Gila! Saya datang ke sini bukan untuk menjadi kuli! Saya sudah hapal di luar kepala ilmu ajaran Aryabatha sampai Digdana, dari Socrates sampai Hephaestion! Buat apa saya turun ke kali dan jadi kuli bangunan?
Alkisah, seorang cantrik bergabung dalam kelas berpikir yang penuh sesak dengan peserta di sebuah padepokan Jembuklewer. Ratusan, mungkin ribuan orang tergabung dalam ruang yang luasnya tidak lebih besar dari Makam Raja itu. Atmosfer yang tercipta pun tak kalah besar, terlihat sekumpulan orang menjalin debat di satu sudut ke sudut lain. Ada yang mempertanyakan makna hidup, ada pula yang melempar kritik terhadap struktur kerajaan Jembuklewer. Hanya impresif positif yang timbul dari hati Si Cantrik. Harapnya, dia bisa mendapatkan ilmu berpikir yang selama ini didambakannya.
Ruang yang panas dengan perdebatan itu tetiba memasuki keheningan. Sang cantrik coba menelusur titik mula keheningan dari atmosfer tersebut. Oh, ternyata Sang Guru sudah datang. Adapun kedatangan Sang Guru malah membuat Si Cantrik mengernyitkan dahinya dan meragukan kelas tersebut. Betapa tidak, yang hadir bukanlah sesosok empu dengan janggut panjang dan wajah bijak, melainkan bapak-bapak dengan tampilan tukang batu, ya, tukang batu!
Ya sudah, mungkin hanya tampilannya saja yang begitu, pikir Si Cantrik. Tidak boleh menilai orang dari penampilannya, karena apa yang kasat mata hanyalah sementara. Akan tetapi, dia terpaksa mengernyitkan dahi untuk kedua kalinya ketika Sang Guru mengeluarkan ajaran pertamanya.
“Terima kasih sudah datang. Sekarang, mari kita pergi ke kali dan mengumpulkan batu pondasi bersama kuli-kuli bangunan!” kata Sang Guru.
Gila! Saya datang ke sini bukan untuk menjadi kuli! Saya sudah hapal di luar kepala ilmu ajaran Aryabatha sampai Digdana, dari Socrates sampai Hephaestion! Buat apa saya turun ke kali dan jadi kuli bangunan? Ramashok![1] Ah, tapi biar saya coba dulu, siapa tahu Sang Guru bermaksud mengajar di kali karena ruangan ini terlalu sempit.
Si Cantrik pun akhirnya turun ke kali dengan harapan bakal mendapat ilmu dari Sang Guru. Dia berpikir segala bacaannya membuat dirinya jauh lebih unggul daripada tukang-tukang batu di kali, jadi tidak mungkin padepokan itu mengirim dirinya untuk memungut batu. Siapa sangka, Sang Guru tidak mengatakan apa-apa dan hanya beraktivitas biasa layaknya tukang batu: mengumpulkan batu kali untuk dijadikan fondasi!
Kekecewaan bertumpuk bersama peluh Si Cantrik yang bekerja sembari ngedumel terus menerus. Merasa pengetahuan yang dia dapat dari ribuan buku itu tersia-siakan, walau masih ada harapan bahwa Sang Guru akan mewariskan ilmunya atau minimal memberi referensi buku untuk belajarlah. Si Cantrik yakin dan percaya bahwa buku adalah sumber pengetahuan utama, jendela untuk memahami isi dunia. Jadi, sudah sepantasnya membaca buku menjadi titik mula kelas berpikir yang diikutinya itu.
Hari demi hari berlalu, yang timbul dari hati Si Cantrik justru kekecewaan yang bertubi-tubi. Hari pertama, dia diminta untuk memungut batu. Hari kedua, dia diajak untuk menebar padi bersama petani. Hari ketiga, dia dituntut untuk melaut bersama nelayan. Begitu seterusnya hingga sepekan berlalu dan dia menolak untuk bergabung dengan teman-teman sepadepokan dalam kegiatan berikutnya, yakni menanam jagung di kebun orang.
Si Cantrik langsung menghampiri Sang Guru dan mempertanyakan metode pembelajaran di kelas berpikir. Tidak ada buku, tidak ada perpustakaan, tidak ada diskusi, bahkan tidak ada pengajaran atau penyampaian materi dari beliau. Si Cantrik pun menyampaikan betapa dia merasa tersia-siakan ketika ilmunya yang luas, yang bersumber dari ribuan buku dari berbagai belahan dunia itu, tidak terpakai ketika harus turun dan memungut batu.
Sang Guru, yang kali ini hanya mengenakan celana kolor yang sobek di bagian pantatnya, dengan bijak menjawab: Nah gitu dong, emosi!
*Pelajaran dari tulisan ini adalah…cari sendiri*
Oleh: Ramlan Soedibyo
[1]Sebuah frasa gabungan dari bahasa Yunani, Aram, Ibrani, Tiongkok, Sanskerta yang biasa disampaikan ketika ada tindakan atau kejadian di luar batas nalar manusia.