinya mereka sama-sama berharga.
Ngomong-ngomong berharga, relawan Jendela adalah keberhargaan. Dimana kita semua berharga, namun tidak untuk dirupiahkan. Berharga karena kita keluarga, dimana kita akan tetap terhubung dalam silaturahmi baik dunia nyata maupun dunia maya.
Menanggapi chatting di atas, maka aku akan berkata: “Mantap djiwa, ntap na’ nan.” Itu lah kata yang sering aku ucapkan ketika melihat atau mendengar sesuatu hal yang mengesankan. Sama halnya pada chat relawan Jendela, mereka memikirkan dengan matang apa yang ingin disajikan kepada anak-anak binaan. Bak Komisi Penyiaran TV negara kita, mereka memilih mana tayangan bagus dan layak untuk konsumsi.
Selamat memilih filem, selamat mendampingi dengan bahagia wahai Jendelist-jendelis Jogja. Putuskan, jalani, dan nikmati. Seperti kacang panjang yang telah kami olah. Nikmat sarapan pagi. Nikmatnya memulai hari.
Written by : Ahmad Agus Prasojo || Kak Ojo