Lompat ke konten

Keberagaman ?

Hidup pasti tidak akan nyaman karena terpaksa diseragamkan

***

Koflik yang terjadi atas dasar intoleransi akan keberagaman rasanya sudah bukan hal baru di negara ini. Masih segar di ingatan kita bagaimana tahun lalu asrama Papua Kamasan 1 mengalami pengepungan oleh aparat selama tiga hari yang merupakan bentuk dari sikap intoleran. Identitas dan keragamannya menjadi senjata mujarab bagi pemilik kepentingan untuk memantik konflik di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, menurut perspektif saya, dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran akan keberagaman dan konsep toleransi di Indonesia masih jauh dari kata mapan, sehingga tidak heran apabila konflik-konflik atas dasar isu tersebut sangat mudah disulut.

Anak-anak yang memiliki peran sebagai generasi penerus bangsa juga tidak luput dari kesalahan pemahaman akan konsep keberagaman. Tidak jarang terjadi kasus bullying di sekolah-sekolah dasar. Apabila hal tersebut tidak ditangani dengan baik, kasus tersebut sedikit banyak dapat menggambarkan bagaimana masa depan keberagaman Indonesia. Namun, rendahnya kesadaran akan keberagaman dan toleransi ini bukannya tanpa harapan. Nyatanya, masih banyak yang peduli dan mau ikut merubah cara pandang anak mengenai keberagaman dan toleransi. Salah satu yang turut serta dalam gerakan perubahan ini adalah Komuitas Jendela Jogja

Beruntunglah saya bertemu dengan Komunitas Jendela Jogja yang memang memfokuskan ruang lingkupnya pada dunia anak. Awalnya, dengan jumlah volunteer baru yang sangat banyak, saya merasa pesimis akan keberlansungan saya disini, “Orangnya kebanyakan”, “Ah paling nanti males berangkat, nggak bisa intim”. Namun ternyata asumsi-asumsi itu tidak terjadi. Semakin mendalami, akan semakin jatuh cinta dengan Komunitas Jendela Jogja.

Rasa cinta pada komunitas ini semakin bertambah ketika kelompok empat, di mana saya tergabung di dalamnya, menjadi penanggung jawab kegiatan mingguan di RUBAKU (10/9/ 2017). Beruntung, saat itu tema yang diangkat oleh Jendela Jogja adalah “Toleransi Beragama dan Berbudaya”. Ketika itu saya benar-benar merasakan betapa para Jendelist lain sangat memaksimalkan segalanya “hanya” untuk satu program saja. Bahkan kami melakukan dua kali briefing untuk menggodhog dan mem-breakdown tema agar menjadi kegiatan yang mudah dipahami anak-anak.

Konsep keberagaman memang susah-susah-gampang untuk ditanamkan pada anak. Butuh waktu yang lama dan dilakukan secara terus-menerus untuk mencapai tingkat di mana anak memahami apa itu keberagaman dan toleransi, sehingga yang kami lakukan adalah mengenalkan konsep dasar keberagaman dengan cara-cara yang membuat mereka tertarik.

Sesi pertama kami isi dengan membaca buku “Petualangan Kelompok Pelangi yang sangat sesuai dengan tema hari itu. Adik-adik kami ajak untuk saling sharing pengalaman perbedaan mereka dengan teman-temannya. Mereka juga kami ajak menceritakan adat-adat pada hari besar masing-masing sebagai langkah awal pengenalan perbedaan.

Membaca buku “Petualangan Kelompok Pelangi” bersama adik-adik

Ketika mereka sudah mulai bosan membaca buku, kami ajak untuk bermain sekaligus membagi mereka dalam bentuk tim. Lalu, masuklah pada sesi kedua, di mana adik-adik kami ajak mewarnai dua pohon dengan cap jempol menggunakan cat air. Pohon pertama diwarnai dengan warna favorit masing-masing, sedangkan pohon kedua diwarnai hanya dengan warna favorit satu anak saja. Adik-adik terlihat sangat antusias mengikuti kegiatan ini.

Mewarnai pohon

Setelah selesai, kami memberikan pertanyaan pemantik kepada mereka, mana yang lebih indah, yang otomatis dijawab bahwa yang lebih indah adalah yang berwarna-warni. Dari pertanyaan tersebut kami mulai menjelaskan bahwa hidup dalam keberagaman sama halnya dengan pohon tersebut, indah. Tidak seperti pohon kedua yang memenangkan kepentingan satu golongan saja, hidup pasti tidak akan nyaman karena terpaksa diseragamkan.

“Mana yang lebih indah?”

Namun, seperti kata seorang sosiolog bernama Du Bois,“Children learn more from what you are than what you teach”, semua yang diajarkan akan lebih bermakna apabila kita sendiri juga menjalankannya. Kita yang harus mencontohkan kepada mereka bagaimana menjadi warga negara yang bangga akan keragaman bangsanya. Karena kita adalah role model yang akan mereka tiru, sehingga bagaimana perilaku dan sikap kita adalah cerminan dari masa depan negara ini.

Written by Nadia Hardianti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *