“I believe the children are our future,
Teach them well, and let them lead the way….”
– The greatest Love of All, Whitney Houston
***
Setiap dari kita percaya dan mengakui bahwa anak merupakan generasi penerus kita, generasi yang suatu saat nanti akan mengambil tempat di depan untuk memimpin bangsa ini. Tetapi sebelum tongkat estafet itu diserahkan kepada mereka, generasi ini perlu dipersiapkan agar kelak dapat memimpin dengan bijak, memiliki pride ketika yang lain berusaha untuk menjatuhkan, dan yang paling utama ialah merasa dicintai dan mau untuk mencintai. Menyadari akan hal tersebut, saya dan teman-teman lainnya merasa terpanggil untuk bergabung sebagai relawan dalam Komunitas Jendela Jogja, sebuah komunitas yang memfokuskan diri pada dunia anak, khususnya literasi.
Untuk mengawali pengabdian kami yang pertama kalinya, kami diundang untuk berpartisipasi dalam kegiatan mingguan, yaitu pada tanggal 27 Agustus 2017. Hari itu merupakan hari special bagi kami para relawan baru, terutama saya untuk mengenal adik-adik asuh yang menjadi bagian dari Komunitas Jendela Jogja ini. Kegiatan pertama ini dilakukan di Ngemplak, pada pukul 15.00 WIB.
So excited! Itulah kata yang dapat menggambarkan perasaan waktu itu. Namun jika diizinkan untuk berkata dengan jujur, perasaan takut dan gugup itu ada. Ketiga perasaan ini muncul disebabkan oleh nihil-nya pengalaman saya dalam dunia anak, apalagi literasi. Karakter dari anak-anak hanya diketahui melalui buku-buku dan bahan bacaan lainnya, tetapi untuk mengetahui secara langsung belum secara “resmi” mengalaminya, apalagi katanya adik-adik tersebut sangat banyak dan aktif. Saya semakin gugup.
Suatu bacaan tentu ada tema yang menjadi kerangkanya. Ditetapkan tema dengan tujuan agar para pembaca dapat mengerti maksud dari bacaan yang hendak disampaikan. Sama halnya dengan kegiatan ini, kami perlu untuk menentukan tema kegiatannya agar materi yang akan kami sampaikan tidak melenceng dari apa yang telah ditetapkan. Berhubung karena kita baru saja merayakan hari ulang tahun / kemerdekaan Republik Indonesia, maka tema yang diusung untuk kegiatan pada hari Minggu tersebut ialah Proklamasi.
Metode yang digunakan dalam kegiatan saat itu ialah bercerita dan permainan. Saya rasa ini metode yang cukup ideal untuk mengetahui melalui sarana apa anak-anak tersebut lebih mudah untuk menyerap materi yang disampaikan. Materi yang disampaikan meliputi perkenalan singkat tentang proklamasi, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh proklamasi, naskah proklamasi, lagu kebangsaan, dan bendera Republik Indonesia.
Bukan hanya itu saja, para relawan juga memperkenalkan sejumlah suku-suku yang ada di Indonesia beserta rumah adatnya. Selain itu, anak-anak di Ngemplak menirukan gaya tarian yang ada di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa kita sebagai anak-anak Indonesia tidak lupa akan bangsa ini (karena pengaruh modernisasi), dan yang paling penting ialah mau menjelaskan bahwa bangsa Indonesia ini beragam kehidupannya, tetapi bisa disatukan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, menjadi tugas kita semua untuk terus menjaga keberagaman yang ada ini dengan saling menghormati dan mengasihi.
Selama proses kegiatan berlangsung, anak-anak di Ngemplak sangat antusias dan aktif untuk menanggapi sejumlah pengetahuan baru yang disampaikan. Mereka menjawab dengan cepat dan lugas setiap pertanyaan yang diberikan dan tidak malu untuk bertanya jika ada sesuatu yang tidak mereka ketahui. Memang tidak semuanya demikian, tapi saya pikir ini hanya faktor kepribadian saja. Mungkin ada yang malu atau dengan kata lain memiliki sifat yang speak less, do more, atau ada yang perlu bimbingan khusus untuk menyelaraskan kecepatan pengetahuannya dengan yang lain. Ini hanya hipotesis saya saja. Saya akan mengetahuinya perlahan, seiring dengan lamanya saya berinteraksi dengan mereka.
Selama kegiatan berlangsung, ada satu hal yang menjadi perhatian saya – dan hal ini yang selalu saya pikirkan – yaitu menanamkan budaya pentingnya membaca kepada mereka. Hal ini merupakan point yang sangat penting dan barangkali merupakan tujuan dari komunitas ini, yaitu memperkenalkan dunia baca kepada anak-anak agar mereka dapat secara mandiri membaca buku untuk manambah pengetahuan mereka. Namun hal ini yang belum saya jumpai dalam kegiatan pertama saya.
Sebenarnya, pada hari itu ada agenda untuk membaca mandiri sebelum kegiatan dimulai. Ada relawan yang mengajak anak asuh untuk membaca, tetapi mereka terlihat malas untuk memulainya dan lebih memilih untuk bermain. Akhirnya kegiatan baca tidak jadi dilaksanakan. Hal itu membuat saya kepikiran terus. Dalam hati merasa telah gagal dalam satu pencapaian di hari ini. Saya sempat berpikir bahwa hal ini tidak akan tercapai jika pola pikir dari anak-anak ini hanya bermain tetapi tidak mau membaca.
Ini adalah tugas kami para relawan untuk mencari cara yang tepat dalam memacu minat baca mereka. Tetapi saya mempunyai kekhawatiran. Khawatir jangan sampai ketika mengajak mereka untuk membaca, mereka akan berpikir bahwa kakak relawan ini tidak asik dan membosankan. Takut juga bagaimana kalau hal ini tidak berhasil dan mereka tidak mau membaca.
Sepertinya saya terlalu melebih-lebihkan hal ini dengan terlalu banyak kekhawatiran. Padahal baru permulaan, semuanya tidak terjadi secara instant, segala sesuatu membutuhkan proses. Bahkan seorang Butet Manurung saja perlu berjuang bertahun-tahun untuk mengajak orang rimba membaca. Bagaimana mungkin saya yang baru saja memulai tapi sudah merasa akan gagal? Semoga untuk pertemuan dan kegiatan selanjutnya tidak ada lagi satu misi yang tidak berhasil, terutama minat baca ini (misi utama).
Secara garis besar, pertemuan dan aktivitas pertama saya bersama anak-anak di Ngemplak dan para relawan lainnya berkesan.
Terima kasih untuk Komunitas Jendela Jogja, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi berkat bagi orang lain. Semoga Tuhan yang mempunyai semesta ini memberkati aktivitas kita semua dan pelayanan kita tidak menjadi sia-sia.
Written by Hendro Luhulima