Hari ini, Minggu 22 Januari 2012 adalah hari yang menakjubkan dan melelahkan bagi para Jendelist (sebutan untuk relawan komunitas jendela). Bagaimana tidak? Hari ini mereka diajak jalan-jalan berkeliling oleh anak-anak shelter gondang 1. Semula jadwal kegiatan hari ini adalah story telling, hari itu Yusa, Nofi, Denisa dan Nanang datang agak terlambat karena lalulintas kota Jogja yang sangat padat akibat libur panjang perayaan Imlek. Setibanya di balai anak ternyata tempat itu telah ramai oleh anak-anak, Marieke dan Ridwan juga sudah berada disana. Anak-anak itu menegur dan bertanya kepada Nanang “kok lagi tekan mas?”, “mau macet, kan lagi masa liburan iki” jawab Nanang. Belum sempat Nanang menyampaikan apa yang akan dilakukan hari ini, salah seorang anak telah mendahulinya berkata “mas ayo jalan-jalan”, dan seketika itulah Nanang meng-iyakan ajakan anak tersebut dengan sebelumnya meminta persetujuan dari anak-anak dan juga Jendelist lainnya. Akhirnya mereka bersepakat untuk mengisi kegiatan hari itu dengan berjalan-jalan. Nanang bertanya hendak kemanakah tujuan mereka, ada yang menjawab “neng ngalas gelem ra? Gek mengko tak blasukke”, ada juga yang menimpali “tapi mengko nek adoh aja sengklek loh mas”, “mengko dijajakke es yo mas?” dan akhirnya berangkatlah mereka berpetualang menuju antah berantah.
Rute yang mreka lalui adalah berjalan menuju arah utara balai anak keluar dari kompleks shelter untuk keluar ke jalan aspal. Mereka berjalan melalui jalan konblok diantara rumah-rumah dan kebun milik warga. Yusa diseret berjalan paling depan dengan rombongan Mike, Rita, Arum dkk. Dibelakangnya ada Nanang dan Marieke bersama, Puput, Semi, dkk. Menyusul berikutnya ada Nofi, Denisa dan Ridwan bersama Rika, Ayuk, dkk. Dan sebagai pengawal mereka paling belakang berjalanlah Pak Edi relawan RSJ yang sejak pagi telah berada disana bersama Marieke. Hari itu yang turut serta dalam kegiatan hanya anak-anak perempuan, entah dimana keberadaan anak-anak lelaki, mungkin sedang sibuk bermain bola atau melakukan hal lainnya. Setelah berjalan beberapa lama mereka-pun keluar dan mendapati telah berada di jalan aspal, dari situ mereka kembali meniti langkah menuju utara. Tiba-tiba langkah mereka terhenti karena rombongan paling depan mengajak untuk berbelok arah dan menyeberang jalan, Mike berkata “belok wae neng jurang, jarene meh ndelok pemandangan?” dan berbeloklah rombongan itu menyeberang jalan menuju jalan tanah ke arah timur. Diperjalanan langkah mereka terhenti untuk melihat-lihat dan berfoto bersama bego (kendaraan besar untuk mengeruk pasir) yang sedang parkir dipinggir jalan tersebut.
Setelah puas berfoto-foto perjalanan-pun dilanjutkan yang membuat mereka semakin masuk kedalam padang pasir dan bebatuan. Hari itu langit tak cukup cerah. Memang tidak hujan, namun gumpalan awan mendung lamat-lamat menyelimuti angkasa, bagai kelambu yang menghalangi hangat sinar mentari untuk menjamah bumi. Sang mentari-pun nampak enggan memunculkan elok wujudnya. Rupa-rupanya anak-anak itu menggiring mereka untuk melihat jalur lintasan material yang dimuntahkan dari dalam perut Merapi. Ini bukan yang pertama kali bagi anak-anak shelter, bgai Nanang, dan bagi Pak Edi, tetapi ini merupakan kali pertama bagi Yusa, Nofi, Denisa, Marieke dan Ridwan menjajaki jalur muntahan Merapi. Ditengah-tengah padang tersebut anak-anak berhenti sejenak untuk mengumpulkan batu-batuan untuk disusun menjadi sebuah tulisan. Mereka mulai membagi tugas, sebagian mencari dan mengumpulkan batu dan sisanya menyusun bebatuan tersebut menjadi tulisan MERAPI dan setelah itu diatasnya ditambahkan huruf I dan bentuk hati, maka jadilah susunan batu tersebut menjadi sebentuk kalimat I Love Merapi.
Perjalanan dilanjutkan hingga mereka tiba pada tepian jurang yang menjadi jalur lahar dingin gunung Merapi. Jurang itu cukup lebar, mungkin sekitar 100 meter atau lebih dengan ketinggain lebih dari 5 meter. Sejenak para jendelist tertegun dan terpesona melihat keadaan yang diakibatkan oleh amukan sang alam. Lain halnya dengan anak-anak shelter, mereka justru sangat bersemangat dan tak sabar ingin segera menuruni jurang tersebut. Mereka meniti jalan setapak yang ada pada tebing curam tersebut dengan hati-hati. Nanang menyusul dengan rasa penasaran dengan keadaan dibawah dan sekaligus juga hendak memastikan bahwa anak-anak shelter baik-baik saja dibawah sana, sementara Jendelist yang lain bertahan diatas menikmati pemandangan sembari mendegarkan cerita dari Pak Edi.
Dasar jurang tersebut ternyata merupakan lahan pengerukan pasir yang dijadikan matapencaharian bagi warga di sekitar sana. Ya, selalu ada berkah dibalik bencana. Muntahan pasir yang berjuta-juta kubik tersebut memang mengancam pada mulanya tetapi seiring berjalannya waktu, pasir-pasir tersbut telah menjadi sumber penghidupan bagi ratusan kepala disana. Selain itu didasar jurang tersebut masih terdapat beberapa titik yang mengepulkan asap belerang. Meskipun tidak panas namun baunya cukup menyengat dan mengusik indra penciuman. Salah seorang anak berkata “nek aku mending mambu kecut ketimang mambu belerang”, dan seketika tawa Denisa meledak mendengar ocehan anak itu. Disana mereka menemukan tanaman yang unik, anak-anak memetiknya dan memamerkannya kepada para jendelist yang belum pernah melihat tanaman itu sebelumnya. Itulah pohon balsam, yang apabila dihirup akarnya akan tercium aroma balsam dan menurut anak-anak itu jika digosok-gosok pada bagian tubuh yang sakit juga dapat berfungsi layaknya balsam yang biasa kita gunakan sehari-hari. Sungguh, hal itu merupakan pengetahuan baru bagi mereka.
Perjalanan dilanjutkan dan mereka kembali meniti jalan menuju arah utara hingga mereka menemukan satu lagi pemandangan yang membuat terdiam membisa dan merenung, antara sedih dan kagum. Ada sebuah batu besar setengah tertimbun pasir bertuliskan “makam kepuh” dan beberapa puluh meter disebelah timurnya sebuah batu besar bertuliskan “desa kepuh”. Rupanya mereka sedang menapaki bekas makam dan desa Kepuh yang tertimbun oleh pasir. Bayangkan betapa banyak isi perut Merapi yang dimuntahkan untuk menutupi seluruh desa itu dalam timbunan pasir tanpa sisa bahkan seujung atap rumah-pun. Alangkah dahsyatnya kekuatan alam ini, maka sudah seharusnya umat manusia takut terhadap alam. Alih-alih memusuhi dan merusak seharusnya manusia bersahabat dan saling menjaga dengan alam semesta.
Setelah itu mereka kembali menuju jalan aspal untuk kembali pulang. Perjalanan yang mereka tempuh cukup jauh karena harus mengelilingi padang pasir tersebut, hingga sampailah mereka di salah satu perempatan jalan aspal. Sesuai perjanjian sebelumnya, akhirnya anak-anak tersebut dibelikan jajan es bon-bon masing-masing satu batang. Betapa senang para Jendelist itu, dipandu jalan-jalan ke padang batu, melihat penambangan pasir, merasakan aroma belerang, memetik pohon balsam, berziarah ke desa yang tertimbung pasir, dan hanya perlu memberi imbalan sebatang es bagi setiap pemandu ciliknya. Tentu saja pengalaman itu jauh lebih dari jumlah rupiah yang dapat mereka keluarkan. Dan berterimakasihlah mereka kepada petualang-petualang cilik dari shelter gondang 1. Ekspedisi ini hanya secuil langkah dari perjalanan mereka yang masih panjang dalam meniti masa depan dan meraih impian.
– Nanang Rizki Aprilianto –