Lompat ke konten

Pendidikan Alternatif Sebagai Antithesis Pendidikan Formal

[Quote of the day]

“Pendidikan alternatif adalah pendidikan yang memerdekakan dan demokratis, sebagaimana proses belajar seharusnya berjalan dan dilaksanakan.”

***

 Minggu, 22 Januari 2017

Belajar sebagai proses untuk pencarian ilmu pengetahuan seyogyanya adalah aktivitas yang menyenangkan dalam menyelusuri lorong-lorong kegelapan yang belum pernah kita tapaki. Namun, seringkali proses pembelajaran berakhir menjadi aktivitas yang menjemukan di dalam sekat-sekat ruang kelas, dengan kegiatan yang monoton, mencatat, mendengarkan, menghafal, dan mengerjakan latihan. Tak urung, belajar menjadi hal yang membosankan, tidak menyenangkan, monoton dan tidak ada variasi. Sekolah tidak menjadi tempat yang membuat pembelajar merasa betah di dalamnya. Proses belajar di banyak sekolah formal masihlah belum dirasakan sebagai sebuah aktivitas yang menyenangkan. Lingkungan sekolah yang menjemukan pun tak pelak menghasilkan pembelajar-pembelajar yang terkungkung kreativitasnya, kemandiriannya, dan bahkan kebebasannya. Maka sudah sewajarnya apabila sekolah-sekolah masih kesulitan melahirkan pembelajar-pembelajar yang benar-benar mencintai ilmu pengetahuan, bukan sekedar robot-robot yang dipersiapkan untuk sekedar menjadi pekerja semata. Begitupun, kompetensi mereka (para lulusan) pun masih dipertanyakan. Untuk mempercayakan anak-anak kita sepenuhnya ke institusi pendidikan formal belum mampu meyakinkan kita untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Tak ayal hal ini menjadi perhatian banyak orang, terutama pegiat pendidikan dan mereka yang peduli dengan dunia pendidikan. Mereka merasa bahwa institusi-institusi formal yang difasilitasi oleh pemerintah belum bisa menjalankan fungsinya secara maksimal. Maka dari itu banyak bermunculan pegiat-pegiat pendidikan yang berusaha menawarkan alternatif sebagai solusi dari gersangnya pendidikan institusi formal. Lalu muncullah pendidikan alternatif yang digerakkan oleh pemuda (mahasiswa) yang memiliki keprihatinan akan kurang maksimalnya pendidikan formal yang ada. Pendidikan alternatif muncul sebagai antithesis dari pendidikan formal yang belum mampu melaksanakan fungsinya dalam menyediakan pendidikan secara maksimal.

Pendidikan alternatif mampu memberikan spektrum yang mungkin tidak bisa ditawarkan oleh institusi formal. Pendidikan alternatif adalah model pendidikan yang memberikan kemerdekaan yang luas bagi pegiat maupun pesertanya. Ketidakterikatan dengan sistem yang kaku seperti kurikulum, silabus, RPP, maupun standar-standar yang mengikat memberikan kesempatan bagi para pegiat untuk mengeksplorasi segala macam metode dan medium yang bisa dicoba secara luas. Kreativitas pegiat pendidikan alternatif tidak terkungkung batasan kurikulum dan lesson plan yang baku dan kaku seperti di dalam kebanyakan kelas-kelas institusi formal. Namun apakah artinya pendidikan alternatif adalah pendidikan yang tidak mempunyai standar, tolak ukur, maupun rencana pencapaian? Tentu standar, tolak ukur, dan rencana pencapaian di dalam pendidikan alternatif tidak bisa dibandingkan dengan kurikulum, RPP, maupun rapor seperti di  institusi formal. Pendidik alternatif memberikan kemerdekaan seluas-luasnya untuk pegiat dan peserta dalam melaksanakan proses belajar. Selain itu pendidikan model seperti ini tidak terlalu fokus dengan pencapaian yang hanya bisa diukur dengan angka-angka. Dengan begitu muncul pertanyaan bagaimana bisa mengukur pencapaian kegiatan dan apakah hasil yang dicapai bisa dipertanggungjawabkan atau kredibel meski pun tanpa pengukuran? Sebagai seorang pendidik di sebuah institusi formal saya sangat memahami angka-angka pengukuran yang ada yang seyogyanya menjadi acuan pencapaian pun kebanyakan adalah hasil olah imajinasi pendidik dan bukan murni secara keseluruhan dari hasil yang dicapai peserta. Itulah mengapa dalam pendidikan alternatif pengukuran dengan angka tidaklah signifikan, karena pencapaian yang berusaha diraih biasanya bersifat jangka panjang dan fokus pada tujuan tertentu. Hal ini juga memberi dampak dimana peserta pendidikan alternatif memiliki kemerdekaan yang luas untuk belajar sesuai kemampuan dan minat mereka. Mereka tidak harus menjadi ahli di segala bidang dan mereka tidak perlu mengejar nilai-nilai. Belajar menjadi proses yang menyenangkan dan bukan atas dasar paksaan. Hal ini juga didukung oleh kreatifitas pegiat pendidikan alternatif yang mencoba mengemas kegiatan belajar menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan.

Salah satu pegiat pendidikan alternatif yang saya ikuti adalah sebuah komunitas yang memiliki fokus untuk meningkatkan budaya literasi atau membaca. Komunitas Jendela memiliki cara yang unik untuk mengajak anak-anak untuk suka membaca. Pada hari Minggu, 22 Januari 2017 komunitas ini mengadakan Open House dimana kegiatan ini bertemakan “IPA itu Asik”. Disitu anak-anak diajak untuk membiasakan membaca dengan beragam kegiatan yang menyenangkan dimulai dari menjawab teka-teki hingga melakukan eksperimen. Hal yang menarik dari kegiatan ini adalah reward system yang juga memotivasi anak-anak untuk belajar. Anak-anak diizinkan untuk mencoba eksperimen apabila mereka sudah membaca dan memecahkan soal teka-teki, sehingga anak-anak menjadi termotivasi untuk membaca. Setelah beberapa eksperimen berkaitan dengan tata surya, ada satu eksperimen utama yaitu roket air. Anak-anak baru diperbolehkan mencoba menggunakan roket air setelah menyelesaikan serangkaian eksperimen. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat menarik dimana motivasi seorang anak untuk belajar sesuatu dan menyelesaikannya adalah agar dia bisa melanjutkan belajar sesuatu yang lain yang menarik perhatiannya. Suatu hal yang tidak akan bisa dilakukan jika motivasi dari hasil belajar hanyalah angka-angka. Disinilah pendidikan alternatif memainkan perannya sebagai tempat belajar dimana kegiatan belajar adalah proses yang menyenangkan dan juga dibangun atas dasar keingintahuan. Mungkin dalam satu atau dua minggu mereka akan lupa dengan apa yang telah dibaca ketika mengikuti kegiatan ini, tapi mereka akan tetap ingat bahwa membaca adalah proses belajar berkelanjutan dimana mereka memerlukannya ketika mereka ingin belajar sesuatu yang baru dan menciptakan kesadaran akan kebutuhan membaca. Hal itulah yang ingin dicapai oleh Komunitas Jendela sebagai pegiat literasi. Belajar bukanlah sebuah proses instant yang langsung bisa diukur hanya dengan angka-angka, tapi menciptakan kecintaan untuk belajar akan menjadi pencapaian jangka panjang yang dampaknya bahkan sampai nanti ketika mereka sudah dewasa. Selain itu dalam proses belajar di dalam kegiatan ini, anak-anak belajar akan konsekuensi dari tanggung jawab dan haknya. Ketika mereka sudah melaksanakan tanggung jawab mereka baru bisa mendapatkan haknya.Tentu ini menjadi sebuah proses belajar yang sangat demokratis. Hal yang bertolak belakang dengan proses belajar di institusi formal dimana anak hanya dibebani dengan setumpuk tanggung jawab tanpa henti. Disinilah letak perbedaan antara pendidikan alternatif dan pendidikan formal. Pendidikan alternatif adalah pendidikan yang memerdekakan dan demokratis, sebagaimana proses belajar seharusnya berjalan dan dilaksanakan.

***

Oleh : Happy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *