Masih tentang konferensi pendidikan bertajuk Life Long learners yang diadakan Hari Sabtu, 8 November 2014, di sekolah Cikal. Kali ini, saya akan bercerita tentang workshop dan diskusi panel, yang merupakan sesi lanjutan setelah seminar dari Anies Baswedan. Workshop dibagi ke dalam beberapa kelas, sesuai mata pelajaran yang biasa diajarkan untuk anak usia SD. Workshop ini bertujuan untuk mengajarkan kepada peserta cara mengajar yang kreatif, namun tetap efektif. Suasana workshop dibuat semirip mungkin dengan suasana kelas yang sesungguhnya, bahkan tempat yang digunakan pun adalah ruang kelas. Ini menarik bagi saya, karena baru sekali ini saya bisa duduk di bangku-bangku kecil khas anak-anak, di sebuah ruang kelas warna-warni dan penuh hiasan dinding.
Ada beberapa kelas yang bisa dipilih, di antaranya kelas Bahasa Indonesia, kelas IPA, kelas Matematika, dan kelas IPS. Saya kebagian kelas IPA dan Bahasa Indonesia. Setiap kelas diajar oleh dua guru dari sekolah Cikal. Di kelas IPA, kami belajar materi tentang cahaya. Alih-alih mengajar kami teori tentang cahaya di papan tulis – seperti saat saya SD dulu – guru justru memberikan kami stimulus yang sangat menarik. Kedua guru meletakkan sebuah boneka di atas kursi, di depan kelas, lalu mematikan lampu. Kami diminta menuliskan apa saja yang kami lihat di sebuah post it, secara berkelompok sesuai tempat duduk. Setelah selesai, guru mengajak kami berdiskusi. Selanjutnya, lampu kelas dinyalakan, dan kami diminta menuliskan kembali apa yang kami lihat. Guru kembali mengajak kami berdiskusi dengan mengajukan berbagai pertanyaan, seperti “Apa bedanya jika kita melihat dengan lampu dan ketika lampu dimatikan?” “Kalau lampu dimatikan, apa yang terjadi?” Kalau boneka ibu taruh di balik kursi, apakah terlihat? Bagaimana kalau boneka saya letakkan di balik plastik, apakah masih terlihat?” Dan seterusnya.Ternyata, ini adalah cara guru memancing murid-murid untuk memahami apa manfaat cahaya, bagaimana sifat cahaya, dan sebagainya.
Konsep mengajar di kelas Bahasa Indonesia juga hampir mirip. Materi yang diajarkan adalah tentang “Unsur Cerita”. Kami diminta berjalan berkeliling, melihat poster-poster yang berisi potongan sebuah dongeng yang berurutan, lalu diminta berdiskusi kelompok untuk mencari tahu apa saja unsur sebuah cerita. Workshop ini mengajarkan saya, bahwa mengajar yang efektif itu bukan dengan ‘memberi tahu’, tapi dengan ‘mengajak tahu’, yaitu dengan memberikan pertanyaan yang memancing diskusi interaktif. Seorang guru seharusnya tidak memosisikan diri sebagai orang yang paling tahu di kelas, melainkan sebagai rekan diskusi anak didik. Ini akan membuat anak-anak lebih berani untuk menyampaikan pendapat, dan diskusi bisa berjalan dengan lebih baik.
Setelah istirahat makan siang, acara dilanjutkan dengan diskusi panel. Ada tiga panelis yang hadir, yaitu Najwa Shihab, Faried F. Saenong, dan Alexander Rusli. Masing-masing panelis menceritakan proses belajar yang mereka alami dari kecil, hingga menjadi orang-orang hebat seperti sekarang. Tidak hanya belajar dalam artian sempit di sekolah formal, tapi juga belajar dalam kehidupan sehari-hari. Najwa shihab, misalnya, bercerita tentang hubungannya dengan Najeela Shihab, kakak yang juga ia anggap sebagai guru dan mempengaruhi berbagai keputusan hidupnya di kemudian hari. “Anak-anak harus diberikan banyak kesempatan untuk mencoba berbagai hal agar bisa belajar untuk memilih dan mengambil keputusan.”, begitulah Najwa bercerita.
Alexander Rusli, berbagi tentang perjalanan karirnya hingga menjadi Presiden Direktur PT Indosat seperti sekarang. Beliau menegaskan bahwa salah satu hal yang menjadikannya seperti sekarang adalah kemampuannya mengambil pelajaran dari setiap moment atau peristiwa yang ia alami, meskipun itu menyedihkan. Ini adalah hasil didikan salah satu gurunya saat SD, yang selalu menanyakan peristiwa-peristiwa apa yang dialami sepanjang hari, di setiap akhir pelajaran. Ternyata ini membuat seorang Alexander Rusli terbiasa melakukan refleksi dari apapun yang dialaminya sepanjang hidup. Pesan lain yang tak kalah penting dari beliau adalah “Tekunlah, dan jangan pernah menunda pekerjaan.”
Faried F. Saenong, yang kini menjadi ahli tafsir dan pernah menerima berbagai macam beasiswa, juga menyampaikan pesan yang tak kalah penting, “Kita harus selalu punya progress, sekecil apapun, karena itu lebih baik daripada stagnan.” Sebagai pembelajar seumur hidup, kita memang harus terus belajar dan berusaha menjadi seseorang yang lebih baik dari hari kemarin. Dari para panelis ini saya diingatkan, bahwa belajar bukan hanya kewajiban seorang murid di kelas, tapi juga kewajiban setiap manusia di bumi yang diberi akal oleh Tuhan.
Mari menjadi pembelajar seumur hidup. Mari menjadi orang yang terus belajar agar lebih baik, lagi dan lagi. Seterusnya. 🙂
Salam,
Prihatiningsih.
Penulis : Prihatiningsih
Foto : Berbagai Sumber