Agustus 2017, pertama kalinya belajar bareng adik-adik Komunitas Jendela Jakarta di Perpustakaan Manggarai. Sebenarnya, dari sebulan sebelumnya (setelah melalui serangkaian proses recruitment relawan tahsin kala itu). Sebelumnya lagi, hanya follow dan kepo Instagram @inijendela & @jendela.jakarta aja. Dan ternyata Allah memang memberi jalan untukku pada saat itu untuk menjadi salah satu bagian dari Jendela Jakarta.
Awalnya, beberapa bulan awal berjalan mulus, semangat masih membara sebagai relawan baru, rutin setiap Jumat malam untuk datang ke perpus, begitu bahagia belajar mengaji bersama adik-adik Manggarai. Tapi, karena memang sifat relawan itu tidak mengikat dan tidak dibayar, banyak yang hilang dan berhenti di pertengahan jalan, termasuk aku. Hmm, dasar aku. Tak bisa dipungkiri, seleksi alam selalu bekerja. Kesetiaan kita diuji, niat kita kembali perlu dibenahi, komitmen kita perlu senantiasa dipertanyakan pada diri sendiri. Jadi, buat apa kemarin daftar jadi relawan disini?
“Kenapa memulai kalau akhirnya tidak serius dan main-main?” (hanya sedang berbicara pada diriku sendiri kala itu, tanpa menyalahkan pihak manapun, karena ku tahu betul bahwa kondisi setiap orang berbeda, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk bertahan dan tetap tinggal. Bukan begitu?). Yak, mohon maaf, ini kenapa jadi galau jatuhnya : tidak serius, main-main, bertahan, tinggal. Oke, skip ya, takut kebablasan malah jadi curhat masalah percintaan nanti wkwk.
Saat itu, ada rasa bersalah tentunya. Tapi karna memang kondisi relawan tahsin lain juga tidak aktif, jadi agak sedikit terpengaruh untuk ‘meninggalkan’ segala kebersamaan yang telah tercipta bersama adik-adik. Dasar.
Tapi, kalau mau kilas balik, akhir April – Mei 2018 hati tergerak kembali. Dan sempat ikut kegiatan Ramadhan untuk pertama kalinya. So happy. Dulu, aku tidak kenal siapapun kecuali adik-adik Manggarai dan relawan tahsin. Karena memang hanya datang Jumat malam. Dan ku jadi sedikit sadar, mungkin banyak juga ya relawan lain yang merasa seperti itu, karena tidak/belum mengenal siapapun di Jendela, jadi sulit untuk bertahan.
Kalau mau cerita bagaimana keseruan mengaji bersama adik-adik di Manggarai sepertinya tulisan ini akan jadi novel nanti. Intinya, terima kasih Jendela Jakarta, telah memberi kesempatan untukku bertumbuh bersama adik-adik. Bersyukur juga dipertemukan dengan relawan yang merupakan orang-orang baik dan selalu welcome ke semua orang, saling merangkul dan menguatkan untuk bertahan.
Kalau ditanya lagi, mengapa bertahan sampai sejauh ini? Bahkan berani mengambil kesempatan dan amanah yang lebih besar (yang mungkin ga banyak orang yang bersedia ada di posisi tsb)? Ditambah dalam kondisi pandemi COVID-19 ini, mengapa? Jawabanku sederhana: karena adik-adik. Selain karena kuasa Allah tentunya. Segala keputusan kita memang tak lain ya karena memang sudah jalan yang Allah takdirkan, bukan?
Kalau bukan karena mereka, mungkin diri ini juga sudah menyerah sebagai manusia. Tapi, karena ingat mereka, jadi ada semangat baru untuk bangkit dan merasa lebih hidup, walau dunia melemahkanku dan membuatku jatuh tersungkur beberapa bulan yang lalu. Terima kasih telah menjadi perantara agar diriku tetap waras di masa pandemi ini, adik-adik Jendela Jakarta.
Harapanku semoga adik-adik Komunitas Jendela di seluruh Indonesia, kelak jadi orang baik yang bisa bertahan, berjuang, dan terus berbuat baik dimanapun itu. Tak peduli dengan ketidakmampuan ataupun keterbatasan diri, yang penting kita sebagai manusia harus selalu semangat dan senang belajar tentang apapun dalam menjalani kehidupan ini. Siap bertumbuh walau diterpa banyak rintangan, ya, adik-adik! Stay health, be happy and keep strong!
Dan sebagai relawan mungkin pedoman kita hanya satu pertanyaan penting ini :
“Bukan lagi mempertanyakan apa yang bisa kita dapatkan, tapi apa yang bisa kita berikan untuk adik-adik Komunitas Jendela?”
(Marista Rovyanti, Jendelist Jakarta)