Lompat ke konten

KENAPA BERKEGIATAN SOSIAL?

Sebagai salah satu relawan senior di Komunitas Jendela, saya sering mendapat pertanyaan berikut, khususnya dari wartawan yang meliput kegiatan Jendela:

“Kenapa tertarik untuk berkegiatan sosial?”

Waktu awal-awal mendapat pertanyaan seperti ini, saya akan dengan semangat memberikan penjelasan panjang lebar. Bahwa peduli pada sekitar adalah kewajiban setiap manusia, bahwa kegiatan sosial adalah bagian dari upaya work-life balance saya, bahwa saya memang tertarik dengan dunia pendidikan dan anak-anak, bahwa saya suka membaca sejak kecil dan saya ingin menularkannya pada anak-anak, dan alasan-alasan (sok) bijak lainnya. Belakangan, setiap mendapat pertanyaan seperti itu, yang muncul di pikiran saya pertama kali adalah, “Kenapa sih ini harus selalu dipertanyakan?”

Buat saya, kebaikan adalah kewajiban sekaligus hak setiap manusia. Saya punya kewajiban untuk berbuat baik pada orang lain, dan sekaligus punya hak untuk menerima kebaikan dari orang lain. Saya tidak bisa menuntut hak, tanpa terlebih dulu melakukan kewajiban. Jika saya menerima sebuah kebaikan dari seseorang, saya merasa punya kewajiban untuk juga melakukan kebaikan pada orang tersebut maupun yang lainnya. Siklus kebaikan ini saya jaga, agar hidup saya seimbang. Hidup saya, bukan hidup orang lain. Jadi, saya sebenarnya melakukan kegiatan sosial untuk memenuhi kebutuhan pribadi saya sendiri. Ibarat saya makan karena lapar, saya berkegiatan sosial karena saya memang butuh untuk melakukan itu.

Dan berhubung kebutuhan setiap orang berbeda-beda, maka ada yang memang butuh berkegiatan sosial, ada yang tidak. Ada yang butuh jalan-jalan, ada yang tidak. Ada yang butuh nulis, ada yang tidak. Ada yang butuh belanja, ada yang tidak. Ada yang butuh ke mall, ada yang tidak. Kenapa harus dipertanyakan?

Dulu, waktu awal-awal aktif di Jendela, saya sering promosi tentang Jendela ke teman-teman saya. Ibarat bisnis MLM, prinsip member get member juga saya gunakan dalam menjaring relawan baru Jendela. Rasanya senang jika orang-orang di sekitar saya juga ikut melakukan hal yang sama dengan yang saya lakukan. Melihat orang yang tidak peduli dengan sekitar rasanya saya heran, “Kok bisa?”

Saya lupa, kebutuhan setiap orang kan beda-beda. Ada yang, mungkin, memang tidak butuh untuk peduli. Setiap orang punya value atau nilai hidup masing-masing. Ada yang nilai hidupnya ingin membantu orang lain, ada yang ingin bersenang-senang, ada yang ingin beribadah vertikal, ada yang ingin belajar atau sekolah, ada yang ingin berbisnis, ada yang ingin hidup santai, ingin hidup sehat, dan sebagainya. Sepertinya tidak ada manusia yang punya value sama persis dengan orang lain. Masing-masing punya formulanya sendiri. Teman saya si A mungkin value-nya tinggi di kesehatan, tapi rendah di urusan bisnis. Sementara si B memiliki value yang kuat di religiusitas, tapi rendah di hubungan pertemanan.

Bisa jadi, ketika saya promosi kegiatan jendela di media sosial, beberapa orang bukannya terinspirasi, tapi justru terganggu karena saya sering terlihat ‘pamer’. Ini mirip dengan terganggunya saya ketika ada yang berusaha meyakinkan saya bahwa durian itu rasa surga dunia. Buat saya, durian itu tidak enak. Baunya aja saya nggak suka. Semakin dipaksa makan durian, saya makin nggak suka. Belajar dari kasus durian, saya justru sadar. Niat saya mengajak orang lain berbuat hal (yang menurut saya) baik, belum tentu menjadi baik di mata orang lain. Bisa jadi mereka justru terganggu. Kenapa? Karena value orang beda-beda. Value berbeda akan memunculkan kebutuhan yang berbeda pula.

Itulah kenapa anggota Jendela selalu kami sebut “relawan”, dan sistem keanggotaannya berbasis “sukarela”. Karena, lagi-lagi kebutuhan setiap orang berbeda. Ada yang memang butuh mengikatkan diri di Jendela untuk waktu yang tak terbatas, setiap saat bisa memikirkan Jendela. Tapi ada yang tidak butuh seperti itu. Kami tidak bisa memaksa setiap orang punya komitmen yang sama di Jendela.

Setiap ada relawan baru yang masuk, kami (yang senior) biasanya akan berkata, “Kalian adalah relawan di sini. Karena namanya relawan, dan kami tidak bisa memberikan apa-apa untuk kalian, maka berikan waktu se-rela kalian. Jika suatu saat kalian merasa ada hal lain yang jauh lebih penting untuk dikerjakan, kalian boleh pergi.”

Kok seperti tidak punya sistem ya?

Tenang, Jendela selalu punya sistem organisasi yang kami atur dengan baik. Kami punya beberapa divisi, termasuk divisi Relawan. Salah satu tugas divisi relawan adalah menjaga hubungan yang harmonis antar relawan, termasuk melakukan upaya-upaya untuk me-retain relawan agar bertahan di Jendela. Hanya saja, kami percaya bahwa memaksa orang lain untuk ‘berbuat baik’ tidak akan menghasilkan kebaikan apapun. Lebih baik memiliki sepuluh relawan, namun benar-benar ikhlas berbagi, daripada seratus relawan tapi hanya bertahan karena terpaksa.

Jadi, siapapun yang bertahan di Jendela memang orang-orang yang tulus dan rela berbagi. Orang-orang yang memang butuh untuk berbuat baik.

Barusan saya dihubungi salah seorang relawan. Dia baru saja pindah ke Medan, dan ingin mendirikan Jendela di sana. Seperti penggagas-penggagas cabang Jendela sebelumnya, dia menanyakan pada saya, “Belum ada tempat yang pas untuk mendirikan perpustakaan Jendela, gimana ya?”

“Sebenarnya nggak harus ada perpus fisik kok, bisa pake sistem mobile library. Kan yang penting kegiatannya untuk peningkatan minat baca dan bermanfaat untuk anak-anak. Perpustakaan fisik itu hanya salah satu sarana. Justru lebih penting kegiatannya. Nggak harus kegiatan besar dan melibatkan banyak orang kok. Kegiatan kecil dan sederhana tapi kalau manfaatnya besar kan jauh lebih berharga,” jawab saya.

Seringkali orang terjebak pada tampilan fisik. Bahwa kegiatan sosial yang bagus adalah kegiatan yang besar dan melibatkan banyak orang. Padahal harusnya kita lebih fokus pada manfaatnya. Bisa jadi, kegiatan yang terlihat ‘wah’ dan besar justru manfaatnya kecil, pun sebaliknya. Toh semua hal besar juga dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana. Bukankah semua perjalanan panjang pasti dimulai dari satu langkah kecil?

“Small steps, consistently taken lead to remarkable result” – Barbara Stanny

Tidak perlu takut untuk memulai sesuatu hal, apalagi hal baik. Berbuat baik bisa dimulai dengan hal-hal sederhana, seperti yang pernah saya tulis di artikel saya berjudul Sederhananya Berbagi. Berbuat baik bisa dimulai dari diri sendiri, tak perlu memaksa orang lain melakukan hal yang sama. Ingatlah, bahwa setiap orang punyavalue dan kebutuhan yang berbeda-beda.

Maka saya tidak lagi berani bertanya pada orang lain, “Kenapa nggak mau ikut kegiatan sosial?”

Lebih baik bertanya pada diri sendiri, “Kenapa harus berkegiatan sosial?”

 

Ditulis oleh : Prihatiningsih  (Koordinator Program Komunitas Jendela)

Tulisan ini pertama kali dipublish di http://prienz.com/2015/01/24/kenapa-berkegiatan-sosial/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *