“Tontonan semakin banyak, tuntunan semakin berkurang. Akhirnya tontonan jadi tuntunan” – Gus Mus
Semalam, saya sedang asyik bercengkerama dengan kawan semasa SMA, ketika mendapati suatu hal yang mencengangkan bagi saya –tapi mungkin tidak bagi orang lain.
Saya melihat sebuah adegan sinetron yang memperagakan seorang anak kecil yang meminta uang tutup mulut pada kakaknya karena kedapatan berselingkuh. Beberapa lembar uang kertas dikeluarkan dari kantong sang kakak dan diberikan pada si adik.
Mengapa hal itu mencengangkan bagi saya? Bukan karena saya pernah mengalami hal yang serupa, ‒kedapatan berselingkuh oleh adik saya lalu uang saya diperas habis-habisan- saya kan cowok yang setia sama satu pasangan. Yah, walaupun kisah cinta saya nggak kalah rumit seperti memahami film Interstellar, sih.
Saya justru khawatir jika adegan semacam itu dicontoh anak-anak di Indonesia. Pernah dengar istilah “Anak kecil merupakan mesin fotokopi tercanggih di dunia” ? Apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, akan mereka tiru, akan mereka ejawantahkan dalam perilaku hidup mereka sehari-hari. Bukankah waktu kita kecil pertama kali bisa ngomong juga karena meniru apa yang diucapkan oleh orang-orang di sekitar kita? Joget-joget lucu yang kita lakukan pada waktu kecil, bukankah juga karena meniru tokoh kartun yang dipertontonkan pada kita?
Terlebih adegan semacam itu kini semakin mudah kita temukan di banyak sinetron televisi atau kanal-kanal media lainnya, yang rata-rata tayang di jam-jam primetime antara pukul 18.00-21.00. Pada waktu-waktu tersebut idealnya digunakan anak-anak untuk belajar, apalagi himbauan jam belajar masyarakat sudah terpampang nyata di setiap sudut kampung dari jaman baheula sampai saat ini. Tapi, toh, nyatanya tidak sedikit anak yang lebih milih mantengin tv ketimbang belajar.
Mending kalau acara yang mereka temukan di tv itu acara yang mendidik dan mencerdaskan. Lah ini, malah bertaburan sinetron-sinetron yang isinya adegan semacam itu tadi. Sebuah riset yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2017 periode 2, menunjukkan bahwa tayangan sinetron di Indonesia masih jauh dari standar yang ditetapkan KPI, tepatnya berada di angka 2.55. Posisi kedua paling buncit di atas infotainment yang memiliki skor 2.51.
Padahal, sinetron merupakan program yang paling sering ditonton oleh masyarakat di Indonesia. Sebuah riset bahkan mengatakan, sinetron menjadi penarik utama masyarakat untuk mau menonton televisi. Dan tentu saja hal ini berbanding lurus dengan keuntungan besar yang didapat oleh penyedia saluran televisi. Tapi mengapa, keuntungan yang besar itu tak dibarengi dengan rasa tanggungjawab yang besar pula untuk menayangkan sinetron yang berkualitas?
Ada teori psikologi yang menunjukkan bagaimana suatu hal yang ditonton berulang kali dapat mempengaruhi kehidupan penikmatnya. Salah satunya adalah teori Koneksionisme oleh Thorndike. Jika diibaratkan proses belajar, Koneksionisme mengatakan bahwa materi pelajaran yang diulang-ulang akan membuat materi tersebut tertanam dalam otak kita.
Ada juga teori komunikasi yang pernah mengatakan –tapi penulis lupa tepatnya siapa yang mengatakan, bagaimana media massa dapat berpengaruh pada nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Lalu, bagaimana jika itu terjadi pada sajian televisi kurang mendidik yang terus menerus dilihat oleh anak-anak di Indonesia? Pastilah akan memberikan dampak yang tidak main-main bagi cara berpikir dan tindak tanduk mereka.
Sebagai orang dewasa, sesungguhnya melekat pada diri kita kewajiban untuk membimbing anak-anak pada jalur kebaikan dan kebijaksanaan. Salah satu caranya dengan menghadirkan tontonan berkualitas yang memiliki muatan edukasi, bukannya malah tontonan yang –mohon maaf- membodohkan dan berpotensi merusak generasi bangsa.
Seorang pemuka agama sekaligus budayawan, K.H Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus pernah mengingatkan pada kita, “Tontonan semakin banyak, tuntunan semakin berkurang. Akhirnya tontonan jadi tuntunan”.
Kita berharap penyedia saluran televisi sadar dan dapat menghadirkan tayangan yang berkualitas. Namun, melihat kenyataan yang ada, sepertinya harapan itu tak bisa terwujud melalui proses yang instan. Tapi kita tak boleh tinggal diam. Kita tetap harus memantau proses tersebut, sekaligus lebih aware memilih media-media alternatif yang tepat dikonsumsi bagi anak-anak Indonesia.
Kalau pada akhirnya tidak ada revolusi oleh penyedia saluran televisi, masih tetap menayangkan program tak mendidik, ya sudah, jual saja tv mu, belikan banyak buku bagi anakmu, dan bacakan buku-buku itu dalam suasana kehangatan sebuah keluarga. Asyik kan..
Kan kita nggak rela, tontonan urakan semacam tadi itu jadi tuntunan bagi anak cucu kita? Mau jadi apa bangsa ini?
Oleh : Boy Adisakti