Minggu pagi, seperti biasa, Aku telah memiliki jadwal rutin untuk bisa bergabung bersama rekan-rekan di Komunitas Jendela, para relawan yang berkomitmen mengajak anak-anak untuk gemar membaca. Di Jogja tentunya, tempat dimana Aku disebut sebagai “anak Kost”. Yah, rekan-rekan di Komunitas Jendela, rata-rata mahasiswa dari berbagai Universitas yang ada di Jogja. Minggu ini, tepatnya 18 Oktober 2015, adalah minggu ke-4 Aku ikut kegiatan yang diselenggarakan Komunitas Jendela.
Oh ia, Komunitas Jendela memiliki beberapa Shelter di jogja. Ada Sapen, Turgo, Bantul, dan kali Code. Di 2 (dua) minggu pertama, Aku tergabung di Bantul, sementara minggu ketiga Aku tergabung di Turgo. Kali ini Aku mencoba bergabung di Kali Code, mencoba mengenal karakter anak di Kali Code.
Pagi, sekitar pukul 07.30 Wib, Aku telah keluar dari kosan menuju jalan Mataram, titik kumpul dengan rekan-rekan Jendelist yang disepakati pada Briefing di Jum’at Sore. Terlalu cepat memang, sebab waktu kumpul adalah pukul 08.30 Wib. Tak apalah, kebetulan Aku juga lapar, sarapan bubur ayam sepertinya cukuplah mengisi perut yang tak pernah bisa kenyang ini.
Kupacu motorku kearah selatan menuju jalan mataram, mencoba mencari dimana bubur ayam yang rasanya selangit dengan harga pribumi. Pilihanku akhirnya pada seorang bapak separuh baya yang berjualan bubur ayam di Jalan Mataram dengan gerobak dorong sederhana dan tenda yang tak terlalu istimewa. Yah, Aku sengaja sarapan di Jalan mataram, agar tak terllau jauh dari titik kumpul yang ditentukan, hemat waktu, hemat BBM.
Selesai memberi jatah pada perutku, kulirik jam yang ada di telpon genggamku (maklum aku ngga memakai jam tangan), hmmm, baru pukul 08.00 pagi. Berarti ada 30 menit lagi. Aku kemudian menuju ke malioboro, yah kurasa cukuplah sekali putaran, daripada aku duduk bengong sendiri didepan toko yang masih tertutup di Jalan Mataram. Mungkin, karena masih pagi, malioboro belum terlalu macet, kuarahkan motor kesayanganku menuju samping selatan pasar beringharjo, untuk balik lagi ke Jalan mataram. Baru beberapa meter disamping selatan pasar, ada kendaraan lain yang berusaha menyusul motorku dan ternyata memanggil namaku, cieeee. Kutengok, ternyata, Wira (kirain Aliando Syarief, hihiihihi), rekan sesama Jendelist yang juga pagi ini bergabung di Kali Code. Bersama-sama kami menuju jalan mataram, mencari tempat yang cukup teduh dan bisa cukup mudah di lihat oleh rekan-rekan jendelist. Setelah beberapa saat, mulai berdatangan rekan-rekanku, ada nana, fafa, mentari, yela, Astri, Agustin, dan mas Hery. Kami langsung menuju shelter di deket kali Code. Cuzzz, nyampe dah.
Ada beberapa hal yang berbeda di Kali Code ini, yang salah satunya mengenai tempat. Tempat kami mengajar anak-anak kali ini adalah di pos kamling, terletak persis di samping kali, dan diantara padatnya rumah penduduk. Tempat di Code sedikit sempit dibanding Bantul dan Turgo. Mungkin karena berada di tengah kota dan perumahan penduduk yang padat, mendapatkan area yang luas itu susah sepertinya. Tak mengapa, sebab kami datang bukan untuk menilai nyaman tidaknya suatu tempat, luas tidaknya, tetapi fokus pada anak-anaknya, fokus pada semangat mereka yang ingin dikenalkan dengan buku-buku bacaan.
Di Code, telah digelar tikar sebagai alas untuk kami beraktifitas mulia di pagi itu. Ada beberapa anak yang telah menunggu kedatangan kami. Ada Wawa, Rindu, Habibi, dan dua anak lagi yang aku lupa namanya. Tak lama, rekan Jendelist yang lain datang, ada Dinda, Raisa, Hakam, dan Arul. Bersama rekan-rekan, kami menyiapakn alat tempur kami, berupa beberapa buah buku bacaan, alat mewarnai dan peralatan yang digunakan untuk senam. Yah, sedikit berbeda, di Code kali ini, kami akan mengenalkan mereka senam Pinguin, agar bisa melihat keberanian (mental) dan juga semangat mereka. Anak-anak di code, satu persatu mulai berdatangan. Cukup ramai mereka membuat pagi itu semakin ceria.
Tak berlama-lama, anak-anaknya langsung mengambil buku yang kami keluarkan. Beberapa rekan-rekan jendelist, tak perlu menunggu komando, langsung membaur dengan anak-anak, mengajak kenalan, dan tentunya mengajak mereka untuk membaca. Aku mengambil sebuah buku cerita tentang liburan dimusim dingin, bersama seorang anak yang bernama Habibi, kucoba mengenalkannya dengan beberapa aktifitas yang ada dibuku itu. Habibi sangat pintar, untuk anak seusianya yang mungkin menurutku masih 2 tahunan. Dia dengan riang menirukan beberapa kata yang coba kukenalkan. Atau dengan cepat menjawab ketika aku menanyainya jenis transportasi di buku itu. Namun itu tak berlangsung lama, sebab habibi lalu berdiri, berlari dan asik bermain, pindah dari satu rekanku, ke rekan yang lain (yah namanya juga anak-anak). Ada lagi Dira, yang masih kelas Paud Kecil yang pagi itu diantar oleh ibunya. Dia masih terlihat pemalu. Namun berusaha menjawab ketika aku menanyainya beberapa jenis hewan dan kendaraan yang ada di Buku. Aku sedikit kesulitan berhadapan dengan dira, karena ada beberapa kata yang dia ucapkan menggunakan Bahasa Jawa, yang jujur aku tak paham.
Selain Dira, hari itu, aku juga berkesempatan berkenalan dengan wawa, rindu, putri, vallen, Rosyid, dan beberapa anak yang tak sempat kucatat namanya (penyakit lupaku memang dari dulu sangat parah). membaca buku, membuat mereka seakan tenggelam pada bacaan masing-masing.
Mereka sebenarnya masih asik membaca, membolak-balik lembar demi lembar buku yang ada di depan mereka. Mencoba menjawab ketika rekan Jendelist menanyai, atau sebaliknya menanyai kami tentang hal di dalam Buku yang mereka tak paham. Namun tiba-tiba, entah dari mana awalnya, ada seorang anak yang mungkin sudah jenuh membaca, bercerita bahwa dia juga suka mewarnai. Dan bertanya pada salah satu rekanku bolehkah dia mewarnai buku di depannya. Tak ada persetujuan, mewarnai terlanjur mengganggu pikirannya. Dan rekanku meminta salah satu gambar mewarnai, Akhirnya kukeluarkan kertas gambar yang telah kusiapkan. Beberapa gambar hewan, buah atau pemandangan. Ternyata perhatian anak-anak itu terpecah dengan kertas gambar yang ada di tanganku. Beberapa anak langsung merespon agar juga diberi kertas gambar. Mewarnai rupanya adalah faforit mereka. Ibarat orang dewasa, jika di suruh memilih nasi atau cokelat, pasti lebih banyak yang memilih coklat. Olalaaaa, gagal paham, maap agustinnnnn……
Setelah cukup lama mewarnai, Mas Hery memberi syarat, agar lanjut ke acara yang lebih seru lainnya, yaitu senam pinguin. Bertindak sebagai instruktur senamnya kali ini, fafa. Anak-anak berbaris rapi, kamipun ikut bergabung. Dari speaker yang disiapkan, menggema music dari senam penguin yang di download dari Youtube membuat kami semua bergoyang menirukan gaya yang di praktekkan Fafa laiknya seekor burung penguin. Tak disangka, anak-anak itu sangat antusias menirukan goyang penguin, ada beberapa yang telah hapal, lalu juga ikut kedepan berdiri sejajar dengan Fafa. Anak-anak yang masih malu-malu, akhirnya merapat, bergabung bersama untuk ikut senam penguin. Fafa sampai mengulang beberapa kali senam itu atas permintaan anak-anak. Kamipun larut dengan senam itu, tertawa riang bersama anak-anak. Merasa kami juga masih anak-anak. Huhuyyyyy, bahagianya hidup jika aku masih anak-anak, tak terbebani dengan bertumpuk masalah (curhattttt, heheh).
Setelah senam penguin, kami lanjut ice breaking yang dipimpin oleh wira. Ice breaking kali ini adalah permainan menanyai setiap orang dengan isyarat kata “pak Polisi, Pak Polisi” mulai dari anggota tubuh, nama hewan, buah, atau hoby. Selesai Ice Breaking Kegiatan di Code ditutup dengan dongeng dariku, padahal aku tak begitu siap membawakannya, karena tak direncanakan sebelumnya. Jadi, ku coba menceritakan sebuah cerita yang pesan moralnya adalah mereka tetap jujur jika menjadi seorang anak (ceritanya ga selesai). Setelah itu, kamipun menutup kegiatan di Code dengan ucapan Alhamdulillahirrabil alamin. Anak-anak tanpa Dosa itu, kembali menuju rumah masing-masing.
Di Code kali ini aku punya beberapa kesan dan pesan untuk dibagi keteman-temanku. Kesanku : anak-anak di Code, tetaplah anak-anak yang sama seperti di Bantul dan Turgo. Namun di code, mereka lebih antusias, tak membutuhkan waktu lama untuk memanggil mereka agar berkumpul. Dan diluar perkiraanku, anak-anak yang kebanyakan masih PAUD tersebut, banyak yang telah lancar membaca, cukup berani untuk tampil, dan sopan dalam menyapa.
Sementara pesanku, agar kedepan, Komunitas Jendela yang di Code tak hanya ada di salah satu RT disamping Kali, tetapi menggema di beberapa RT yang ada di sekitaran Kali Code. Jadi, selain membangun ikatan emosional dengan anak-anaknya, hubungan baik dengan orangtuanya tetaplah harus dibangun. Menghadirkan Jendelist di hati para orangtua, Pengurus RT juga sangat penting. Sebab jujur, minat baca anak-anak Indonesia masih sangat kurang, bukan karena mereka tak mau, tetapi karena kurangnya yang peduli mengarahkan minat baca mereka. Dan orangtualah yang berperan besar dalam mengarahkan pendidikan anak-anaknya, sementara Relawan hanya memiliki sedikit waktu untuk berbagi, dari 7 hari waktu dalam seminggu yang mereka lalui. Rekan-rekan yang tergabung di Code, udah sangat paham apa yang mereka harus lakukan. Dan aku sangat bahagia bergabung dengan Tim Kali Code, ada Agustin selaku Pj, Mas Hery, Fafa, Nana, Yela, Hakam, Wira, Dinda, Arul, Mentari, Astri, dan Raisa.
Makasih atas semua semangatnya, semoga kita tetap sehat, penuh cinta dan ikhlas berbagi dengan anak-anak itu. Karena, relawan itu mulia, apalagi mencoba mengenalkan mereka pada satu kata yang dibawa oleh Jibril yaitu “Iqra”. Jika bukan kita yang mengenalkan kata itu pada mereka, siapa lagi?
Kali Code, 18 Oktober 2015
Salam penuh kedamaian
Key_Belawin