“Dengan imajinasi, anak-anak bermain.”
***
Kata-kata itu, penulis dapatkan ketika mengobrol santai dengan penggiat sekolah rakyat di sekitar bantaran Kali Code daerah Terban pertengahan 2017 lalu. Tak lama kemudian, penulis melihat anak-anak bermain kejar-kejaran di pinggir sungai. Entah permainan apa yang sedang mereka lakukan. Terlihat satu anak menekuk jemarinya menyerupai pistol. Sedang di sisi lain, ada anak yang berlari menghindar. Sekilas, orang di sekitar pasti dapat menebak lakon apa yang sedang anak-anak itu mainkan. Gambaran sekilas tersebut seakan memberi pembenaran atas kalimat pendek yang diungkapkan oleh penggiat sekolah rakyat tadi.
Coba mari kita flashback ke masa kecil dahulu. Imajinasi apa saja yang pernah kita lakukan. Seakan imajinasi itu terasa benar adanya. Salah satunya, penulis ingat ketika berumur lima tahun. Penulis pernah membayangkan menjadi Batman. Lalu, coba tebak apa yang penulis lakukan untuk menjadi superhero tersebut? Penulis mengambil sarung lalu diikatkan ke leher. Selanjutnya, penulis memakai tas kresek hitam di kepala, tak lupa penulis juga membuat dua lubang untuk mata yang akhirnya seperti menjadi topeng. Saat itu, terasa sangat yakin kalau sudah berubah menjadi seorang Batman.
Di masa kanak-kanak, kita sering memiliki ide dan bahkan dengan mudah kita merealisasikannya. Kuncinya adalah yakin, berani, dan percaya. Pada masa kecil itulah, kita berada di titik kreativitas tertinggi di mana ada topangan dengan rasa percaya diri yang tinggi juga. Akan tetapi, bagaimana dengan kita di waktu dewasa ini? Peraturan yang ada (terlebih pada sistem di sekolah pada umumnya) membatasi diri untuk bergerak. Kita seakan dididik tidak boleh melakukan kesalahan dan harus tunduk dengan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, model belajar seperti itu menimbulkan pandangan bahwa melakukan kesalahan menjadi hal tabu, bahkan menciptakan kesan negatif. Alhasil, yang ada hanyalah bahasa benar atau salah. Mungkin contoh konkret (yang dirasakan pada tiga jenjang pendidikan) adalah ketika kita menghadapi pilihan ganda di Ujian Nasional (UNAS). Hanya ada dua pilihan di sana, yakni benar dan salah, tak lain.
Rasa takut melakukan kesalahan hinggap seirama dengan pertambahan usia. Mungkin mulai dari takut mendapat nilai jelek atau bahkan takut tidak lulus. Disadari maupun tidak, rasa takut itu membunuh imajinasi yang pada akhirnya menumpulkan daya kreativitas kita. Padahal apabila kita mau belajar dari kesalahan, maka kita akan mendapatkan hasil yang lebih baik di kemudian hari. Seperti yang diucapkan oleh Thomas Alva Edison, “I haven’t failed. I’ve just found 10.000 ways that won’t work”. Seakan Thomas Alva Edison mencari pembenaran atas ketidakberfungsian 10.000 cara dalam penelitiannya. Dia mengatakan itu bukanlah sebuah kegagalan, namun itu adalah rentetan usaha baginya untuk mencapai hasil yang diharapkan. Oleh karenanya, rasa takut melangkah menjadi musuh imajinasi yang perlu kita waspadai.
Menariknya, yang kita ketahui bersama bahwa setiap cerita superhero tidak lepas adanya pemeran antagonis. Seperti Batman yang harus berhadapan dengan Joker. Batman tak pernah tinggal diam dan selalu mengasah kemampuan bela dirinya serta melengkapi persenjataannya. Apa yang dia lakukan tak lain dan tak bukan untuk menghadang laju gerak musuhnya.
Lalu bagaimana menghadapi rasa takut melakukan kesalahan? Hampir sama dengan apa yang dikerjakan oleh Batman tadi. Sering berlatih menjadi langkah awal yang perlu ditanamkan. Sama seperti kutipan, practice makes perfect. Secara perlahan, kegiatan rutin tersebut membuat kita menjadi semakin handal dari sebelumnya. Dengan latihan pula, setidaknya risiko melakukan kesalahan akan berkurang. Hal itu terjadi karena adanya proses refleksi dan evaluasi pasca berlatih. Sehingga, secara tidak langsung kita juga mampu mengantisipasi kemungkinan yang bisa terjadi selanjutnya.
Mungkin itu langkah sederhana yang bisa kita lakukan untuk mengurangi rasa takut. Menjadi pengetahuan bersama bahwa pandangan belajar “tidak boleh salah” tak ubahnya membuat kita kaku bak robot. Oleh sebab itu, imajinasi diperlukan untuk memberi kita arah nalar kreatif, sehingga menciptakan inovasi cara-cara baru. Lalu, yang terpenting adalah menjaga imajinasi tetap hidup berputar menjadi cita-cita. Dengan demikian, suluh kreativitas kita pun akan selalu ikut menyala.
[Isa Elfianto, Kotabaru]
Referensi
[1] Wahyu Aditya, 2013, Sila ke-6: Kreatif Sampai Mati, Yogyakarta: Bentan