[Quote of the day]
“Barangkali untuk mengingatkan mereka bahwa turnamen barusan hanyalah permainan. Bahwa yang lebih punya arti adalah jabat tangan yang hangat dari teman-teman”
***
Sabtu, 31 Desember 2016
Hari ini Komunitas Jendela Jogja kembali mengunjungi anak-anak di Deresan, Bantul, Yogyakarta. Hari ini adalah akhir tahun. Entah kunjungan ini adalah kunjungan Jendela Jogja di Bantul yang keberapa kali selama tahun 2016. Tapi itu mungkin memang bukan hal yang darurat untuk dipikirkan. Karena pagi ini, kami akan melanjutkan episode bermain dan belajar kami dengan anak-anak Bantul. Itu mungkin lebih penting.
Setelah berurusan sebentar dengan koleksi buku-buku di perpustakaan, acara kami yang pertama adalah bermain tebak gerak-gerik. Sebuah permainan yang cukup menyenangkan, ternyata.
Saat itu anak-anak dan Kakak Jendelist dibagi menjadi dua kelompok. Peraga dari kelompok satu mencoba menyampaikan pesan kepada kelompok kedua melalui gerak-gerik. Ini menempatkan si peraga pada posisi rentan di-salah-pahami. Di saat yang sama kelompok kedua harus menerjemahkan kode-kode gerak yang mereka terima.
Sehingga entah mengapa, rasanya permainan ini menyimpan banyak isyarat nilai. Meski begitu saya tak begitu tahu apa manfaat permainan ini dalam membangun karakter atau psikomotorik anak. Barangkali ia berguna dalam melatih komunikasi dan menanam niat untuk saling memahami. Barangkali juga tidak. Tapi rupanya, permainan ini cukup efektif mengundang gelak tawa bahagia anak-anak. Semoga hal baik lainnya mengikuti.
Setelah permainan itu selesai, kami melanjutkan acara dengan membuat catapult menggunakan stik es krim dan karet gelang. Saya lebih suka menyebutnya ketapel karena lebih ramah di lidah. Pun karena meski bentuk dan prinsip kerjanya agak berbeda, fungsinya sama dengan ketapel yang saya kenal waktu kecil, yakni untuk melontarkan sesuatu.
Jika ketapel yang berbentuk seperti huruf “Y” itu sering digunakan untuk melontarkan batu sehingga agak berbahaya, catapult yang mereka buat ini hadir sebagai “ketapel” dengan desain yang lebih “manis” dan relatif lebih aman karena hanya melontarkan karet gelang yang digumpal-gumpal menjadi bola karet kecil.
Jika dengan ketapel bentuk “Y” dulu anak-anak mungkin sering iseng menembak mangga tetangga dengan batu, kali ini dengan catapult, mereka mengadakan kompetisi yang lebih sehat dan terukur, yaitu kompetisi melontarkan bola karet dengan jarak sejauh-jauhnya. Kakak-kakak Jendelist pun segera menjadi panitia dadakan dari kompetisi yang tak terencana tersebut.
Menarik memang, termasuk bahwa dari kegiatan membuat catapult ini kami pelan-pelan mulai bisa melihat perbedaan di antara anak-anak. Bahwa dalam proses merangkai stik es krim dan karet gelang tersebut ada beberapa anak yang tekun mencoba sendiri dan ada pula yang sering meminta bantuan.
Pun selama pembuatan catapult berlangsung, kakak-kakak Jendelist yang mengajak anak-anak mengobrol perlahan mulai mengenali respon masing-masing anak. Bahwa anak A memang agak pendiam namun tetap enak diajak bicara. Bahwa anak B suka sekali bicara. Bahwa anak C begini dan begitu.
Pengamatan semacam itu kami catat dan menjadi bahan evaluasi kami minggu demi minggu. Untuk melihat perkembangan masing-masing anak, pun barangkali bisa dijadikan bahan memilih pendekatan yang paling sesuai bagi anak-anak tersebut.
Dari obrolan-obrolan itu pula anak-anak menunjukkan tanda-tanda nalar dan kreativitas mereka. Misalnya saat terlibat percakapan mengenai komponen mana pada catapult tersebut yang seharusnya lentur dan yang seharusnya kaku. Juga bagaimana teknik melontarkan bola karet yang paling baik untuk menghasilkan lontaran terjauh. Saya baru ingat bahwa bahkan sejak menjadi anak SD, terkaan-terkaan macam itu memang sudah bisa dilakukan. Dan mungkin akan mereka pelajari sebagai permainan yang mengasyikkan.
Akhirnya program Jendela Jogja kali ini kami tutup setelah turnamen catapult dadakan itu mendapatkan juaranya.
Saat itu si anak yang menjadi juara bertanya kepada kakak Jendelist.
“Mas.., hadiah juaranya mana?”
“Yak…hadiahnya adalah ucapan selamat dari teman-teman… “
Dan anak-anak lain pun langsung bersemangat untuk menjabat tangan temannya yang menjadi juara itu sambil tersenyum penuh arti.
“Selamat yaa…., selamat ya…,”
Barangkali untuk mengingatkan mereka bahwa turnamen barusan hanyalah permainan. Bahwa yang lebih punya arti adalah jabat tangan yang hangat dari teman-teman.
***
Selepas turnamen catapult usai, kami berbenah. Lalu meninggalkan Bantul dan mampir ke sebuah tempat makan untuk makan siang. Sekalian untuk evaluasi kegiatan barusan dan berbincang-bincang tentang beberapa hal. Sebagian besar membahas urusan pribadi. Tentang masa lalu. Tentang rencana tahun baru. Sementara saya lebih banyak diam mendengar lagu-lagu yang merambat dari speaker di pojok ruangan.
Untuk kemudian teringat lagi, bahwa hari ini adalah akhir tahun. Dan hari ini adalah kegiatan terakhir Jendela Jogja di Bantul pada tahun 2016.
Pekan depan Jendela Jogja akan datang lagi kesana dengan pergantian kalender. Entah saya bisa ikut lagi atau tidak. Tapi kunjungan ke Bantul memang selalu terasa istimewa. Mungkin ada kaitannya dengan fakta bahwa Bantul adalah pengalaman pertama saya di Jendela.
Kalau boleh mengenang dan bersikap agak sentimental : Itu adalah bulan Agustus lalu. Saat saya datang kesana tanpa bekal apa-apa, tanpa kenal siapa-siapa kecuali seorang kawan sekelas yang juga mendaftarkan diri menjadi relawan dan memberi saya tumpangan kesana. Itu adalah masa ketika wajah-wajah yang kini familiar masih asing dan belum bercerita apa-apa.
Waktu itu tema kegiatan kami adalah peringatan hari Kemerdekaan Indonesia. Dan kami para relawan baru, dengan perasaan separuh canggung -separuh bersemangat -separuh bingung mulai mencoba berinteraksi dengan anak-anak.
“Jendelaaaa…, bukaaa,” kata kami waktu itu. Barangkali sebagai penanda bahwa momen kemerdekaan Indonesia (yang menjadi tema acara kami) adalah momen ketika negeri kita membuka “Jendela”-nya. Barangkali juga, sebagai penanda bahwa seperti halnya momen kemerdekaan yang kami rayakan, ada sepotong babak baru hidup kami yang baru dimulai hari itu.
Mungkin seperti akhir tahun ini juga. Ketika kenangan-kenangan itu mulai berkumpul. Dan esok adalah awal baru segala cerita.
***
Oleh : Teguh