Pendidikan adalah hal dasar yang menjadi aset tak ternilai saat ini. Untuk menggapainya, perlu banyak asa, rasa, bahkan dana yang harus dikorbankan. Perjuangan untuk mengenyamnya bukanlah suatu hal yang mudah, setiap orang memiliki batunya sendiri. Sang kaya yang terlampau nyaman terkadang terbuai oleh fasilitas lebih yang dimilikinya sendiri—membuatnya lengah tak terbebani. Si miskin terjepit oleh beban ekonomi yang ditanggungnya, mengabaikan hal mewah yang selalu menjadi angan. Tak habis di situ, bagi si miskin, pendidikan adalah suatu hal yang jauh dari prioritas. Kalah dengan tuntutan perut yang berhasil membuat siapapun meronta-ronta, tak kenal dunia akhirat.
Fase hidup awal dari setiap orang, siapapun Anda, merupakan pembentuk diri untuk masa depan yang akan dihadapi nantinya. Seorang anak, pejuang hidup di fase ini, belum mengenal seutuhnya tentang benar-salahnya suatu hal yang ada di sekitarnya. Seorang anak akan cenderung menjadi penyerap segala hal yang ada di lingkungannya. Pendidikan yang optimal akan menjadi suatu pondasi bagi anak untuk berjuang meraih cita di masa depan. Perjuangan tak mengenal sosok, tidak penting siapa di balik sosok anak tersebut, pejuang kecil ini tetaplah menjadi pembangun bangsa yang akan menentukan nasib tentang kita pada akhirnya.
Walau sudah banyak intelektual di luar sana, hal ini tidak menjamin pendidikan masuk ke seluruh kalangan. Kendala demi kendala selalu hadir dalam memperjuangkan ini. Seperti tidak belajar dari masalah sebelumnya, pendidikan selalu menjadi objek yang tak penah selesai diuraikan. Seakan-akan penuh dengan teka-teki yang menuntut hak seluruh rakyat negeri ini, padahal hanya memiliki satu tujuan: mencerdaskan kehidupan bangsa. Di sisi lain, semua orang masih melakukan fase kehidupan di ranah masing-masing. Beberapa melihat mereka yang terduduk tanpa alas di bawah sana—menatap penuh harap. Beragam reaksinya: pergi, tersenyum, marah, atau simpati. Beberapa mengindahkannya, mengulur tangan untuk membantu mereka berdiri, paling tidak terduduk.
Tak perlu menunggu menjadi “seseorang” untuk memulai suatu kebaikan. Cukup buka jendelamu, biarkan anginnya masuk, menenangkan lara yang terbalur ego.
(Emil)