Lompat ke konten

Oliver Twist

Judul    :    Oliver Twist

Penulis    :    Charles Dickensviewimage.php

Penerjemah    :    Reni Indardini

Penerbit    :    Bentang Pustaka

Cetakan    :    Maret 2011

Tebal    :    578 halaman

Ada begitu banyak buku klasik yang berbicara tentang kondisi nyata kesenjangan sosial. Melalui seni sastra klasik yang memberikan gambaran serta sudut pandang tentang efek samping dari Revolusi Industri di Inggris pada abad 19, Charles Dickens berhasil mengemas dan mempopulerkannya dalam bentuk novel yang berjudul Oliver Twist, dengan ketebalan 578 halaman.

 Olver Twist kecil lahir di sebuah rumah sosial di daerah pinggiran Inggris. Ibunya meninggal sesaat setelah Oliver Twist untuk pertama kalinya menyapa dunia. Hidup tanpa orang tua di rumah sosial membuat Oliver Twist diperlakukan seperti seorang berandalan dan penjahat. Oliver Twist sangat kesepian.

“amat kesepian, tuan!.. Amat sangat kesepian!”. Tangis anak itu. “semua orang membenci saya. Oh, Tuan.. Jangan, jangan marah kepada saya”. (hal.37)

 Nasib Oliver Twist sebagai anak yatim piatu yang tak tahu akar sejarah kehidupannya jelas amatlah menyedihkan pada jaman itu. Berada di bawah pengawasan Dinas Sosial dan ditempatkan di rumah sosial yang dikelola warga dan ditunjang oleh pemerintah tidak juga membuat Oliver Twist merasa aman dan tenteram. Kebanyakan rumah sosial itu malah mengambil keuntungan dengan menyunat anggaran makanan dan segala kebutuhan anak-anak dari anggaran yang sebenarnya yang di dapat dari pemerintah. Akibatnya, anak-anak itu menderita kurang gizi parah, tidak diperlakukan secara manusiawi; bekerja berat dan siksaan fisik. Di lingkungan seperti itulah Oliver Twist kecil tumbuh selama 8 tahun.

Pada masa itu, Oliver Twist dan semua pekerja miskin lainnya hanya diberi makan bubur yang terlalu encer. Ketika Oliver Twist meminta sedikit tambahan makanan, ia pun dianggap membangkang. Oliver Twist yang dianggap sebagai beban bagi desa, kemudian dijual kepada setiap penawar untuk dijadikan pesuruh/ pekerja.

Lelah dengan itu semua, Oliver Twis melarikan diri ke London. Sesampainya di London, ia bertemu dengan kelompok pencuri yang dipimpin oleh seorang pria bernama Fagin. Saat mencoba mengikuti teman-temannya melakukan pencurian, ia tertangkap. Namun nasib baik pun mengikutinya. Korban pencurian itu mencabut tuntutannya karena yakin Oliver Twist tidak bersalah dengan adanya kesaksian dari seorang saksi yang berada di tempat kejadian perkara. Oliver Twist akhirnya dirawat dengan penuh kasih sayang oleh korban pencurian itu yang bernama Mr. Brownlow dan Nyonya Bedwin. Oliver merasakan nikmatnya surga untuk pertama kali dalam kehidupannya, walau itu tak berlangsung lama karena Fagin kembali menangkapnya. Ia pun kembali berhadapan dengan sesaknya kejahatan.

Perjalanan Oliver belum berhasil, Oliver masih terancam nyawanya, karena seseorang yang berhubungan dengan masa lalu mengincar kehidupannya. Ia adalah Monks. Siapakah Monks?. Mengapa Monks ingin sekali mencari tahu tentang sejarah kelahiran Oliver Twist?. Apakah demi satu tujuan utama, yaitu harta?. Mengapa harta?. Bukankah Oliver lahir dari seorang ibu yang amat miskin?. Ternyata, kemiripan Oliver dengan foto seorang perempuan di rumah Mr. Brownlow-lah yang menjadi kunci siapa sebenarnya Oliver Twist. Lalu, bagaimana nasib membawanya?.

Pada awal cerita, peran Oliver Twist memang cukup mencolok. Namun, di bagian-bagian selanjutnya justru tokoh-tokoh lainlah yang menurut saya lebih menonjol. Mungkin memang Charles Dickens sengaja ingin mengupas tuntas tentang kejahatan dan kemunafikan yang ada di masyarakat pada saat itu.

Oliver Twist pertama kali diterbitkan pada tahun 1838, kisah yang menggambarkan kondisi Inggris pada masa Revolusi Industri dimana anak-anak yatim dan masyarakat kelas bawah kurang memiliki hak untuk berpendapat. Oliver Twist juga memuat cerita yang ditujukan Charles Dickens untuk The Poor Law Amendment Act 1834 tentang aturannya yang mengharuskan semua bantuan amal kepada masyarakat kelas bawah dikelola oleh workhouses (rumah sosial).

Sedikit bercerita tentang “The Poor Law Amendment Act. 1834”, karena salah satu pendorongnya adalah akibat yang ditimbulkan revolusi industri dan agraria. Revolusi ini menimbulkan persoalan ekonomi dan sosial terutama yang menyangkut kemiskinan orang banyak. Pada awal perkembangan modern, pemerintahan daerah (desentralisasi) di Inggris bukan merupakan fenomena politik. Baru kemudian dalam rangka demokratisasi, fenomena politik mengambil bagian dalam perkembangan itu. Untuk mengatasi kesulitan sosial-ekonomi yang timbul akibat revolusi industri dan agraria tersebut, maka pada tahun 1834 diadakan pembaharuan terhadap “The Poor Law”, menjadi “The Poor Law Amendment Act. 1834”.

Sebagai penulis sastra klasik, Charles Dickens memang mahir sekali menggambarkan setiap situasi pada cerita kali ini, baik yang mencekam, menyedihkan sampai kebahagiaan melalui kalimat-kalimat yang indah. Banyak pesan yang disampaikan Charles Dickens seperti kutipan di bawah ini;

“para manusia yang mengamati alam dan meneriakkan bahwa semuanya gelap dan suram adalah cerminan mata serta hati mereka sendiri yang tidak sehat. Semburat sejati sesungguhnya lembut dan membutuhkan penglihatan yang jernih”. (hal.352)

 

@aku_Happy 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *