“Saya selalu melihat kehidupan sebagai sesuatu hal yang amat menarik. Walaupun sangat melelahkan dan kadang-kadang mengerikan. Tetapi disamping itu amat banyak hal-hal yang unik. Dia menjadi tantangan. Kalau saya melihat gunung yang tinggi dan indah saya selalu merasa bahwa “sang gunung” berkata “Datanglah”. Dan saya ingin mendakinya.”.
Surat kepada Nurmala Kartini Panjaitan, 25 Juli 1968.
***
Soe Hok Gie adalah nama yang tak lepas dari gerakan mahasiswa 1966. “The angry young man”, begitu sebutan Gie di mata Rudy Badil, koleganya. Di mata para sahabatnya, Soe Hok Gie dikenal sebagai pemuda yang selalu gelisah melihat kenyataan yang dinilainya tidak benar. Seperti halnya pada catatan harian bertanggal 10 Desember 1959, Gie mengisahkan pertemuannya dengan seorang pengemis: “Siang tadi aku bertemu dengan seorang tengah memakan kulit mangga… Dua kilometer dari sini ‘Paduka’ (Presiden Sukarno) kita mungkin sedang tertawa dan makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik”.
Gie sebetulnya adalah orang dibalik layar. Dia mendorong mahasiswa untuk mengambil sikap di tengah krisis politik lewat tulisan-tulisannya yang tajam dan kritis. Ia pun turut ambil bagian dari mahasiswa yang menumbangkan Sukarno. Tapi kemudian ia kecewa kepada sesama aktivis yang dianggap terlalu dekat dengan Soeharto –yang kemudian menjadi anggota dewan setelah Sukarno lengser– “Kami kecewa kepada teman-teman di sana. Mereka seperti dikebiri, sudah banci,” ujar Marsilam, teman Gie sesama aktivis. Hok Gie kecewa karena teman-temannya yang duduk di dewan sudah tak kritis dan tak berani lagi. Sudah merasa nyaman dan aman.
Jika ada hal yang mengilhami Hok Gie dalam melibatkan diri pada perjuangan bangsa, maka Shane, seorang tokoh koboi dalam film “Shane”-lah hal tersebut. Bagi Gie, pilihan hidup Shane menjadi amsal bagi peran mahasiswa, yang disebutnya “the happy selected few” (sedikit orang terpilih yang berbahagia) yang dapat kuliah. Dalam “Catatan Seorang Demonstran” (1983), dia menulis bahwa mahasiswa harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Begitulah jalan sunyi yang dipilihnya dalam mempersatukan berbagai kelompok mahasiswa.
Sewajarnya seorang remaja, Hok Gie pun memiliki hubungan sangat dekat dengan tiga perempuan, Nurmala Kartini salah satunya. “Meski hujan rintik-rintik, badan dan rambut saya setengah basah, perasaan saya senang dan hangat sekali” tutur Kartini saat menggambarkan suasana hatinya setelah “ditembak” lelaki itu, pada sore yang gerimis tertanggal 11 Desember 1969. Pada kesempatan yang lain, Kartini mengatakan, meski hubungan keduannya sangat dekat, sebenarnya ada satu perempuan yang menjadi pujaan Hok Gie. Perempuan ini, menurut dia, selalu “mengusik” hidup Hok Gie. Semua orang yang dekat dengan “Sang Demonstran” sepakat pada satu nama, Maria. Wanita yang sangat manis dan baik.
Gie dan Surat-Surat yang Tersembunyi adalah sekumpulan dokumen, artikel, tulisan-tulisan Gie yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Tulisan-tulisan dalam buku ini tersimpan di antara tumpukan dokumen milik Yosep Adi Prasetyo. Ketua dewan pers yang akrab disapa Stanley itu mendapakan naskah-naskah itu dari Arief Budiman, kakak kandung Gie. Gie dan surat-surat yang tersembunyi menceritakan sisi kehidupan seorang Hok Gie yang belum banyak diketahui banyak orang, seperti hubungan percintaanya, strategi liar pengempisan ban mobil menteri, lawatan ke sejumlah universitas di negeri Abang Sam, firasat mimpi tiga mayat pada pendakian terakhirnya, hingga perlakuan satir tentang gincu dan kutang untuk teman seperjuangan. Dengan kemasan yang baik dan menarik, Tempo menyajikan tulisan-tulisan ini dengan sudut pandang yang unik dan tentu saja objektif. Bagi saya, Gie dan Surat-Surat yang Tersembunyi berhasil menghadirkan sosok Hok Gie sebagai seorang pecinta sejati yang punya bahasa cinta yang tidak dimengerti oleh mereka yang dicinta. “Bahasanya ketinggian, saya enggak paham,” ujar Frans (satu-satunya pengurus majalah bulanan sekolah), tergelak. [w.e]