Tahun 2018, menjadi awal dibukanya cerita ini. Kalau biasanya ikut komunitas itu bersama teman, tidak tau kenapa, saat itu aku datang dengan keinginan sendiri. Mungkin karena aku senang berjumpa dan berkenalan bersama orang baru. Sempat ragu dan takut. Jujur saja, aku tidak punya dasar untuk mengajar. “Apakah aku bisa berbagi ilmu? Tapi ilmu apa? Aku tidak pandai pelajaran” Isi kepalaku sepanjang aku mengikuti perkenalan pertama komunitas Jendela Jakarta.
Singkat cerita, aku mulai ikut berkontribusi sedikit, dengan mencoba datang di kelas Sabtu Minggu Jendela Jakarta di Manggarai. Melihat banayak perilaku lucu adik-adik saat mengikuti materi dari kakak kakak Jendela yang mengisi saat itu.
Semenjak aku bergabung, aku melihat bagaimana anggota aktif di komunitas ini saling semangat untuk menentukan materi apa saja yang ingin dibagikan kepada adik-adik. Dari hal yang memang bersangkutan dengan pelajaran, sampai ke materi dasar tentang perilaku baik dalam kehidupan sehari-hari. Semakin kagum lagi, karena ternyata kakak-kakak anggota aktif di komunitas ini memang tulus dalam membagi ilmunya, karena ini berbasis sukarelawan.
Aku sempat juga terlibat dibeberapa acara Jendela Jakarta, salah satunya adalah saat HUT Jendela Jakarta ke-6. Wah, ternyata anggota Jendela Jakarta jauh lebih banyak. Banyak kenal lagi, banyak sharing cerita lagi. Apalagi saat dipercaya masuk kepanitian saat itu, aku sempat tidak percaya diri, tapi karena kakak-kakak komunitas yang sangat welcome, semua keraguan mulai menipis.
Banyak sekali divisi di komunitas Jendela Jakarta ini, dan aku diberikan pilihan untuk bergabung ke divisi apa. Awalnya ragu, karena ketidakpercayaan diriku sangat tinggi. Akhirnya aku memutuskan untuk bergabung bersama tim divisi Seni dan Tahsin.
Sejujurnya aku tidak terlalu begitu aktif, karena ada beberapa lain hal. Sampai aku sudah tidak masuk ke dalam grup komunikasi Jendela Jakarta hehe. Tapi itu bukan menjadi alasanku untuk berhenti menjadi sukarelawan di komunitas ini. Sampai akhirnya aku hanya fokus di salah satu divisi, yaitu divisi Tahsin. Alasannya karena waktu mengajar tahsin di malam hari. Di program tahsin ini menjadi awal beberapa pandanganku berubah.
Niat untuk aku mengajar justru berubah menjadi aku yang banyak belajar dari adik-adik Jendela Jakarta. Belajar bagaimana sabarnya saat mengajar mereka, bagaimana semangatnya mereka dalam setoran hapalan, bagaimana semangatnya mereka saat pintu perpustakaan dibuka. Mereka langsung bersiap menentukan siapa yang baca atau setoran hapalan duluan. Wah, ternyata niat mereka jauh lebih banyak daripada niatku yang datang untuk menemani mereka ini.
Pengalaman bersama adik-adik tahsin terlalu banyak untuk diceritakan. Aku akan bercerita tentang hal yang paling dirindukan adalah saat sholat bersama di mushola belakang perpustakaan. Atau, saat mereka masih mau bermain di perpustakaan, tetapi waktu sudah mulai malam. Jadi inisitatif dari Kak Viny, yaitu mematikan lampu perpustakaan agar mereka segera pulang. Dan masih banyak cerita lainpokoknya, sayang sekarang harus terpisah dulu, karena wabah ini, tapi demi kesehatan tidak menjadi masalah.
Sampai saat ini, berkat mereka aku bisa lebih peduli, lebih banyak bersyukur karena bisa mengenal mereka. Hidupku yang tadinya monoton, ternyata bisa ada senangnya saat waktu jumpa mereka. Walaupun memang waktu yang aku punya terbatas, karena jadwal pekerjaan lapangan. Tapi Alhamdulillah masih diizinkan sama kakak-kakak Tahsin untuk tetap bisa bergabung dan membantu. Terima Kasih Jendela Jakarta, semoga selalu memberikan dampak positif kepada banyak orang, membuat arti bahagia itu sederhana, membuat pola pikir untuk berbagi itu luas, dan membuat arti mengajar itu ternyata bisa menjadi belajar.