Lompat ke konten

Tjio Hok Sein

Oleh Joshua Ivan Winaldy Simanungkalit

 

Aku tak mengenal satu dari sekian banyak kemungkinan yang akan terjadi. Hanya ayah dan ibu yang tahu. Demikian, aku harus bertahan sampai akhir, mau tidak mau!

***

Klenteng Siu Hok Bio, 11 Agustus 1936, 09.45 WIB.

Bukan maksud hati mencari sensasi, aku hanya ingin mengucap syukur entah apa pun yang dinamakan hidup makmur. Tak tahu mengapa, seringkali aku mencoba menelan kepahitan ucapan orang lain karena mataku atau bahkan rambutku. Terkadang namaku sendiri menggangguku, Tjio Hok Sein, Tjio Hok Sein? Selain bunyinya tak enak, mereka juga sama-sama kesulitan mengejanya. Lantas aku memakai yang lebih awam di telinga, Sardi. Jauh dan keruh di hati bukan? Aku mengabaikannya saja. Terkadang bukan mata, rambut, kulit, atau namaku yang mengangguku tapi ketakutanku karena menyembunyikan semua itu. Sudah berapa kali aku mencoba selain mengganti nama, apa ya? Misal kacamata hitam, pakaian lengan panjang, topi –bukan sedih, lebih tepatnya mengikuti keinginan mereka. Apa kemauan waktu dan aku menjawabnya, setidaknya aku percaya suatu waktu kami tak perlu sembunyi-sembunyi seperti itu. Ayah dan ibu berkali-kali mengingatkan, tak perlu risau dan kacau, pikiranmu masih sehat untuk anak remaja, masih kuat untuk tahun-tahun ke depan –lebih tepatnya ingin mengatakan ‘biarkan kami yang menghadapinya, nak’, anak mana yang tak tahu?

Aku masih mereka-reka apa yang akan terjadi setelah ‘waktu’ itu datang. Jadi, aku tak pernah menyalahkan seratus persen (benar-benar tak ada niat meyalahkan) kaum Tionghoa dan organisasi kepemudaannya yang tak ada saat dibacakannya Sumpah Pemuda pertama kali pada tanggal 28 Oktober 1928 yang lalu. Bagiku sendiri, Kwee Thiam Hong (Daud Budiman) sudah mewakili kami, meski saat itu ia benar-benar mewakili Jong Sumatranen Bond bukan kaum Tionghoa dan organisasinya (bahkan sebenarnya organisasi Tiong Hoa Hwee tahun 1900 terlebih dahulu terbentuk sebelum Boedi Oetomo yang berdiri tahun 1908). Aku tak bisa menyalahkan Kwee atau mungkin pemuda Tionghoa kala itu, tak hanya karena terpaut waktu, ada saatnya memang sejarah belum mencatat hal-hal itu, mencatat kaum Tionghoa dalam kesetaraannya dengan pribumi yang lain. Lagi pula, siapa Tjio Hok Sein ini? Aku hanya remaja tertutup yang sulit mendapat teman dan sekolah. Bahkan jika dibandingkan dengan anak tetangga yang lain, mereka jauh lebih baik dariku, minimal dapat sekolah di luar negeri seperti China, Inggris, dan Belanda. Lainnya mulai merambah ke bisnis dengan bisik-bisik kecurangan dan ancaman pembunuhan massal pada mereka –atau tepatnya kami– karena  kedengkian yang terlalu berlebihan, atau rasa nasionalis yang salah.

Lagi-lagi tak hanya nasionalisme tapi juga sisi religiusnya, klenteng kami tak ada hubungannya dengan unsur-unsur penjajahan dan kesesatan, hanya cara kami bersembah padaNya memang berbeda melalui klenteng-klenteng itu. Klenteng Sam Poo Kong yang diselimuti kisah Cheng Ho, Klenteng Tay Kak Sie, Klenteng Wie Wie Kiong, dan lainnya tak akan menganggu kehidupan sosial, tatanan, atau kereligiusan masing-masing dari lapisan masyarakat itu sendiri. Tak ada maksud salah dari semuanya itu, hanya persepsi dari luarnya saja. Ayah dan ibu selalu mengingatkanku tentang waktu, kemungkinan-kemungkinan, dan klenteng-klenteng yang berhiaskan lampion-lampion merah itu. Meski dalam bentuk yang berbeda, mereka mengisyaratkan diriku untuk jauh lebih kuat melebihi Cheng Ho atau apa pun itu definisi kekuatan sesungguhnya. Sehingga, relung dimensi lain akan membawa kami pada rasa bersyukur yang jauh lebih dahsyat. Semakin menyadari keminoritasan, kesukarelaan, dan kehimpitan itu, semakin besar pula jiwa-jiwa kami bak asap dupa yang tak pernah sirna.

Meski kabar di sana-sini seperti di surat kabar Tjahaya Timoer dan Pemandangan tentang Petisi Soetardjo kepada Staten Generaal dan Ratu Wilhelmina mengenai protes pemerintahan Hindia Belanda masih kencang diperdebatkan oleh Volksraad dan rakyat, pantaslah kami juga mendukung petisi itu. Harapan tak pernah mati untuk kemerdekaan, dan kemerdekaan kami. Tak ubahnya, Siu Hok Bio masih saja sabar menikmati dan mensyukuri hari-harinya.

***

Pinggiran Kali Semarang, 1930.

Ayah kala itu berumur dua puluh tahun waktu kerusuhan 1918 di Kudus antara kaum Tionghoa dan Sarekat Islam terjadi. Aku hanya bengong saja menikmati cerita ayah sambil sandaran di bawah pintu toko yang tutup dan makan jajanan pasar. Sesekali kami berjalan melihat-lihat gemericik air sambil ayah melindungi pundakku. Kuingat kala itu ayah mencoba melempar batu sejauh-jauhnya ke arah sungai untuk menyaksikan diriku yang takjub karena jaraknya. Tiba-tiba kacamatanya jatuh dan retak, matanya menggoreskan usia empat puluh tahun yang sebenarnya adalah 33 tahun. Lantas kupungut saja kacamata itu, aku mengamati kedua buah lensa kaca berukuran besar yang selalu membingkai sipit mata ayah. Mungkin dibaliknya tersirat pemandangan yang lain, jauh lebih besar, lebih luas, hingga membuatnya tak mampu menampung Semarang dan dunia yang besar.

“Jadilah kuat dan besar, kau akan jauh lebih bertahan melebihi ayah”

Jauh lebih jauh dari lemparan batu ayah, jauh lebih kuat dari kacamata ayah, jauh dari Tjio Hok Sein yang lemah. Aku merasa dewasa sebelum waktunya ketika ayah tersenyum dan melukiskan kembali wajahnya di atas pantulan matahari terbenam di sungai itu.

***

Gapura Pecinan, Januari 1947, 16.45 WIB.

Sejak kapan pastinya aku masih mencoba mengingat, gapura itu tegak berdiri seakan memandangku sendu. Terkadang ingatanku kalah tapi seketika menang lagi karena gapura itu meneduhkanku dari banyak sekali kemungkinan dan kekhawatiran. Misalnya ingatan tentang ibu, selama 45 tahun ibu seperti bunga mawar atau kupu-kupu (begitulah gambaranku). Bunga mawar karena keramahannya dan kupu-kupu karena kebaikannya. Ia tak pernah sekali-kali berubah, takutnya ibu akan mengeluarkan bom atom kemarahan seperti di Hirosima dan Nagasaki yang lalu. Kutahu pasti, 17 Agustus sudah lewat, dan kemerdekaan itu sudah berkumandang dengan kerasnya, kami masih bertahan di sini. Lantas aku mengkhawatirkan ibu yang begitu hebatnya bersama ibu-ibu yang lain berusaha memantikkan api juang kemerdekaan di daerah-daerah yang tak terjamah melalui tulisan-tulisannya di surat kabar. Bagiku ibu telah mengorbankan hidupnya. Itulah kekhawatiranku jika kehilangan ibu. Kalau ayah, tak perlu ditanyakan, ia sama dengan ibu hanya saja ayah sudah sedemikian jelasnya gambaran seorang pahlawan yang tangguh itu. Sedangkan aku? Tugasku melindungi mereka. Mau tidak mau, ya atau tidak sama sekali, lebih baik aku melakukan hal yang sama.

Gapura itu seperti biasa menemaniku bersama sepeda tua milik ayah ketika menjemput ibu sepulang dari pertemuan dengan kawan seperjuangannya. Aroma pasar dan bunga tercium di pinggiran gapura itu setelah raut ibu tak secerah bunga mawar dan kupu-kupunya atau gadis Tionghoa bernama Suri yang memikatku.

Sekonyong-konyong gapura itu mengingatkanku pada Bung Hatta yang sudah sekian banyak mengunjungi kami di Pecinan, katanya kaum Tionghoa mirip dengan masyarakat di tanah kelahirannya di sana. Begitulah Bung Hatta meyakinkan kami bahwa September 1946 adalah tonggak kesetaraan hak dan kedudukan kaum Tionghoa dengan pribumi Indonesia asli. Mata kami tak mengganggu lagi, atau kulit, rambut, dan nama kami. Darah perjuangan sudah melekat di diri kami bahkan sejak pemberontakan orang Tionghoa melawan penjajah di Batavia sekitar tahun 1740-an. Ya, demi nama Indonesia.

Gapura itu mengingatkanku pada ayah: demi ayah, seluruh hidupku akan melindungi ibu. Juga pada kata ibu dari kursi belakang sepeda, ia masih tersedu saja. Aku berharap punggungku tak ikut menangis. Gapura itu juga menjadi saksi unsur kejam komunisme yang masih saja melekat pada kami, hingga berita ayah dibunuh entah oleh siapa.

***

 “Aku tak akan kehilangannya” begitu bisiknya.

“Tak akan pernah” genggaman tangannya kuat namun melembutkan.

Perempuan bernama Suri itu selalu mengingatkan pada ibu yang dulu. Bagaimana mungkin kehidupan kami akan jauh lebih buruk sedangkan orang lain mampu menikmati hidupnya jauh lebih baik? Kemungkinan-kemungkinan seperti itu selalu kami pertanyakan, ‘waktu’ yang ia ceritakan dalam kisah Cheng Ho, klenteng-klenteng, dan Gapura Pecinannya selalu memberi satu titik cahaya pengharapan. Kami tinggal menyulutnya menjadi cahaya yang lebih terang.

Ia seorang aktivis sejati entah apa pun makna aktivasinya. Bahkan kami terlalu khawatir jika api dalam dirinya terlalu besar dan melahapnya hidup-hidup, seperti yang terjadi pada ayah yang lalu. Untungnya, Semarang ini tak sakit hati dengan segala pergolakan itu. Orang-orang pasti akan segera menyerah dengan segala usaha yang ada di luar akal sehat yang mampu dilakukannya.

“Sardi, kau sudah beli kue keranjang, jeruk-jeruk?” ibu bersemangat sekali.

Pecinan ini terlihat semakin tua namun usianya semakin muda karena tahun baru Ilmek sanggup kami rayakan dengan suka cita kebebasan di tahun 2000 ini berkat toleransi yang besar di mata Presiden Abdurrahman Wahid. Tak tanggung-tanggung, senyum itu terkembang dengan lebar di wajah Tjio Hok Sein. Saat keluar dari rumah, kupandangi Tjio Hok Sein di kursi rodanya sambil menikmati matahari pagi –bermandikan sinar kehangatan dan kepuasan batin. Suri, istrinya, masih saja memegangi pundaknya dan Tjio Hok Sein menggenggam tangannya seakan mereka berdua saling melindung diri satu sama lain. Usia delapan puluhan itu tak menjadikannya tua, seperti Pecinan saja.

“Hati-hati di jalan!” ayah berteriak sambil memutar balik korannya.

Kucium kening kakek dan nenek bergantian, tatapan mereka jauh lebih bersinar: mungkin teringat akan namaku, perjuangannya melindungi buyutku hingga akhir, teriakannya di kepemudaan Tionghoa, dan pengorbanannya melanjutkan tulisan-tulisan di surat kabar itu tentang arti kemerdekaan sesungguhnya. Satu hal yang kuyakini, semua itu tidaklah mudah.

***

Peserta Sayembara Books to Read Komunitas Jendela Jakarta
Non Relawan – Pegawai CPNS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *