Lompat ke konten

Habis Gelap Terbitlah Terang

20130419-075524.jpgPergilah. Laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang palsu tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi. Pergilah. Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi.”

Demikian sepenggal surat yang ditulis Kartini kepada Ny. Van Kol, tanggal 21 Juli 1902. Surat-surat Kartini yang penuh pesan menggugah itu terkumpul dalam buku yang berulang-ulang disebut di buku sejarah, berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku setebal 512 halaman, terbitan Penerbit Narasi, ini adalah buku yang menjadi titik awal gerakan emansipasi kaum perempuan di Indonesia. Betapa tidak, Kartini dengan begitu indah menuliskan pemikiran-pemikirannya tentang kesetaraan gender di Indonesia. Kartini ingin membebaskan perempuan di negerinya, yang kala itu terbelenggu diskriminasi budaya. Melalui surat yang ia kirimkan kepada sahabat-sahabat penanya di Belanda, Kartini memperjuangkan nasib kaum perempuan, yang kala itu hanya jadi ‘kanca wingking’ bagi suaminya.

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” -Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, tanggal 4 Oktober 1902

Membaca tulisan di atas, jelas sudah apa yang dimaksud Kartini dengan emansipasi. Bahwa seorang perempuan memang tak bisa lepas dari kodratnya: menjadi seorang ibu. Maka untuk itu seorang perempuan harus menjadi seseorang yang terdidik, seseorang yang berwawasan. Karena ibulah yang akan menjadi guru pertama bagi anak-anaknya. Emansipasi Kartini tidak mengajarkan perempuan agar ‘kurang ajar’ pada lelaki, apalagi suaminya. Sama sekali bukan. Kartini juga tidak menyuruh kaum perempuan bersaing dengan laki-laki. Kalau ternyata seorang perempuan memang lebih unggul dibanding laki-laki dalam suatu bidang, itu perkara lain. Bahwa ternyata perempuan juga bisa memimpin kaum laki-laki, itu lain pula persoalannya.

Dalam surat-suratnya, Kartini juga menyinggung banyak hal lain yang terjadi pada masa itu. Tentang ketidaksetujuannya pada poligami, tentang politik, tentang musim banjir, tentang budaya unggah-ungguh di Jawa yang masih sangat melekat, tentang rasa hormat dan cintanya pada sang ayah, dan tentang kehidupan perkawinannya yang bahagia. Bahkan dalam salah satu suratnya kepada Nyonya R. M Abendanon, Kartini menuliskan perasaannya yang buncah karena sedang mengandung anak pertamanya, “Kebahagiaan yang besar dan manis akan datang bagi saya. Bila Tuhan mengizinkan, pada akhir bulan September akan datanglah seorang utusan Tuhan akan memperindah lagi hidup kami yang sudah indah ini, mempererat tali silaturrahim yang sudah memikat kami berdua. Ibu, ibuku, betapa rasanya dalam hati saya tidak lama lagi akan lahir dari jiwa kami berdua dan akan memanggil saya “ibu”!”

Salah. Salah kaprah, jika ‘emansipasi’ lantas dijadikan alasan seorang perempuan untuk ‘keluar’ dari kodratnya. Kartini memang mengajarkan kaum perempuan untuk berani berkata ‘tidak’ pada setiap bentuk diskriminasi dan penindasan. Kartini ingin perempuan diberi hak yang sama dengan kaum laki-laki. Kartini tidak setuju dengan konsep poligami. Kartini ingin perempuan bebas menjadi apa yang ia cita-citakan, dan bersekolah setinggi mungkin. Tapi… Kartini sekali-kali tidak mengajarkan kaum perempuan untuk memberontak pada suami maupun ayahnya. Kartini juga tetap santun dan sopan dalam bertutur, dan di akhir masa hidupnya, ia menjalankan perannya sebagai seorang ibu dengan sebaik mungkin.

Kontradiktif memang. Tapi mungkin memang begitulah cara Kartini memaknai emansipasi dan kesetaraan gender. Bahwa perempuan harus berani bermimpi, setinggi apapun itu. Namun, sejauh apapun perempuan berlari meraih mimpi, alam akan memanggilnya kembali ke kodrat yang sudah tergaris: menjadi seorang ibu.

Untuk setiap perempuan, penyuka sastra atau penikmat sejarah…buku ini sangat layak untuk dibaca, bahkan dikoleksi. Bacalah, lalu terinspirasilah. Karena dalam setiap kalimat yang disusunnya, Kartini menyematkan pesan yang sangat indah.

“Tahukah kamu semboyan saya? Saya mau! Dan dua patah kata yang pendek itu sudah beberapa kali mendukung saya melampaui keberatan dan kesulitan bergunung-gunung. Saya tidak dapat adalah kata-kata yang mematahkan semangat. Saya mau! Akan mendorong kita ke puncak gunung.” -Kartini

20130419-075524.jpg

20130419-094742.jpg

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *