Lompat ke konten

Senja Kembali Menyapa Lewat Jendela

“Senja adalah rasa yang bertahan, ketika matahari memilih untuk tenggelam”

Komunitas Jendela adalah salah satu turning point dalam hidupku. Manusia super pesimis ini akhirnya belajar untuk punya mimpi, setinggi mimpi adik-adik binaan di Komunitas Jendela. Meskipun sudah berlalu cukup lama namun mimpi setiap adik itu selalu terlintas dalam benakku. Apalagi saat tingkat pesimisku kembali muncul. Anak-anak memang selalu dengan mudah meletakan mimpinya.

Beberapa hari lalu aku kembali berkunjung ke salah satu tempat yang dulunya adalah desa binaan Komunitas Jendela Jogja. Aku kembali bertemu dengan salah satu adik dan adik ini bertransformasi menjadi luar biasa. Dengan cerianya dia memamerkan baju dan jepit rambutnya. Aku masih ingat bagaimana dulu kami harus terus membujuknya untuk ikut di kegiatan mingguan. Bajunya yang kelabu, rambutnya yang berantakan, bahkan saat itu dia masih sering mengompol saat takut.

Perjuangannya memang tidak mudah, dia tinggal dalam sepetak rumah bersama saudara kembar dan ayahnya yang merupakan penjual bensin eceran. Jangankan ruang belajar, dapur dan kamar mandinya berada di luar rumah. Aku masih ingat bagaimana harus membujuknya untuk sabar belajar membaca meskipun teman sebayanya sudah lancar. Aku kembali belajar bahwa hal kecil yang kita lakukan bisa berdampak besar bagi orang lain saat melihatnya sudah lancar membaca, bahkan dia bercerita baru-baru ini memenangkan lomba puisi.

 

Komunitas Jendela mengajariku banyak hal, dari yang membuat desain lewat power point saat ini desainku bisa terpajang di billboard-billboard besar. Foto yang sederhana hingga saat ini terpajang di situs-situs besar. Berbicara di depan adik-adik hingga saat ini berbicara dalam forum-forum internasional. Komunitas Jendelalah yang mengajariku untuk terus bersinar dan menyinari banyak orang meskipun hidup ini berusaha menenggelamkan.

Kadang-kadang aku rindu bermain lempar sandal, menemani berenang di kali, mancing di selokan, ayunan di lapangan, eksperiment ipa dan hal-hal menggembirakan lainnya yang membuatku selalu ingat bahwa selalu ada pilihan untuk menjadi bahagia.

 

 

Terakhir,

adik ini kembali mendatangiku sambil membawa secarik surat.

Di dalamnya masih ada puisi yang kuselipkan saat dulu bertukar surat dengannya.

 

Sayap-sayap kecil itu berusaha merentang sebelum waktunya.

Di tangannya tergenggam sebuah harapan.

Sorot matanya seolah tergantung angan-angan.

 

Di tengah dunia yang tidak membiarkannya terbang,

dia mencoba mengatasi badai dengan sayap mungilnya.

Seringkali ia terjatuh, seringkali ia terluka.

 

Namun ia tetap tegar,

bukan untuk terbang paling tinggi.

Dia hanya ingin mengerti apa artinya terbang.

 

Sekarang sayap-sayap kecil itu sudah merentang dengan gagahnya,

terbang melintasi berbagai mimpi.

 

(Catherine Pamela,Jendelist Jogja)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *