[Quote of the day]
“Aku tidak berbeda, aku hanya sedikit lebih spesial dibanding kalian, tapi aku tetap ingin bermain dan mengenal dunia seluas yang kalian ketahui”
***
Sore itu entah untuk yang keberapa kali sekre Jendela Jogja sangat ramai. Ramai Jendelistnya, ramai pula adik-adiknya. Sampai penghujung sore tiba pun suasana di sana masih penuh dengan canda tawa Jendelist dan adik-adik Ngemplak. Aku sengaja duduk di lantai semen pos ronda sebelah sekre, mengamati keceriaan mereka beserta latar belakangnya, langit sore. Sesekali aku ikut tertawa ketika ada hal-hal lucu dari mereka. Menikmati semua hiburan itu tak lantas membuatku terlena, tepat di arah pukul tiga dari sudut mataku aku menyadari kehadiran sesosok lelaki. Lelaki itu mengenakan baju batik hijau, celana kain berwarna cokelat pramuka, berbadan tambun, dan kutaksir usianya cukup jauh dariku, mungkin sembilan atau sepuluh tahun di atasku. Ternyata bukan hanya aku yang menyadari kehadirannya, beberapa Jendelist dan adik-adik Ngemplak pun juga menyadarinya. Karena saat lelaki tersebut mendekat, beberapa adik-adik Ngemplak berlari menjauhinya. Kali ini wajah mereka tidak main-main, bukan bercanda. Mereka merasa takut dan seakan risih melihatnya. Reaksi mereka membuatku sadar, lelaki tersebut adalah penderita tuna grahita atau yang biasa orang awam bilang keterbelakangan mental – kondisi di mana penderita mengalami hambatan pada masa perkembangannya, termasuk tingkah laku yang membuatnya bertingkah seperti anak kecil meski usianya sudah tak lagi kecil. Ku perhatikan gerak-geriknya, kebanyakan dia berbicara sendiri dan sesekali terdiam memandangi keseruan adik-adik Ngemplak yang bermain bersama. Entah kenapa saat aku melihatnya terdiam memperhatikan yang lainnya asyik bermain, ada perasaan aneh dalam hati. Apa dia ingin bermain normal seperti anak-anak normal lainnya? Yah... who knows.
Suasana sudah kembali seperti semula, semua sibuk dengan keasyikan masing-masing, tak terkecuali lelaki itu. Di sisi paling utara jauh dari anak-anak lain, lelaki tersebut berdiri tegap dengan sikap tangan ngapurancang dan mulai terdengar pidato ala-ala Pak Lurah menggunakan bahasa Jawa halus. Lancar tanpa jeda, pandangan mantap ke arah penonton yang tak pernah ada. Meski aku tidak mengerti apa yang dia ucapkan (karena bahasa Jawa halus bukanlah keahlianku), tapi untuk seseorang yang dicap “kurang”, itu adalah hal yang sangat luar biasa. Kagum? Tentu saja. Bahkan orang biasa pun cukup sulit untuk berpidato dengan Bahasa Jawa halus. Dan perhatianku tertangkap oleh matanya. Ternyata dia cukup tersipu ketika menyadari aku memperhatikan pidatonya tadi. Aku tersenyum padanya dan kuberikan tepuk tangan kecil untuknya. Rupanya, tepukan tanganku membuatnya semakin malu dan akhirnya memutuskan untuk duduk di sebelahku.
“Keren pidatonya!” pujiku sambil mengacungkan kedua jempol tanganku. Dia hanya tertawa dan bergeliat malu. Beberapa saat kemudian, dia mulai mengajakku berbicara. Tapi sayang, apa yang dia ucapkan tidak terlalu jelas apalagi diikuti tawa di setiap akhir kalimatnya. Aku hanya bisa ikut tertawa dengannya agar dia mengira aku mengerti apa yang dia ucapkan. Masih asyik menerka kata demi kata darinya, tiba-tiba salah seorang adik Ngemplak memanggilku sambil berbisik.
“Mbak! Jangan di situ, bahaya, sini ajaa!” dia semacam memperingatkanku sambil memberikan kode gerak tubuh : memiringkan telunjuknya di depan keningnya. Oh, tidak. Aku menghampirinya.
“Kenapaaa? Kok aku disuruh kesini?”
“Mbaaak, dia tu orangnya aneh. Kayak orang…” lagi, dia memiringkan telunjuknya di depan keningnya.
“Heeeeei, siapa yang ngajarin kayak gitu? Dia biasa aja kok. Sama kayak kita, nggak ada bedanya, cuma sedikit…hmm…spesial,” aku mencoba memberikan pengertian kepadanya, meskipun dia tidak sependapat denganku dan bersikeras untuk “menyelamatkanku”, aku tetap membela lelaki itu. “Dia cuma pengen main sama kita, kayak kalian. Makanya aku temenin di sana.”
“Iiih, mbak tuuu. Ya udah kalo mbak enggak percayaaa,” nadanya kesal tapi aku tetap berusaha meyakinkan dia kalau lelaki itu bukanlah seperti yang ia pikirkan. Aku kembali untuk menghampirinya, tapi ternyata dia sudah dihampiri oleh keluarganya, yang kupikir mungkin ibunya, untuk mengajaknya pulang. Selepas itu, semua adik-adik pun pulang dan hari mulai gelap.
Kejadian barusan mengingatkanku akan satu hal yang ditanamkan oleh sebuah gerakan berkegiatan bersama “orang spesial” bahwa di luar sana, orang-orang masih melihat ”orang spesial” dengan sebelah mata. Diskriminasi bukan hal yang baru bagi mereka, mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari untuk mereka. Dan kali ini aku merasakannya secara langsung, bukan dari orang lain, melainkan dari adik didikan sendiri. Mereka memang belum pernah mendapatkan pendidikan formal ataupun non-formal tentang ini, tentang menghargai “orang spesial”, tentang memberi pengertian kalau “orang spesial” tidak berbeda, hanya… spesial. Dan disini lah kita bisa mengambil peran. Tanamkan pada adik-adik untuk don’t judge the book from its cover, jangan menilai sebelum mengenalnya.
“Aku tidak berbeda, aku hanya sedikit lebih spesial dibanding kalian, tapi aku tetap ingin bermain dan mengenal dunia seluas yang kalian ketahui”
Written by : Yara Zahrah