[Quote of the day]
“Membaca, berarti berpikir, melukiskan imajinasi, dan menyimpan segala informasi dengan rapi di long-term memory”
***
Di suatu sore yang cerah, seorang anak berusia sekitar 6 tahun, sebut saja Mega, menghampiriku sambil membawa sebuah buku.
“Mbaak, bacain mbak!” katanya sembari menggelendotiku.
“Emangnya Mega nggak bisa baca sendirii?”
“Bisaa, tapi aku lebih suka dibacain. Aku gak suka baca, sukanya main,” dia mengeles. Akhirnya aku meraih buku tersebut dan menceritakannya, membacakan beberapa lembar fable anak-anak dengan alur yang sangat sederhana itu.
“Nah, mbak kan udah ngebacain banyak nih, sekarang gentian Mega dong yang baca, satu halaman aja,” pancingku. Anak itu akhirnya mulai membaca kata demi kata dengan terbata-bata namun cukup lancar. Setelah habis satu halaman, aku bertanya,“Mega, mbak mau tanya, tadi beruangnya ini ngapain?”
Diam. Keheningan melanda kami beberapa saat. Mega tampak tersipu malu dan hanya tersenyum sambil menunjukkan gestur ‘tidak tahu’. Ia sama sekali tidak memahami apa yang baru saja ia baca. Tak mau menyerah, aku mencoba pertanyaan lain
“Kalau hewan yang ini tadi namanya siapa?” aku menunjuk salah satu tokoh fable yang namanya bahkan baru lima menit yang lalu disebutkan oleh Mega. Lagi, Mega tersenyum malu.
“Nggak tahu…” ucapnya lirih.
Saat itu aku teringat sebuah ceramah di kelas stimulasi perkembangan anak dan remaja, bahwa stimulasi (konkritnya berupa dialog dan pertanyaan-pertanyaan) dapat memancing anak mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Terpacu oleh teori tersebut, aku terus memutar otak, bagaimana membuat anak ini mendapatkan “ikan” dengan “kail” yang kuberikan. Aku tidak bisa langsung memberinya “ikan”. Aku tidak mau.
“Coba tebak siapaaa? Tadi Mega udah baca lho! Ayoo dibaca lagi,” pancingannya kurang halus, aku tahu. Tapi ya sudahlah. Mega terdiam, begitu pun aku. Dia bingung, aku apalagi. Setelah beberapa menit diem-dieman, akhirnya aku menyerah.
“Ini tadi namanya Roxy. Kalo beruang ini dia mau mencuri makanan, lihat nih beruangnya bersembunyi di balik semak-semak,” jelasku, Mega mengangguk.
Sebuah kegalauan kemudian mengusikku. Apakah caraku ‘memaksa’ Mega memahami bacaannya tadi itu benar? Apakah sudah waktunya dia kuperlakukan seperti itu? Apakah ini sudah sesuai tugas perkembangannya? Karena pada dasarnya, tiap anak (meskipun dalam jenjang umur yang sama) mereka tetaplah individu yang berbeda, pun dengan kemampuan melakukan tugas perkembangannya.
Terlepas dari segala pertanyaan di benakku, sebuah ironi lain kutangkap dari peristiwa sore itu. Menurut opiniku, Mega adalah salah satu dari sekian anak yang berhasil “belajar mengeja” tapi bukan “belajar membaca” –dua hal yang berhubungan namun berbeda. Bisa membaca sudah pasti bisa mengeja. Tapi bisa mengeja? Belum tentu bisa membaca.
Berangkat dari penjelasan duta baca Indonesia dalam sebuah acara workshop tentang literasi, aku simpulkan bahwa membaca memiliki makna yang jauh lebih dalam dari sekedar melafalkan huruf-huruf. Membaca melibatkan proses kognitif, bahkan katanya, ada sel-sel dalam otak yang teraktivasi khusus hanya ketika kita membaca. Aku akui bahwa ketika kita benar-benar membaca berarti tandanya indera kita dalam keadaan siap dan sadar menangkap stimulus berupa untaian kata. Hal inilah yang membuat kata jadi memiliki makna. Membaca, berarti berpikir, melukiskan imajinasi, dan menyimpan segala informasi dengan rapi di long-term memory. Bahkan terkadang kita dapat mengaitkan bacaan dengan pengalaman yang kita miliki, dari situ lah timbul kritisi, anggukan setuju, maupun sanggahan, singkatnya kita seakan berdialog dengan bacaan. Membaca bukan sekedar mengeja tanpa makna. Proses membaca adalah hal yang kompleks tapi berharga, seperti kata Najwa Shihab, “dengan membaca berarti kita membuat investasi pada diri sendiri”. Karena itulah membaca adalah hal yang patut diperhatikan bahkan kalau perlu, diperjuangkan.
Written by : Jendelist Jogja