Menjadi mahasiswa semester akhir menjadikan aku pengangguran yang nyata. Tidak adanya kegiatan organisasi di dalam atau pun luar kampus, sangat membosankan. Hari-hari dilewati hanya dengan aktivitas yang tidak ada manfaatnya, menghambur-hamburkan uang dan waktu. Hidup cenderung monoton tidak berkembang.
Kak Diana, teman sekosanku, mengajakku ke sebuah komunitas. Dia berkata bahwa jika tidak ada kegiatan yang dilakukan, aku bisa ikut ke komunitasnya. Dia menjelaskan tentang komunitasnya, yang dulu aku merasa lucu dengan namanya; Komunitas Jendela Lampung, “Mengapa komunitas ini memilih nama jendela?” pikirku.
Rasa penasaran ditambah kegiatan yang membuat suntuk, membuatku ikut dalam pertemuan kopi darat (kopdar). Hari Jumat tahun 2018, yang sekaligus menjadi kopdar pertama bagiku. Aku sangat ingat, Kak Rengga, Mbak Tia, Mbak Gita, Kak Selvina, Kak Labesa, Kak Balkis, Mbak Septi, Kak Diana dan aku serta dua anak baru sepertiku duduk berkumpul saling bertukar pikiran satu sama lain, membuat rounddown acara untuk kegiatan adik-adik di Bakung.
Suasana yang hangat, kebersamaan, keceriaan, kejahilan yang aku rasakan membuatku merasa aneh, senang, takut, penasaran bercampur aduk. Malam hari setelah pulang dari kopdar, aku merasakan sensasi aneh dalam diriku. Aku merasa senang, lega, dan terharu. Aku memikirkan apakah aku akan bergabung dengan komunitas ini atau tidak.
Akhirnya pada hari Minggu, untuk pertama kalinya aku mendatangi rumah baca, tempat di mana anak – anak belajar. Aku ingin menangis rasanya, aku merasa apa yang telah aku lakukan selama ini adalah aktivitas yang tidak ada manfaatnya, sama sekali. Aku merasa tertegur saat melihat anak-anak. Mereka sungguh bersemangat sekali untuk belajar, membaca, menulis, berhitung,
Saat itu aku bingung, aku tidak tau cara mengajar dengan baik. Aku hanya dapat memberikan pengalamanku pada mereka. Aku kagum kepada relawan yang saat itu datang ke rumah baca. Mereka bersemangat sekali, sangat professional dalam mengajari anak-anak, dan tanpa ada bayaran sepeserpun, sungguh luarbiasa.
Kekeluargaan yang aku rasakan di komunitas ini membuatku memilih untuk bergabung. Ya, aku merasa nyaman di komunitas ini. Kau tahu? Salah satu kelebihan Komunitas Jendela Lampung adalah kau tidak hanya sekedar relawan di komunitas, di luar komunitas pun kau adalah teman. Kau bisa mengajak mereka nongkrong dan bercerita apa saja. Mereka Akan membuka tangan mereka untuk merangkulmu.
Sudah hampir setahun aku bergabung dengan Komunitas Jendela Lampung ini, banyak cerita, kejahilan, kelucuan, cek-cok, dan keseriusan yang aku lewati. Ada satu hal unik yang Aku perhatikan, Kak Ari, Kak Rengga, Kak Hadi, dan beberapa relawan wanita senang sekali membaca buku. Entah itu novel, atau buku keluaran terbaru. Aku penasaran dengan mereka hingga akhirnya mereka menjelaskan bahwa membaca bukan suatu keharusan tapi kebutuhan.
Jika kau ingin membuat hidupmu atau lingkunganmu berubah lebih baik maka bacalah buku, curi ilmunya, dan terapkan. Kau tidak perlu untuk berkeliling dunia untuk mencari ilmu. Dengan buku kau akan mengenal dunia dan tentu saja mendapatkan ilmu di setiap buku. Itu adalah konsep komunitas ini, menumbuhkan minat baca. Bukan hanya untuk anak-anak, dan relawannya tapi untuk semua orang.
Akhirnya, aku paham mengapa mereka memilih kata jendela untuk komunitas ini. Lewat jendela kita bisa melihat dunia dan jendela itu adalah buku. Satu hal yang aku ingin katakan terima kasih telah membuat aku menjadi berbeda, Komunitas Jendela, kalian luar biasa! Jendela bukaaaaa!
Namaku Yukeu Sophia, dan ini ceritaku.
(Yukeu Sophia, Jendelist Lampung)