Pagi itu, roda dua saya berhasil menempuh perjalanan sejauh 14 km. Rasa penasaran bercampur gembira seketika menyeruak dari dalam kepala. Dengan meminta izin orang tua di rumah ingin bekerja jadi relawan tenaga ajar, saya pun berangkat. Pengalaman baru, namun bukan yang pertama mengingat ini bukan kali pertama saya menjadi seorang relawan. Beberapa kali melakukan pekerjaan tanpa dibayar dengan konteks tugas yang berbeda, kerap kali saya lakukan. Namun percayalah, ini berbeda. Sangat berbeda.
Pukul 09.45, saya dan dua rekan mulai memasuki salah satu wilayah perumahan elit di kota. Rumah-rumah besar tinggi menjulang, dilengkapi dengan atap rapat yakin tanpa celah bocor, serta cat tembok sempurna warna-warni tanpa noda. Tapi tempat itu bukanlah destinasi kami. Dibekali niat iklas dan tulus, tidak jauh dari perumahan elit, roda dua kami arahkan ke salah satu tempat terpenting dan terpadat di kota kami. Tempat terpenting namun terabaikan, tidak ada yang hendak menyambangi tanahnya kecuali para petugas dan pemulung. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung, Kecamatan Teluk Betung Barat dengan luas lebih kurang 14 hektar, memiliki aroma ‘khas’ yang dapat tercium dalam radius 1,5 km. Tempat di mana seluruh sampah seberat 750-800 ton sampah masuk setiap harinya dari seluruh warga Bandar Lampung berkumpul. Luar biasa. Di tempat ini kah saya akan melakukan aktivitas lebih kurang dua jam bersama dengan adik-adik pemulung?
Benar saja. Komunitas Jendela namanya. Saya dan tiga orang lainnya menjadi bagian terbaru dari orang-orang hebat ini. Decak kagum saya bergema dari para punggawa relawan komunitas. Setiap minggu di tempat yang bau, menyisihkan waktunya untuk mengabdi pada negeri, memberikan pelayanan terbaik di dunia pendidikan bagi mereka yang terpinggirkan. Bukan hinaan, cacian, apalagi makian, namun amalan yang mereka genapi guna kebermanfaatan di kemudian hari. Jadi ingat ketika salah seorang senior dari divisi relawan Komunitas Jendela berkata “kalau bukan kita yang memperhatikan mereka, siapa lagi?”.
by : Ananda Putri S.