Yeay! Hari Minggu, 9 September 2012, kegiatan rutin pertama di Shelter Gondang 1 paska Lebaran dimulai. September ini Jendela mengangkat tema yang agak berbeda. Berhubung para Jendelist berasal dari beragam suku, it’s such a good cause bila bulan ini kami berkutat pada Keragaman Budaya Indonesia. Untuk minggu ini, para Jendelist asal Lampung : Hasyim, Sela, Puput, dan Iik (Iik tidak bisa ikutan karna harus jualan di Sunmor) mengenalkan budaya Lampung pada adik-adik shelter. Kami yakin mereka belum semuanya paham tentang provinsi Lampung, mungkin di dalam pikiran mereka bertanya: “Lampung dimana ya mbak?”. Here we go… kami menunjukan gambar pulau Sumatera dan menunjukan letak provinsi Lampung. Materi seputar letak geografis, bahasa, dan makanan khas Lampung ditanggapi mereka dengan manggut-manggut diselingi pertanyaan-pertanyaan ringan.
Dengan misi Jendela yang selalu mengasah kreativitas anak-anak, kami tidak hanya menyuguhkan materi mengenai kekhasan Lampung namun juga mempraktekan bersama cara membuat Siger dari bahan sederhana: kertas.
Apa itu siger? Begini, siger ialah mahkota emas yang dipakai pengantin Lampung wanita, sedangkan untuk pengantin pria memakai kopiah emas. It comes to be our expectation, they’re excited much of it. Jadilah kami bertiga sibuk melayani permintaan mereka:
“Warnane harus emas po, mbak? Aku sing abang wae”.
“Punya (siger) ku mana? Mas, buatin ya mas”.
Kegiatan membuat siger pun riuh. Simply, pertama kami membuat model siger dan kopiah emas dari kertas, kemudian kami memberi kesempatan pada mereka untuk membuat sesuai model tadi. Suasana ramai namun hangat melingkupi balai dusun tempat kami berkarya. Wajah-wajah serius dan kebingungan muncul serentak menghiasi paras polos adik-adik shelter yang ingin segera membuat siger.
“Mbak iki piye guntinge ra iso mbelok ki?” (mbak, ini gimana cara guntingnya? Nggak bisa belok ini)
Pertanyaan ini kerap terlontar ketika tangan-tangan kecil itu kurang luwes memainkan gunting untuk mengikuti pola meliuk dari gambar siger. Perlahan-lahan kami mengajarkan mereka, mengingatkan mereka untuk tidak terburu-buru dalam menggunting, karena salah-salah bisa luka nanti.
Setelah siger jadi, dilanjutkan dengan menghiasnya dengan manik-manik. Di sesi ini, adik-adik ramai berebut manik-manik untuk ditempelkan pada siger mereka masing-masing. Candaan jawa khas mereka tak henti-henti bersautan. Mereka memperdebatkan soal sisa manik-manik yang hampir habis, alhasil saling berebut pun terjadi perkara warna mani-manik yang ditempel tidak sinkron (karena manik-manik kuning sudah habis, jadilah mereka pakai manaik-manik merah). Kids are!
Kegaduhan bertambah ketika salah satu anak telah selesai membuat dan yang lain masih ada yang sibuk menggunting dan menempel. Mereka tak sabar untuk memakai siger di kepala mereka. Beberapa menit kemudian… hap hap! Siger pun jadi. Duh adik-adik, kalian tampak ganteng dan ayu sekali. Kalau jendelist Mentari ikut di kegiatan ini, pasti ini yang akan dikatakan: wah kalian gaul banget, orang tua kalian pasti bangga! 😀
“Harga sebuah kebudayaan itu tak terhingga, Indonesia punya banyak. Kita hanya tinggal menjamin generasi setelah kita masih tetap dapat menikmatinya”
Written by Pendi Lestiani Novita Putri