Cerita tentang Turgo
Pagi itu pada hari Minggu saya harus merelakan waktu akhir pekan saya – waktu istirahat saya ditengah kesibukan bekerja – untuk mengikuti kegiatan Komunitas Jendela di desa Turgo, Kaliurang. Turgo, nama desa itu, baru pertama kali saya mendengar. Bayangan saya lalu mengawang membayangkan sebuah tempat yang berada di lereng Merapi, dengan suasananya yang khas, dimana anak-anaknya yang masih polos dan asing dengan suasana perkotaan. Karena saya terbiasa berjumpa dengan anak-anak setiap harinya di sekolah, dan pada awalnya saya mengira saya akan bertemu dengan anak-anak yang ‘lebih polos’ dan sedikit berbeda dari murid-murid saya yang tidak tahu apa bedanya beluluk, cengkir, degan, dan kiring (kelapa tua) saya pun antusias bertemu mereka. Ketika kami tiba disana dan disambut dengan suasana yang khas pedesaan, saya agak terkejut ketika melihat begitu banyak kendaraan sepeda motor di lokasi. Awalnya saya mengira mungkin itu kendaraan pengurus yang datang atau para relawan yang terlebih dulu sampai. Ternyata bukan, anak-anak itulah yang mengendarai sepeda motor. Belum hilang rasa penasaran saya, saya mencoba mengajak bicara salah satu anak lelaki. Kata pertama yang dia ucapkan adalah ajakan (tantangan) balapan sepeda motor.
Dan…ternyata saya harus mengubur ekspektasi saya. Anak-anak yang saya temui adalah anak-anak desa yang sudah sama sekali berbeda dengan saya sebagai anak desa pada jamannya. Mereka adalah anak desa yang mulai sedikit kecipratan belet (kecipratan lumpur) dari kota. Entah saya yang terlalu kuper atau memang beginilah keadaannya sekarang, mereka begitu jauh dari ekspektasi saya. Apa yang saya temui ternyata berbeda dari pengharapan. Beginilah anak-anak di pedesaan sekarang ini. Tentu melihat mereka saya dipenuhi keheranan, pendidikan macam apa yang mereka dapat baik itu di sekolah maupun dirumah sehingga membentuk pribadi semacam itu? Dari obrolan dan kegiatan kami di Turgo saya merasa menjadi orang kuper yang tidak tahu keadaan, menyamaratakan sesuatu yang hanya familiar bagi saya dan jumpai sehari-hari, yaitu anak-anak dengan keadaan berbeda. Murid-murid saya, yang sebagian besar dari mereka adalah anak-anak yang dimanjakan oleh orang tuanya dengan kondisi yang lebih menguntungkan bagi mereka untuk berkembang tidak bisa dibandingkan dengan anak-anak Turgo yang ketika mengikuti salah satu lomba yang diharuskan menebak profesi hanya familiar dengan profesi petani. Dari pertemuan itu saya melihat jarak yang nyaris tidak bisa saya ukur sebelum bertemu dengan mereka. Mereka tumbuh seperti itu bukan karena pilihan mereka, tapi keadaan lah yang membentuk mereka berbeda dengan anak-anak yang mempunyai keadaan berbeda.
Melihat mereka saya pun teringat dengan cerita di novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer ketika Nyai Ontosoroh hendak mendirikan sekolah untuk para pribumi karena kenelangsaan yang dirasakannya melihat nasib sebangsanya yang selalu ditipu mentah-mentah oleh penjajah sebab mereka tak pandai baca tulis hitung. Nyai Ontosoroh berpesan kepada menantunya, Minke, untuk memulai apa yang dicita-citakan oleh mertuanya, yaitu merubah nasib sebangsanya.
“Siapa harus kerjakan ini? Ya, memang akan dikerjakan oleh ratusan orang seperti kau. Tapi itu kelak. Aku tak tahu kapan. Tapi siapa yang memulai?”
Dan, siapakah yang harus mengerjakan ini semua?
***
Oleh : Happy Pramukti