Lompat ke konten

Between Wi-Fi and Oxygen

Desa yang terletak di pinggir hutan itu dulunya lebih sejuk dari sekarang. Tetapi orang-orang dari kota datang dan menebang pohon yang ada di hutan untuk keperluan industri. Bahkan ada beberapa orang yang membakar hutan untuk membuka lahan industri yang baru.

Pernah suatu kali hutan itu terbakar hingga membuat udara menjadi terasa panas. Bahkan asap hasil pembakarannya sampai ke desa dan membuat banyak warga terkena penyakit pernafasan seperti ISPA hingga meninggal akibat kanker pernafasan. Melihat itu, Kevin dan teman-temannya yang belajar di sekolah tentang pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan, menanam pohon di hutan, sepuluh per orang. Tindakan positif itu kemudian ditiru oleh seluruh warga desa, sehingga hutan pun kembali hijau dan desa kembali sejuk. Meskipun kadang masih ada tangan-tangan jahil yang merusak hutan., dan menyebabkan udara desa tidak sesejuk dulu lagi.

Setelah lulus SMP, Kevin yang tinggal di desa bersama neneknya, kembali ke kota, ke tempat dimana ayah dan ibunya tinggal, karena di desa belum ada gedung untuk pendidikan SMA.

“Inilah yang tidak kusukai jika tinggal di kota,” ujarnya sambil merebahkan tubuh di atas sofa. Tangannya meraih sebuah majalah yang terletak di atas meja, lalu mengipas-ngipas wajahnya dengan majalah itu. Setelah pindah dari desa, Kevin memang lebih memilih  untuk menghabiskan waktu di rumah setiap pulang sekolah. Ini karena masalah udara. Tidak seperti di desa, di kota terasa sangat panas, mungkin karena terlalu banyak kendaraan bermotor dan bangunan-bangunan tinggi, sementara pohon-pohon pengasup oksigen sangat sedikit. Satu-satunya tempat di kota yang cukup menyenangkan bagi Kevin adalah rumahnya sendiri. Ayah dan ibunya membuka usaha pembibitan pohon di rumah. Itu sebabnya rumah mereka selalu terasa sejuk tanpa AC, tidak seperti titik-titik lain di kota itu.

Kevin bersekolah di sebuah sekolah yang besar dan sangat terkenal. Namun jauh di dalam hati kecilnya, ia tetap lebih memilih bersekolah di desa, meskipun  bangunannya tidak semegah sekolahnya yang sekarang. Sekolah di desa yang asri karena banyak pohon ditanami, jauh lebih menarik bagi Kevin, dibanding sekolah di kota dengan udara yang merupakan kombinasi antara karbon monoksida dan Freon dari Air Conditioner. Jika bukan karena tidak ada SMA di desa, maka tidak ada juga alasan lain bagi Kevin untuk lebih memilih tiggal di kota dibanding di desa neneknya yang sangat sejuk dan memiliki banyak pohon.

Walaupun demikian, tetap saja Kevin mencintai sekolahnya yang sekarang, karena bagaimana pun juga, sekolah itu merupakan tempatnya menuntut ilmu. Apalagi di sana ada sebuah organisasi yang membuat hatinya tertarik yaitu klub Sispala atau siswa pencinta alam. Namun untuk dapat bergabung dengan klub itu, Kevin harus  mengikuti beberapa tes, atau menunjukkan bahwa ia pernah mendapatkan prestasi di bidang lingkungan hidup, baik secara teori maupun praktik. Untunglah saat SMP, Kevin pernah menjadi pemenang pertama dalam rangka menulis lomba cerpen Perhutani Green Pen Award. Selain itu, ia juga dinobatkan menjadi Duta Sanitasi Nasional tahun 2011, sehingga dengan mudah ia dapat diterima sebagai anggota klub Sispala.

Klub itu memiliki program untuk melakukan kebersihan sekolah setiap hari sabtu, mulai dari membuang sampah, mendaur-ulangnya, bahkan menanam pohon. Namun pada saat program itu berlangsung, Kevin melihat Aldy yang juga merupakan anggota klub Sispala, malahmematahkan pohon-pohon kecil, lalu berbaring di atas rumput.

“Aldy, menanam pohon kan tugas kita, kenapa kau malah mematahkannya?”

“Ah, tenang aja, Vin,” ujar Aldy sambil membaringkan tubuhnya di atas rumput yang juga ditanami bunga. “Aku Cuma mau istirahat sebentar, tapi pohon-pohon kecil ini menghalangi. Kalau udah selesai istirahat, nanti pohonnya pasti kutanam lagi,” kata Aldy dengan enteng sambil berbaring dan melipat tangannya di belakang kepala. Tapi Kevin tidak mendengar ucapan temannya itu lagi, karena matanya kini tertuju pada bunga-bunga yang kini ditindih oleh tubuh gemuk Aldy.

Bukan hanya itu, Kevin juga seringkali mendapati murid-murid di sekolahnya, termasuk anggota klub Sispala menginjak pohon-pohon kecil yang baru ditanam, sengaja maupun tidak sengaja. Ia seringkali menegur mereka. Namun teguran itu tetap diabaikan.

Suatu hari, Kevin duduk di bawah sebatang pohon tua di sekolah itu. Ia berpikir keras mencari cara yang tepat agar teman-temannya mau membuang kebiasaan merusak lingkungan.

Kreekk. Seperti ada sesuatu yang berbunyi dan bergerak di dekatnya.

Kreekk. Kreekk.

Suara itu terdengar lagi. Kevin mulai takut. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Apalagi di sekelilingnya tidak ada orang, sebab semua murid sudah pulang sejak tadi, sementara ia masih duduk di bawah pohon itu sebelum ayahnya datang menjemput.

“Hoaamm..” Sebuah suara terdengar lagi. Seperti suara orang yang mengantuk atau baru bangun dari tidur. Padahal mata Kevin tidak menangkap satu pun orang di sana. Pikirannya mulai melayang entah kemana. Ketakutannya semakin bertambah mengingat film horor yang ia tonton seminggu yang lalu. Di film itu, ditayangkan seorang anak yang suka duduk di bawah pohon tua, yang kemudian melihat sebuah penampakan dan mendengar suara tawa.

Husssh.

Cepat-cepat Kevin mengibas-ibaskan tangan di depan wajah dan menggeleng-gelengkan kepala untuk menepis pikiran-pikiran itu.

Huuu..huuu..huuu..

Deg.

Jantung Kevin mulai berdetak tidak beraturan. Apa yang dilihatnya di TV, kini benar-benar ia alami sendiri. Ingin rasanya ia berlari dari tempat itu, tapi lututnya terlalu lemas untuk bergerak. Akhirnya Kevin menutup mata dan telinga, berusaha menyembunyikan ketakutannya meskipun terus gagal.

Suara tangisan itu terus terdengar setelah beberapa menit ia menutup mata. Bahkan tangannya sudah terlalu lemas untuk dapat menutup kedua telinganya. Keringat mulai menembus pori-pori keningnya. Setelah berhasil mengamati, Kevin tahu bahwa suara itu berasal dari belakangnya. Dengan gugup, ia menyingkirkan kedua tangan dari telinga, kemudian membuka mata pelan-pelan, lalu membalikkan tubuh menghadap ke belakang sambil menahan nafas.

“Hah!!” Kevin  terlonjak kaget, lalu berdiri dengan cepat, tanpa niat berlari. Ia tidak bisa menahan rasa kagetnya melihat makhluk bersuara yang berdiri di belakangnya. Makhluk itu bukanlah makhluk halus seperti yang ia duga sebelumnya. Itu adalah sebatang pohon! Ya, pohon yang merupakan satu-satu pohon paling rindang di sekolah, tempat dimana Kevin sedang duduk dan berlindung dari terik matahari.

Kevin mengusap-usap matanya, lalu mencubit kaki dan tangan bergantian untuk meyakinkan bahwa ia sedang bermimpi. Tapi ternyata tidak! Sekelilingnya tidak berubah sama sekali. Ia masih tetap duduk di bawah pohon itu, dan telinganya masih bisa mendengar suara tangisan si pohon tua.

“K-kau..bi..bisa..bi..ca..ra..?” tanya Kevin terbata-bata.

“Huu..huu.. ya..” Pohon itu terus menangis. Mata, hidung, telinga, atau mulutnya tidak ada, namun bisa menghasilkan suara yang sedemikian jelas diiringi gerakan ranting dan batangnya. “Aku pohon ajaib,” sambungnya.

Kevin masih berdiri dalam diam dengan mulut menganga karena masih belum percaya dengan apa yang ia lihat. Telinganya masih mendengar suara tangisan pohon itu.

“Kenapa kau menangis?” tanya Kevin setelah berhasil mengumpulkan keberanian yang cukup untuk berlari dari kekagetannya.

“Huuu..huu.. Aku sedih,” kata pohon itu.

“Kenapa?”

“Huu..huu..Semua orang di sekelilingku adalah orang jahat yang selalu menyiksa teman-temanku.”

Kevin tidak menjawab. Ia hanya menghela nafas lega karena ternyata makhluk ajaib di depannya bukanlah makhluk yang berbahaya menyeramkan.

“Apakah semua orang sudah tahu bahwa kau bisa berbicara?” tanyanya kemudian.

“Huu..huu.. tidak,” ujarnya di sela-sela tangisan. “Aku sudah sangat tua, sampai aku lupa berapa usiaku sekarang. Tapi sejak aku tumbuh di sini, aku tidak melihat satu murid pun yang bisa menjadi teladan untuk membersihkan lingkungan. Mereka menyiksa dan membunuh keluargaku! Mereka semua hanya bisa merusak! Semua manusia memang jahat! Mereka sangat egois!” Pohon itu kini berbicara dengan penuh kemarahan.

Kevin menyimak kalimat-kalimat yang diucapkan pohon itu, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan pelan. “Tidak semua manusia jahat. Masih banyak manusia di luar sana yang peduli dengan hidup kalian,” hibur Kevin sambil berjalan lebih dekat ke batang pohon itu. “Dan jika kau berpikir bahwa semua manusia itu jahat, mengapa kau mau berbicara denganku?”

“Itu..itu..karena..aku kesepian. Aku tidak tahan menanggung penderitaan ini sendiri. Aku butuh teman bicara,” ujar pohon dengan sedih.

“Baiklah, kita bisa menjadi teman dekat,” kata Kevin sembari tersenyum.

“Terima kasih.” Pohon itu melambai-lambaikan rantingnya dengan senang. Ketika mengingat penderitaan yang dialaminya, ia kembali menangis. Tapi kali ini tangisannya terdengar lebih lembut dibanding sebelumnya.

“Jangan menangis,” hibur Kevin lagi. “Aku akan membantumu sebisaku.”

Mendengar itu, si pohon melambaikan rantingnya lagi, pertanda senang. Namun beberapa detik kemudian, ia kembali terisak. “Tapi aku tidak tahu apa yang bisa kau lakukan untukku dan semua keluarga pohon.”

“Hmm..” Kevin berpikir untuk mencari solusi yang tepat atas permasalahan si pohon. Jari tangan kanannya juga mulai menggosok-gosok dagu.

“Seandainya semua pohon bisa menghasilkan Wi-Fi gratis, pasti semua orang akan rajin menanam pohon-pohon itu,” ujar si pohon tua dengan sedih. “Tapi sayang.. kami hanya bisa menghasilkan oksigen untuk pernafasan manusia-manusia egois itu.”

Kevin sedih sekaligus tersentuh mendengar kalimat itu. Namun tidak lama kemudian, bibir mungilnya menyunggingkan senyuman bahagia karena mendapatkan sebuah ide cemerlang. Ia mengacungkan jari telunjuk di samping kepala, bersikap seolah ada lampu pijar yang menyala mengiringi ide yang dihasilkan oleh pikiran jeniusnya.

“Itu dia! Wi-Fi!” teriaknya dengan gembira. Untunglah tidak ada orang lain di sekolah itu selain dirinya. Jika ada orang yang melihat, mereka mungkin akan berpikir bahwa Kevin sudah tidak waras karena berteriak sendiri. “Jika kau bisa berbicara, itu artinya kau adalah pohon ajaib. Dan jika kau adalah pohon ajaib, maka kau bisa memberi Wi-Fi untuk para murid di sekolah ini. Dengan itu, mereka akan rajin menanam pohon. Hmm.. setidaknya pohon-pohon tidak akan punah,” katanya sambil tersenyum senang.

“Hm?” gumam si pohon. “Tapi idemu bagus juga! Baiklah, aku akan memberikan Wi-Fi gratis dari setiap satu pohon yang ditanam.”

Kevin tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Entah pohon itu melihat atau tidak, tahu arti acungan jempol atau tidak, ia tidak peduli, yang penting pohon malang itu kini tidak sedih lagi.

“Huhh! Wi-Fi macet lagi!” gerutu Aldy sambil mengetuk-ngetuk laptopnya.

“Ada satu keajaiban dunia yang tidak kau tahu,” ujar Kevin yang daritadi duduk di samping Aldy seraya menikmati semangkuk bakso.

“Apa?” tanya Aldy tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.

“Tanam satu pohon, dapat Wi-Fi gratis.”

“Hah? Maksudnya?” tanya Aldy seraya mengerutkan kening karena tidak mengerti. Kali ini pandangannya tertuju pada Kevin.

“Iya. Kalau kamu butuh sinyal Wi-Fi gratis, cukup tanam satu pohon.”

“Hahaha..” Gelak tawa Aldy terdengar keras di telingan Kevin. “Jangan kebanyakan nonton film ya, Vin!” ledeknya sambil mengelus-elus punggung temannya itu.

Namun Kevin hanya diam. Kemudian ia menarik Aldy keluar dari kantin itu menuju taman kelas terdekat. Melalui isyarat, ia meminta Aldy duduk di sana dan menunggunya. Kevin pergi ke belakang kantin. Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan sebatang pohon kecil yang ia temukan di antara semak di belakang kantin.

“Nih, tanam!” ujarnya sambil menyerahkan tanaman itu pada Aldy. Anak laki-laki itu heran melihat sikap temannya yang dianggap terlalu terpengaruh oleh cipratan ajaib film-film sihir. Namun tanpa berbicara, ia mengambil tanaman itu dari tangan Kevin dan meletakkan laptopnya di atas kursi taman yang ada di dekatnya.

“Sekarang cek Wi-Fi-mu!” perintah Kevin sambil mengajak Aldy duduk di kursi di mana ia meletakkan laptop. Dengan malas, Aldy menuruti perintah temannya itu.

“Hah? Green Tree? Sejak kapan ada Wi-Fi ini di sekolah?” tanyanya dengan segenap perasaan tidak percaya. Tapi Kevin tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dan meninggalkan Aldy yang masih duduk menatap laptopnya dengan heran.

Secepat macan tutul berlari, berita itu kini menyebar dan diketahui seluruh warga sekolah. Bahkan dalam waktu tiga hari, sekolah itu sudah dipenuhi pohon-pohon kecil yang baru ditanam. Tentu tata letaknya juga teratur, karena penanaman pohon-pohon itu juga diawasi oleh para guru. Kepala sekolah yang awalnya juga sangat terkejut, berterima kasih kepada Kevin setelah ia tahu bahwa Kevinlah yang pertama kali mengetahui bahwa pohon di sekolah mereka dapat menghasilkan Wi-Fi. Implikasinya bukan hanya sekolah menjadi lebih hemat biaya karena ada Wi-Fi natural, tetapi sekolah mereka juga menjadi lebih asri, persis seperti impian Kevin. Namun setiap kali ada yang bertanya darimana Kevin mengetahui keajaiban itu, ia tidak pernah memberitahu siapapun, termasuk kepala sekolah.

Sepulang sekolah, seperti biasa, Kevin menunggu ayahnya di bawah pohon tua yang memberi keajaiban di sekolahnya.

“Hai pohon.. apa kau di sana?” panggilnya.

Pohon itu awalnya menggerakkan batang, kemudian rantingnya. “Hai, Kevin. Aku di sini.”

“Lihatlah, sudah seminggu sekolahku terlihat berbeda. Udaranya lebih sejuk dari biasa. Ini karena semua murid mulai suka menanam pohon,” ujar Kevin dengan senang.

“Terima kasih, Kevin. Kau memang anak yang baik,” kata Pohon itu. Namun wajahnya tidak sesenang Kevin. Ia malah terlihat sangat sedih. “Tapi teman-temanmu tetap saja menjadi manusia yang egois. Mereka tidak merawat pohon-pohon itu. Jika mereka membutuhkan Wi-Fi, dengan cepat mereka menanam pohon. Tapi jika mereka tidak memerlukan Wi-Fi lagi, mereka malah membiarkan pohon-pohon rusak begitu saja, tidak disiram dan tidak dirawat!” Suara sedihnya berubah marah. “Itu malah membuat teman-teman pohonku semakin menderita!”

Mendengar itu, Kevin pun ikut sedih. Ia merasa bersalah pada si pohon tua. “Maafkan aku.. Aku tidak tahu kalau itu akan menyakitimu.”

Pohon itu masih marah. Ia tidak mendengarkan permintaan maaf  Kevin yang mewakili teman-temannya. “Baiklah. Mulai sekarang, aku tetap akan memberikan Wi-Fi gratis kepada manusia-manusia egois itu! Tapi, setiap kali mereka menggunakan pohon-pohon itu sebagai sumber Wi-Fi, maka mereka hanya akan mendapatkan jatah oksigen setengah kali dari biasanya! Dan hanya orang-orang yang tulus menanam pohon yang akan mendapat oksigen terbaik dari  bangsa pohon, biar manusia-manusia kejam itu tahu akibat dari keegoisannya!”

“Pohon.. tolong jangan marah. Kita bisa membicarakan ini dengan kepala dingin..” Kevin memohon dengan sedih. Namun pohon itu sudah diam, tidak bergerak, dan berdiri layaknya pohon biasa.. Dengan sedih, Kevin menghela nafas panjang. Ia hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi besok.

Keesokan harinya, seperti biasa, setiap pulang sekolah di hari Sabtu, klub Sispala melakukan program kebersihan. Namun, karena beberapa anggota belum berkumpul di lapangan, akhirnya anggota-anggota  lain yang sedang menunggu, mulai menghibur diri dengan laptop masing-masing untuk mengusir rasa bosan.

Yessi, salah satu teman sekelas Kevin yang merupakan seorang internetholic, mulai mencari pohon kecil sebagai sumber Wi-Fi, karena pohon-pohon di dekatnya sudah mulai gersang tak terawat, dan Wi-Fi yang dihasilkan sangat lemah. Tindakan itu diikuti oleh anggota Sispala yang lain, kecuali Kevin. Remaja laki-laki itu hanya duduk dan merenungkan kata-kata si pohon tua kemarin sore.

Setelah semua yang mencari pohon kembali berkumpul di tempat semula, mulailah mereka asyik dengan laptop masing-masing. Sementara Kevin sibuk memperhatikan dan ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Diam-diam ia berharap kutukan pohon tua itu tidak terjadi.

“Yes!! Wi-Fi lancar!!” seru Gilang sambil mengayunkan kepalan tangannya.

“Kalau setiap hari Wi-Fi lancar, kita kan jadi makin rajin ke sekolah,” ujar Michelle.

Huhh. Kevin menghembuskan nafas lega. Ternyata apa ia yang takutkan tidak terjadi. Namun beberapa detik setelah kelegaan Kevin berlangsung, mulailah terdengar berbagai keluhan dari teman-temannya.

“Kok udaranya makin panas ya..”

“Gerah..”

“Sesak..”

Sungutan-sungutan itu terdengar riuh. Semua anak yang berada di lapangan dan menggunakan Wi-Fi mulai merasakan kutukan si pohon tua. Mereka berteriak sekeras mungkin, hingga guru-guru dan kepala sekolah yang sedang mengadakan rapat di aula berhamburan keluar menuju lapangan.

Kevin yang tidak merasakan kesesakan kemudian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, tidak seorang pun percaya kepadanya.

“Tidak mungkin ada pohon yang bisa berbicara!” ujar Pak Dodi, guru olahraga.

Kevin tidak peduli. Ia tetap berusaha meyakinkan semua guru yang ada di sana. Semntara murid-murid lain pengguna Wi-Fi pohon di lapangan itu masih terus memekik kesakitan karena kekurangan oksigen.

Setiap kali mereka menggunakan pohon-pohon itu sebagai sumber Wi-Fi, maka mereka hanya akan mendapatkan jatah oksigen setengah kali dari biasanya! Dan hanya orang-orang yang tulus menanam pohon yang akan mendapat oksigen terbaik dari kami bangsa pohon.

Kevin mengingat kembali ucapan-ucapan si pohon tua. Ia menafsirkan bahwa ucapan itu berarti jika teman-temannya tidak menggunakan Wi-Fi dari pohon, maka keadaan akan kembali seperti semula, di mana oksigen akan diberikan seutuhnya kepada mereka.

Dengan cepat, Kevin meminta bantuan guru-guru yang ada di sana untuk mematikan laptop semua murid yang mengalami kesesakan. Guru-guru yang berdiri dengan perasaan khawatir itu pun menuruti perintah Kevin, karena mereka juga tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menolong puluhan murid yang kesakitan di sana.

Setelah laptop-laptop itu dimatikan, teriakan dan jeritan minta tolong masing terdengar. Rupanya mereka masih terus merasakan sakit. Sebagian siswa mengipas-ngipas wajahnya dengan telapak tangan, sementara sebagian lagi memegangi dada karena tidak kuat sesak.

Kevin mulai berpikir keras lagi, sampai-sampai ia seperti bisa merasakan gigi roda otaknya memutar dengan paksa. Tiba-tiba ia mengingat sebuah karya tulis yang pernah ia baca sebelumnya, bahwa dengan menanam satu pohon, dua nyawa bisa terselamatkan.

Murid-murid yang kesesakan itu berjumlah sekitar delapan puluh siswa. Dengan tergesa-gesa, Kevin mencari empat puluh pohon kecil di belakang sekolah, lalu menanamnya secara berjejer di lapangan.

Ia sadar bahwa istilah yang mengatakan  “apa yang kamu tanam, itulah yang kamu tuai”, ternyata benar. Buktinya, karena ketulusan Kevin menanam pohon-pohon itu, keadaan pun kembali seperti semula. Rasa sakit yang diderita teman-temannya hilang seketika.

Sejak saat itu, Kevin dinobatkan menjadi ketua siswa pencinta alam. Bukan hanya itu, persyaratan untuk menjadi anggota Sispala juga berubah, yang dulunya harus diseleksi, sekarang tidak perlu seleksi lagi, karena semua murid berhak dan berkewajiban untuk mencintai dan melestarikan alam.

Suatu siang, Kevin menghampiri pohon tua ajaib yang berdiri kokoh di sudut sekolah. Di sana, ia hanya berdiri dan memandang pohon itu tanpa memanggilnya seperti biasa, karena Kevin berpikir bahwa pohon itu mungkin masih marah dan tidak mau berbicara dengannya lagi.

“Pohon..” bisiknya. Ia tahu pohon itu tidak akan mendengar suaranya. “Terima kasih atas oksigenmu. Sekarang teman-temanku sudah mau menanam pohon dengan tulus. Mereka sudah sadar bahwa oksigen jauh lebih penting dibanding Wi-Fi. Itu semua karena keajaibanmu. Sekali lagi, terima kasih..”

Setelah selesai mengucapkan rasa terima kasihnya, Kevin menunggu beberapa lama untuk mendengar sahutan si pohon tua. Namun penantiannya sia-sia, pohon itu tidak menjawabnya sama sekali. Kevin pun membalikkan tubuh dan melangkah dengan sedih.

Kreekk. Kreekk.

Kevin menghentikan langkahnya. Suara yang didengarnya baru saja, sama dengan suara yang dihasilkan ranting pohon tua ketika awal mereka berkenalan! Ia pun berbalik untuk menoleh pada pohon itu. Tapi sayang, ia tidak menemukan apa-apa. Pohon itu masih berdiri dalam diam. Kevin berpikir, mungkin apa yang ia dengar barusan hanyalah khayalan semata. Ia kembali berjalan menjauhi pohon itu setelah yakin bahwa pohon itu akan tetap diam.

“Kevin..” Sebuah suara memanggilnya dari belakang. Kevin menoleh ke sumber suara. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Kakinya melangkah cepat dan memeluk pohon itu.

“Aku yang seharusnya berterima kasih. Karena kau, aku dan bangsaku kini hidup aman, tanpa takut ada orang yang menyakiti kami lagi. Terima kasih, Kevin.”

 

Yogyakarta, 12 November 2016

Oleh : Hutri Cika Agustina Berutu, salah satu peserta Sayembara Books To Read Komunitas Jendela Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *