Lompat ke konten

Main Kotak Pos, Belajar Jujur!

Di era kejayaan surat-menyurat, kotak pos adalah benda yang penting. Di kala telepon pintar belum lahir dan internet hanyalah bayang-bayang, dialah kotak kecil di tepi jalan yang dituju orang untuk berkirim surat. Barangkali terinspirasi oleh kotak pos tersebut, pada suatu masa sebuah permainan anak berjudul “Kotak Pos” tercipta.

Sebagaimana permainan tradisional lainnya, tak ada yang tahu pasti siapa pembuat permainan ini. Sebagaimana tak ada yang tahu siapa yang pertama kali memainkannya, jika ada yang menanyakan asal-usulnya, kebanyakan orang mungkin menjawab : “Hehe kurang tau ya, pokoknya udah ada dari duluuu bangeeet….” Sembari mengenang masa kecil.

Permainan kotak pos tersebut cukup sering dimainkan kakak-kakak Jendelist Jogja bersama adik-adik di lingkungan perpustakan. Menurut salah satu Jendelist, permainan ini cukup manjur sebagai pelebur suasana kegiatan bersama adik-adik. Berdasarkan pengalaman dengan adik-adik binaan, seorang Jendelist lainnya bahkan berpendapat :

Game ini bisa secara cepat mengumpulkan, menyatukan, bahkan mendamaikan adik-adik yang biasanya perlu ekstra bujukan biar yang cewek mau main dengan yang cowok, biar yang umurnya sudah besar mau main dengan yang masih kecil.”

Tampaknya permainan kotak pos ini cukup digemari adik-adik. Mungkin tiada salahnya bila  kita mengisi ruang “Learn & Play” ini dengan sedikit membahas permainan kotak pos. Kabarnya ada beberapa versi permainan kotak pos di semesta ini. Kita hanya akan membincangkan salah satunya.

Mari kita intip~

Babak Permulaan : “Kotak pos belum diisi”

Adik-adik Ngemplak bermain kotak pos bersama kakak-kakak Jendelist, pada suatu sore

Babak awal permainan ini adalah sesi tepuk-tepukan seraya berbaris melingkar diiringi nyanyian khusus seperti pada permainan “Do Mi Ka Do”. Kira-kira begini : Sambil mulai bernyanyi, seorang pemain akan mulai menepuk telapak tangan teman di sebelah kirinya. Setelah tertepuk, si teman pun menepuk teman di sebelah kirinya lagi. Demikian sehingga tepukan menjalari barisan melingkar. Merambat dari telapak tangan satu ke telapak tangan lain hingga nyanyian berhenti.

Inti babak tepuk-tepukan adalah memberikan nama samaran ke setiap pemain satu demi satu. Ada dua urutan tahap tepuk-tepukan. Tahap pertama adalah untuk menentukan siapa yang mengusulkan nama samaran. Tahap kedua adalah untuk menentukan siapa yang mendapatkan nama samaran tersebut. Nama samaran bisa diambil dari nama tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, atau apa pun sesuai kesepakatan.

Beginilah lirik nyanyian yang mengiringi tepukan tahap pertama :

Kotak pos belum diisi

Mari kita isi…. dengan isi-isian

Mbak Kokom  minta huruf apa?

Sekali lagi minta huruf apa?

Sedangkan lirik nyanyian tepukan tahap kedua bergantung pada jawaban tahap pertama. Seumpama pemain yang menjawab bernama Unyil, dan ia memilih huruf S untuk “semangka”, jadilah liriknya begini :

Siii…. Unyil minta huruf S                                                                                                 

Lama-lamaaa menjadiii Se..mang..ka…

Semua pemain yang telah memperoleh nama samaran harus keluar barisan. Pada saat itu mereka diibaratkan menjelma menjadi huruf-huruf yang masuk mengisi kotak pos. Tepat seperti lirik yang mereka lantunkan.

Tepuk-tepukan untuk membagikan nama samaran terus berlangsung hingga menyisakan satu pemain yang tak kebagian nama. Dialah satu pemain yang akan menjadi pusat permainan di babak berikutnya. Supaya mudah diingat, kita sebut saja satu orang pemain yang tak kebagian nama sebagai Si Tanpa Nama. Sedangkan bagi para pemain yang memperoleh nama, karena nama mereka diambil dari nama bebuahan,  kita sebut saja mereka para “Buah”. Setuju? Mari lanjut~

Babak Puncak : “Siapakah dia?”

Babak puncak permainan ini adalah semacam sesi “mencari dan menduga”. Si Tanpa Nama mencari dan menduga. Para Buah dicari dan diduga.

Begini lebih kurangnya : Mula-mula para Buah mengenalkan nama samaran mereka kepada Si Tanpa Nama. Si Tanpa Nama harus menghafal nama mereka. Itu penting karena setelah berkenalan, ia akan ikut “masuk” ke kotak pos. Untuk apa? Untuk menemukan satu saja buah dan menerka nama samarannya.

Sebagai catatan, mata Si Tanpa Nama harus ditutup. Ia mesti mencari dan menebak para Buah dalam kondisi gelap. Agaknya saat itu ia ibarat sebelah tangan tukang pos yang menyempil ke dalam kotak, mencari-cari surat. Sedangkan para buah tidak boleh berpindah tempat. Sekali memilih posisi, mereka harus tetap di sana hingga ujung sesi. Ingat mereka bagaikan sehimpunan huruf dalam kotak yang tak mampu berpindah sendiri.

Jika Si Tanpa Nama berhasil menangkap satu buah dan menyebut nama samarannya dengan benar, maka mereka bertukar peran. Jika nama yang disebut salah, Si Tanpa Nama melanjutkan pencarian. Begitu seterusnya hingga semua pemain sepakat menyudahi permainan.

Dibanding aneka games kekinian yang dimainkan anak-anak di gawai mereka, kotak pos ini rasa-rasanya punya keunggulan. Begitu juga banyak permainan tradisional lainnya. Alih-alih membuat anak-anak mendekam di layar gawai, kotak pos mendorong mereka melangkah ke luar rumah lalu berinteraksi langsung dengan teman sebaya. Hal tersebut tentu lebih mereka butuhkan ketimbang belajar ber-narsis-ria di social media.

Lebih-lebih, permainan ini seolah mengandung serangkaian pelajaran sederhana. Tadi ketika pemain diminta memberikan nama samaran, ia menyebut nama tumbuhan, buah-buahan, atau apapun sesuai kesepakatan. Takah-takahnya ada nuansa uji wawasan tipis-tipis di sana. Lalu ketika Si Tanpa Nama mencari para Buah, ia berjuang melakukannya dengan mata tertutup seraya berlaga mengerahkan daya ingat. Seolah ia sedang belajar menjadi pribadi yang pantang menyerah. Pun tadi ketika para Buah mengatur posisi supaya aman dari sergapan, mereka bisa belajar melakukannya sebagai tim. Seolah mereka sedang belajar tentang strategi dan kerja sama. Tetapi, bukankah Si Tanpa Nama yang matanya ditutup bisa mengintip melalui celah-celah penutup matanya? Lagi pula bukankah para Buah bisa berbohong tentang nama samaran mereka yang sesungguhnya?

Agaknya di sanalah kita berharap. Semoga ketika kesempatan untuk berbohong dan berbuat curang justru terbuka, anak-anak memilih belajar berlaku jujur lagi bersikap apa adanya. Ya mungkin dimulai dari hal-hal kecil nan sederhana. Seperti apa misalnya? Ya seperti kotak pos ini~

[t.a.p]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *