Lompat ke konten

Tahta Untuk Rakyat

Judul Buku : Tahta Untuk Rakyat – Sultan Hamengku Buwono IX

Penerbit : PT. Gramedia Jakarta , Cetakan III, 1982

Disusun oleh tim penulis, yang dihimpun oleh: Mohamad Roem, Mochtar Lubis, Kustiniyati Mochtar, S. Maimoen, dan disunting oleh Atmakusumah

depan_editJP-med

Tahta untuk Rakyat, adalah buku kenangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yaitu kenangan atas proses perubahan sebuah kekuasaan yang menyatu dengan perkembangan pribadi seorang raja di masa modern (lihat sampul belakang, paragraf 1). Sejak tahun 1940 tahta itu, warisan tradisi kerajaaan yang berabad-abad usianya dan menjadi hak istimewa dari turunan keluarga raja, diperbaharui secara mengesankan oleh seorang arsitek kekuasaan. Kekuasaan tradisional yang memperoleh legitimasi dari falsafah leluhur yang penuh mistik, diberi bentuk dan eksistensi baru: perpaduan pola feodalistik dan corak demokratis. Sebuah kekuasaan yang peka menanggapi amanat penderitaan rakyat (lihat sampul belakang, paragraf 1). Disusun oleh tim penulis, yang dihimpun oleh: Mohamad Roem, Mochtar Lubis, Kustiniyati Mochtar, S. Maimoen, dan disunting oleh Atmakusumah (lihat sampul muka), yang telah memiliki reputasi di bidang penulisan dan mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang kaya tentang hidup bermasyarakat. (lihat sampul belakang, paragraf 3)

Sampul Belakang

Buku yang diterbitkan oleh PT Gramedia Jakarta, Cetakan ketiga, 1982 ini berhasil menampilkan profil Sri Sultan bukan saja sebagai raja yang progresif tetapi juga sebagai manusia baru Indonesia, yang sadar akan posisi dan peranannya menegakkan nilai-nilai baru sesuai dengan tuntutan jaman. (lihat sampul belakang, paragraf 3)

Proklamasi kemerdekaan RI dinyatakan oleh Sukarno-Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 Hamengku Buwono IX langsung mengetok kawat kepada kedua proklamator, dan dengan spontan ia mengucapkan selamat atas terbentuknya Negara Republik Indonesia. Dua hari kemudian, 20 Agustus 1945, kembali ia mengirim telegram kepada Presiden dan Wakil Presiden RI, dan secara spontan menyatakan ‘sanggup berdiri di belakang pimpinan’ mereka. Beberapa minggu kemudian di keluarkan ‘Amanat Sultan Hamengku Buwono IX’ tanggal 5 September 1945, bahwa Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa, bagian dari RI. Tanggal 6 September 1945, Mr. Sartono dan Mr. A.A. Maramis menyampaikan Piagam Penetapan mengenai kedudukan Yogyakarta dalam lingkungan RI, yang di tanda tangani oleh Presiden Sukarno, tertanggal 19 Agustus 1945, yakni satu hari sesudah dikirimkan kawat ucapan selamat yang pertama dari Hamengku Bowono IX. (lihat hal 64-65)

Awal kehidupan Republik Indonesia ditandai dengan suasana mencekam yang disebabkan oleh keganasan tentara NICA (Belanda) (hal 67, Bab 10 Perang Kemerdekaan, paragraf 1). Akhirnya keadaan terasa begitu gawatnya sehingga dalam sidang Kabinet pada 3 Januari 1946 diambil keputusan untuk memindahkan kedudukan pemerintah pusat Republik Indonesia ke Yogyakarta (lihat hal 67, paragraf 3). Esok harinya waktu senja, sederetan gerbong kereta api yang kosong perlahan-lahan tanpa menimbulkan banyak suara ribut ditarik oleh sebuah lokomotif dari stasiun Manggarai, berhenti di rel Pagangsaan Timur, tepat di belakang rumah Presiden Sukarno, jalan Pegangsaan Timur 56. Sebuah gerbong sengaja terpisah, memberi kesan seolah-olah sebuah gerbong paling belakang yang tidak penting dalam rangkaian gerbong-gerbong yang lain. Padahal justru di gerbong inilah Presiden dan keluarga, Wakil Presiden dan keluarga, dan pemimpin-pemimpin lain dari Republik pada malam itu bersembunyi, masuk dari halaman belakang kediaman Presiden. Mereka semua tak membawa barang apapun. (lihat hal 68, paragraf 1)

Dalam malam gelap tak berbintang pada 4 Januari 1946 itu berpindahlah Republik Indonesia dari pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman di Yogyakarta. Dan pada akhir perjalanan itu di stasiun Tugu, pimpinan Republik ini disambut hangat oleh Sultan Hamengku Buwono IX. Mulai waktu itulah Yogyakarta menjadi Ibukota Revolusi dan ternyata sanggup bertahan mengatasi gelombang pasangsurutnya perjuangan di tahun-tahun berikutnya. (lihat hal 68, paragraf 2)

Kedengarannya mungkin irasional dan tidak ilmiah, namun berulang kali Sultan Hamengku Buwono IX menegaskan betapa besar arti wisik atau bisikan gaib dari nenek moyangnya bagi dirinya (lihat hal 44, paragraf 1: “Tole, tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene”). “Wisik adalah sumber dasar bagi saya! Saya yakin dan percaya penuh bahwa petunjuk dari nenek moyang saya itu benar dan harus saya ikuti maka oleh karena itu, orang akan mengerti sikap saya selama seluruh jaman Jepang dan lahirnya Republik Indonesia, demikian dikatakan dengan tegas.” (lihat hal 63)

Hamengku Buwono IX memang hidup di dua dunia yang dapat disatukannya dengan harmonis sekali; dalam dunia yang pertama, ia adalah Raja dalam arti kata yang sesungguhnya, hidup di Keraton yang penuh tradisi berdasarkan adat yang telah berjalan ratusan tahun, di mana berbagai jenis pusaka masih diagungkan, berbagai larangan masih ditegakkan dan hanya dapat dimengerti melalui jalan mistik, dan hubungan dengan leluhur pun tidak mustahil. Dunia yang kedua, ia adalah seorang berpikiran progresif, pendidikan Barat telah membuatnya menjadi sikap demokratis, terbuka terhadap hal-hal baru dan gagasan pembaruan. Ia sendiri bahkan telah melaksanakan beberapa pembaruan sejak naik tahta, misalnya penghapusan Pengadilan Darah Dalem (Special Court bagi para bangsawan) yang digantinya dengan proses pengadilan biasa. Ia pun telah mempraktekkan demokratisasi melalui pemberian otonomi di kabupaten seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta sejak akhir jaman pendudukan Jepang. Ia seorang pembaru.

Bagi Republik Indonesia yang masih muda itu, Hamengku Buwono IX telah memberikan segala-galanya, yakni kerajaannya, rakyatnya, hartanya, dan nyawanya. Hanya dalam waktu satu hari setelah proklamasi kemerdekaan, berturut-turut ia menyatakan Selamat dan berdiri di belakang pemimpin Republik Sukarno-Hatta, dan kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia; ketika gerilyawan kita kekurangan logistic (makanan), dengan perkataan ‘Ngarsa Dalem’ maka rakyat dengan senang hati memberikan sebagian beras atau apa saja yang dipunyai. (Ngarsa Dalem ngersakaken wos kangge keperluan lare-lare ingkang sami bertempur) (lihat hal 229, paragraf 5; dan hal 230, paragraf 1); ketika para pejuang dan pimpinan Republik belum menerima gaji, ia membagi-bagikan uang Belanda dalam jumlah sangat besar, dengan risiko ditangkap Jepang, dan tidak untuk kepentingan dirinya dan keluarganya tetapi untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan tanah air (lihat hal 209, paragraf 3); kata Ny. R. Moh. Hatta: “Setengah tak percaya, saya menerima dan membuka bung-kusan itu dan ternyata isinya uang perakan Belanda, mulai satu rupiah (satu Gulden) sampai seringgit (dua setengah Gulden), sampai sekarang saya masih menyimpan beberapa gulden dari uang itu sebagai kenang-kenangan(lihat hal 213, paragraf 2); ketika Jenderal Meyer menekan Sri Sultan dengan pasukan tank, truk dan panser yang moncong senapannya diarahkan ke pintu gerbang Keraton, maka kata Sri Sultan: “Kalau tuan-tuan ingin memperlakukan Keraton seperti Kepatihan, lebih baik bunuhlah saya. (lihat hal 171)

Sesungguhnya bisikan gaib alias wisik (bahasa Jawa) itu, dalam bahasa Kitab Suci (Al Quran), adalah wahyu ilahi yang sampaikan oleh para utusan-Nya, ialah para malaikat atau manusia yang dikehendaki-Nya (Al-Hajj :75).

 

Sri Sultan Hamengku Buwono IX bercerita (hal 111-113): “Pada jaman Sultan Hamengku Buwono I telah dibuat lima figure wayang dari kulit, yang kemudian menjadi pusaka Keraton. Pada waktu itu pendiri kesultanan Yogya tersebut telah meramalkan bahwa wayang pusaka ini akan hilang pada jaman pemerintahan Hamengku Buwono III, dan akan kembali lagi pada jaman pemerintahan Hamengku Buwono VIII dan Hamengku Buwono IX. Apabila kelak kelima wayang itu sudah kembali lagi ke Keraton, maka baru pada waktu itulah Negara akan makmur sejahtera, demikian ramalan Hamengku Buwono I.”

Benar, ketika Hamengku Buwono III berkuasa hilanglah kelima wayang tersebut. Di jaman pemerintahan ayah saya, Hamengku Buwono VIII berusaha mencarinya dan dua di antaranya memang ditemukan kembali. Sesungguhnya, menurut kepercayaan Jawa, pusaka itu memang dapat hilang dengan sendirinya, dan tanpa dicari dapat kembali pula dengan sendirinya.

Nah, ketika saya pulang dari studi di Holland, tak lama kemudian seorang Tionghoa datang dengan maksud mengembalikan sesuatu ke Keraton Yogya. Figure yang diserahkan waktu itu adalah tokoh Arjuna. Orang itu memberikan dengan ikhlas dan tidak mau diberi imbalan.”

Beberapa waktu sebelum kelahiran anak laki-laki saya yang tertua di tahun 1946, datanglah seorang dari Ambarawa. Diapun menyatakan ingin menyerahkan sesuatu untuk Keraton Yogya, yang ternyata adalah tokoh wayang, kini berupa Srikandi bertatah halus dan cantik. Pesan yang menyertai pengembalian wayang Srikandi ialah agar bayi yang akan lahir dalam waktu dekat diberi nama Arjunawiwaha. Saya cari bunyi lain dan memberi nama Herjuno Darpito (Sekarang Hamengku Buwono X).”

Dengan demikian kini empat dari kelima tokoh wayang telah berada di Keraton Yogya kembali. Tinggal menunggu sebuah lagi akan lengkaplah kelimanya, tetapi berupa apa yang kelima ini saya tidak tahu.

Penulis: “Semua cerita itu sangat mengasyikkan, seakan-akan dongeng-dongeng jaman dulu. Tapi, nyatanya telah benar-benar terjadi. Saya hanya berhadap semoga benar ramalan Hamengku Buwono I bahwa jika kelimanya telah kembali, Negara akan makmur sejahtera. Apakah ini berlaku untuk seluruh Indonesia atau hanya Yogya?

Hamengku Buwono IX: “Sebagaimana sudah saya katakan, soal percaya atau tidak terserah saja. Saya hanya menceritakan kejadian sebagaimana kami alami.

Penulis: “Bapak percaya kepada ramalan Jayabaya?

Hamengku Buwono IX: “Kenyataannya, ramalan Prabu Jayabaya benar-benar terlaksana, asalkan kita tahu bagaimana mengartikan kata-kata yang penuh kiasan itu.”

Demikianlah, ketika kita percaya bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, dan oleh Allah, dan kepada Allah (Al-Fatihah :6, Al-Baqarah :156, innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun), dan karena itu kita percaya bahwa rancangan kehendak Allah tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk para pemimpinnya, juga sudah ada dan sudah ditetapkan, cuma memang wujudnya adalah kiasan-kiasan bahkan wahyu lisan dari para malaikat-Nya.

Maka soalnya adalah apakah kita telah layak dan karena itu diberi berkat kemampuan untuk bagaimana mengartikan kata-kata yang penuh kiasan itu, ataupun apakah kita adalah orang yang terpilih untuk diberi berkat kemampuan mendengar dan mengerti apa kata wahyu yang disampaikan oleh para malaikat itu. Apakah kita sudah dimampukan untuk membedakan manakah wahyu para malaikat dengan kerasnya bisikan hati yang berasal dari diri kita sendiri?

Yang pasti adalah bahwa masa kini ada dua pakar falsafah politik modern, satu dari dunia Timur yakni Seyyed Hossein Nasr, penulis buku A Young Muslim’s Guide to Modern World, 1993, dan yang lain dari dunia Barat yaitu Erick Voegelin, yang disitir oleh S.P. Varma dalam bukunya Modern Political Theory, 1982, Cetakan kelima, tahun 1999, dan keduanya tidak saling mengenal satu dengan yang lain, namun merekomendasikan pokok pikiran falsafah politik modern yang sama, ialah bahwa politik itu harus berdasarkan sesuatu yang tetap, yaitu Kitab Suci (lihat IndoPos, tanggal 22 Maret 2008, Artikel Opini Mentalitas Elite Kunci Demokrasi oleh Muhaimin Iskandar, Ketua Umum DPP PKB), yakni memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan transcendental (wahyu).

Konsep politik yang akan berlaku di abad ke dua puluh satu, millennium ketiga itu benar-benar telah mempertemukan dunia politik Timur dan dunia politik Barat. Dan keduanya membenarkan sikap Sri Sultan Hamengku Buwono IX, tentang wisik alias wahyu yang justru membentuk sikap hidup beliau, yang memberikan segala-galanya bagi bangsa dan Negara tanpa pamrih, termasuk di bidang politik pada tahun-tahun awal kemerdekaan RI.

Sesungguhnya, itulah inti pesan, teladan, dan amanah Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada para pemimpin bangsa Indonesia, termasuk kepada puteranya sendiri: Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *