Lompat ke konten

Kedai Kopi, Mata Kita, Kerja Kita

Udara di kedai kopi itu beriak-riak seolah ada sekawanan lebah yang mendengung. Suara tersebut tak semata disebabkan oleh rinai hujan yang menggempur jalanan berbatu di depan kedai, tetapi juga disebabkan oleh bauran suara orang-orang yang berdiskusi dengan suara teredam.

Waktu berlalu, dan angin menyertai hujan yang menderas. Tiba-tiba angin meniup daun ventilasi samping kedai kopi yang membuat suara berdebam mengejutkan setiap orang di ruangan. Termasuk Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab yang baru saja duduk membelakangi ventilasi itu.

Setelah penyelenggara mengurus beberapa hal terkait si ventilasi dan hujan di luar, acara berlanjut tanpa usikan dari manapun. Tidak juga dari rintik yang makin menderas atau dari satu dua orang yang iseng melintas, barangkali demi menengok Mbak Najwa.

Siang itu di awal bulan Maret yang sibuk, di tengah euforia menyambut Ulang Tahun ke-7, Komunitas Jendela Jogja diundang menghadiri diskusi casual bersama Najwa Shihab dan Narasi TV di sebuah kedai kopi di desa Sariharjo, Yogyakarta. Nama kedai kopi tersebut diambil dari judul salah satu buku karya Dewi Lestari. Buku yang menarik. Diskusi dihadiri pula oleh perwakilan berbagai komunitas di Yogyakarta. Bahkan bukan cuma Jogja, ada pula peserta yang jauh-jauh datang dari Jawa Tengah.

Belakangan aku tahu, acara tersebut diadakan dalam kerangka sebuah komunitas rintisan bernama  “Komunitas Mata Kita”. Komunitas yang disebut Najwa Shihab tidak ada sangkut pautnya dengan acara Mata Najwa, tidak pula dengan stasiun TV manapun, apalagi  dengan partai politik. Mbak Najwa mengaku bahwa acara yang selama ini dibawakannya di TV telah mengangkat berbagai persoalan, tapi luput memunculkan solusi. Maka, berangkat dari keinginan menjawab masalah-masalah tersebutlah, Komunitas Mata Kita dibentuk. Seperti namanya, Komunitas Mata Kita hendak menjadi “mata” bagi pergerakan-pergerakan yang tersebar di seantero negeri. Untuk menularkan mimpi, menyebarkan inspirasi.

Saat awal sesi tadi, MC sempat menerangkan bahwa ujung diskusi tersebut diharapkan akan memunculkan berupa sebuah rencana project. Peserta dikelompokkan berdasarkan minat dan bidang yang hendak mereka garap, lalu setiap kelompok bidang diharapkan menyimpulkan aksi apa yang akan diwujudkan bersama, serta poin-poin apa saja yang mungkin bisa mereka sokong secara langsung pada aksi tersebut. Kelompok-kelompok tersebut di antaranya ada kelompok  jurnalistik, videografi, dan gerakan sosial. Kami (Jendela Jogja) nimbrung di kerumunan kelompok gerakan sosial.

Najwa Shihab menyampaikan sambutan di Kedai Filosofi Kopi, Yogyakarta (01/03/18)
Peserta diskusi mengajak Mbak Najwa berfoto bersama
Bonus : Mas Boy Koordinator Pusat Komunitas Jendela dalam antrian

Sekitar sore pukul lima, sesi foto bersama menutup perjumpaan itu. Mbak Najwa Shihab sempat mengucapkan selamat ulang tahun yang ke-7 untuk Komunitas Jendela. Tak lupa pula menambahkan harapan semoga Jendela bersetia pada jalan juang untuk meningkatkan minat baca.

Akhirnya kami beranjak dari sana saat senja. Kembali melalui jalanan yang riuh menuju Sekretariat kami  yang sederhana. Di ruang depan, beberapa Jendelist masih duduk-duduk di kelilingi beberapa kantung plastik besar berisi pakaian donasi. Sore itu selagi kami di kedai kopi,  mereka memang sedang bekerja menyortir pakaian-pakaian yang akan dijual esok hari.  Pakaian dijual, buku dibeli. Oleh kegigihan mereka aku kagum sekaligus merasa bersalah karena baru datang setelah pekerjaan rampung.

Yah, bagaimanapun momen di awal Maret yang sibuk itu mengajarkanku sesuatu. Dari debam daun ventilasi yang mengejutkan setiap orang di kedai kopi, aku diingatkan bahwa hidup pula seringkali hadir dengan kejutan-kejutan kecil. Dari Komunitas Mata Kita yang baru lahir, aku diingatkan bahwa hidup pula adalah tentang belajar memadukan kekuatan. Bahwa “mata” tidak hanya “mataku”, melainkan  “mata kita”. Pun dari para Jendelist yang sore itu gigih menyortir baju donasi, aku dibuat ingat tentang salah satu chat dari grup WhatsApp Jendelist Jogja :

Gaess…, besok pagi yang bisa bantu jualan baju di pasar pakem siapa aja ya?

Bahwa “kerja” selayaknya bukan “kerjaku” atau “kerjamu” saja, melainkan “kerja kita” bersama.  [t.a.p]

1 tanggapan pada “Kedai Kopi, Mata Kita, Kerja Kita”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *