Perkotaan lambat laun menjadi persoalan yang amat mengkhawatirkan di kota Jogja khususnya dan Indonesia umumnya. Perkotaan sendiri sejak 10 tahun terakhir mendapat perhatian khusus oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan aktivis lingkungan yang ada di Jogja. Mulai dari aksi dan demonstrasi, melakukan kritik dengan seni dan pertunjukkan serta yang paling mutakhir melalui sebuah media seni yang kerap dipertunjukkan setiap tahun di Jogja. Menarik memang ketika kesenian dan unsur seni mencakup bagaimana bobroknya tata ruang perkotaan di Jogja. Bagaimana sebuah unsur kebudayaan seakan akan melakukan perlawanan terhadap suatu teknologi yang semakin berkembang. Kenapa saya bilang teknologi, karena pembangunan yang ada di Jogja sendiri selalu diatas namakan dengan peningkatan teknologi yang instan. Mau bukti? Coba saja tengok apartemen yang sedang di garap di Jalan Kaliurang yang secara massive menggunakan iming-iming teknologi agar konsumen mau membayar. Sedangkan teknologi masyarakat sekitar ? sama sekali tidak diupayakan, malahan mereka jadi harus dan terpaksa melek teknologi karena antena televisi mereka yang biasa saja terhalang sinyalnya oleh gedung yang tinggi. Sejurus dengan itu, masyarakat kelas menengah masih bisa mengakalinya dengan TV kabel yang sampai saat ini berlomba-lomba memberikan promo. Sedangkan masyarakat kelas bawah? Sudah tidak usah dipikirkan, mending mikirin kisah cinta Fanana Muhammad yang berkali – kali kandas.
Saya sendiri, sejujurnya adalah pendatang yang sudah hampir empat tahun menetap dan tinggal di Jogja. Awal perjumpaan saya dengan Jogja sendiri adalah ketika skripsi yang belum selesai harus segera dikebut. Dan bahagianya adalah, skripsi saya menulis tentang pembangunan perkotaan di Jogja, tapi di masa lampau. Masa yang tidak begitu melek teknologi. Kalau kalian pernah jalan-jalan di sekitar Kotabaru, iyaa, itu adalah pembangunan masa lampau yang masih dalam tahap “membahagiakan” karena setiap detail dari tata ruang dibuat dengan hati dan perasaan. Perasaan supaya orang yang tinggal di dalamnya nyaman dan aman. Walaupun terdapat cacat, karena Kotabaru tidak dibuka untuk masyarakat sekitar. Bahkan tertutup dan dijaga dengan sangat ketat. Hal ini bisa mendapat kewajaran, karena orang Eropa yang tinggal di Kotabaru tidak mau terkena penyakit tropis yang dihasilkan oleh gaya hidup masyarakat kampung sekitar.
Sejak 2010 saya sudah mulai merasakan geliat hidup di Jogja, dengan nyaman dan aman. Jalan Kaliurang masih agak lengang, kemacetan hanya terjadi ketika pagi hari dan sore menjelang malam. Hal ini karena jalan kaliurang merupakan jalan utama penghubung dari kaliurang ke pusat kota. Wajar saja ketika pagi berada dalam kemacetan karena banyak anak sekolah dan pekerja yang berasal dari Kaliurang dan sekitar berlomba-lomba menuju pusat kota. Sore menjelang malam? Jalan Kaliurang atau yang sering dikenal dengan Jakal adalah pusat lifestyle mahasiswa cantik #UGM, #UII dan #UNY. Ngga percaya, coba liat saja jejeran restoran cepat saji, warung kopi yang ekslusif disertai dengan akses wifi tidak terbatas dan pusat perbelanjaan yang menunjang perekonomian di sana.
Oleh : Achmad Sofyan