Lompat ke konten

MERINDU JENDELA DARI SEMANGKUK KOLOKE

Hari ini cuaca di Malang cerah sekali, tidak seperti satu minggu terakhir yang hampir setiap hari turun hujan. Perut sudah keroncongan dan waktu saya melirik jam, ternyata memang betul sudah waktunya makan siang.

Cuaca panas begini makan koloke ayam sepertinya segar. Paduan ayam yang krispy tapi lembut dengan siraman saus asam mansi lengkap dengan potongan nanas yang makin menggugah selera. Coba pesan, ah~

Setelah terpikir mau pesan apa, saya pun meraih ponsel dan order seporsi koloke. Karena terakhir makan koloke hampir 3 bulan yang lalu. Nafsu ingin makan koloke semakin besar. Tidak sabar rasanya ingin segera menikmati semangkok koloke di siang bolong begini. Meskipun agak lama, akhirnya makanan pesanan saya datang.

Tapi betapa terkejutnya saya ketika kantong makanan itu saya buka. Tidak ada koloke ayam dengan saus asam manis lengkap dengan potongan nanas. Hanya beberapa potong daging ayam kering yang dibalut tepung dan digoreng dengan warna tidak merata. Beberapa potongan ayam itu berada ditengah sebungkus nasi yang porsinya banyak sekali. Oh rupanya ini masih koloke, karena penjual masih menyertakan saus. Walaupun saus itu dibungkus sedikit sekali dengan plastik kecil dan sangat encer.

Ah yang benar saja…

Koloke tanpa saus asam manis dan potongan nanas bukanlah koloke seperti yang saya dapatkan biasanya. Koloke tanpa nanas rasanya sangat kurang. Seperti makan sayur bening tanpa dadar jagung, seperti nongkrong di angkringan tanpa sego kucing, seperti mengingat kenangan 5 tahun yang lalu…

Saat itu saya sedang duduk di bangku SMK dan menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL). Keseharian saya sebagai siswa PKL tidak lagi sekolah seperti biasa, melainkan harus mengikuti ritme kantor tempat saya magang. Berangkat jam 8 pagi pulang jam 4 sore. Tanpa tambahan tugas dan tanpa tambahan ekstrakurikuler yang menjadikan diri saya sibuk seperti biasanya. Lebih mirisnya lagi, hari sabtu minggu libur dan itu artinya menganggur seharian di kost tanpa kegiatan apa-apa.

Satu dua minggu hal itu tentu menyenangkan, bisa tidur siang dan goler-goler sepuasnya. Ya, saya juga tidak memungkiri bahwa bermalas-malasan itu juga menyenangkan.  Tetapi karena sudah terbiasa banyak tugas dan PR, terbiasa pulang telat karena ekskul ini dan itu rasanya aneh saja.

Semakin lama rasa bosan itu semakin nyata. Hingga suatu hari ketika pulang dari kantor rasa bosan itu sudah memuncak. Saya search di internet “Komunitas di Kota Malang” yang memunculkan ratusan informasi. Dari bekal hasil berselancar di itulah saya mulai menghubungi satu persatu contact person yang tertera. Setidaknya saya harus ada kegiatan tambahan walaupaun hanya satu saja.

Tidak ada ekspektasi khusus, bahkan saya pun tidak begitu peduli komunitas apa saja akan saya ikuti. Dari mulai komunitas pegiat literasi, komunitas anak gunung, komunitas pecinta hewan hingga komunitas peduli kanker semuanya saya hubungi. Sayangnya dari sekian pesan yang terkirim hanya satu balasan yang saya terima. Pesan itu dari kontak Komunitas Jendela Malang, Kak Chamdan Iful Sungkono yang kini lebih akrab saya panggil Mas Ipul.

Mas Ipul dengan begitu fast respon membalas pesan BBM saya. Tidak lama dari hari itu pun saya mulai ikut meet up dan ya, Mei 2016 saya berjodoh dan resmi menjadi bagian dari keluarga Komunitas Jendela Malang.

Awal bergabung saat itu project Komunitas Jendela Malang adalah mengajar di salah satu panti asuhan. Saya kira kegiatan awal akan berjalan dengan suasana canggung dan kaku karena saya anak baru. Namun rupanya anggapan saya keliru. Meskipun saya adalah relawan yang paling muda, tapi kakak-kakak yang lain selalu melibatkan saya di setiap projectnya.

Dari project satu ke project lainnya itu saya menyadari: dunia komunitas itu luas. Dari sana saya tidak hanya belajar mengajar, saya juga belajar ilmu-ilmu kepemimpinan, belajar mengelola dan bertanggung jawab atas keuangan komunitas (sempat diamanahi menjadi bendahara program). Belajar menyuarakan ide, memberikan saran dan solusi ketika penyusunan program serta evaluasi.

Manfaat yang saya dapatkan tidak usai di situ. Ekspektasi yang begitu rendah di awal semakin membuat rasa kagum saya menjadi-jadi. Apa yang saya dapatkan sungguh jauh sekali melebihi prediksi.

Beberapa hari project mengajar berjalan, kini ada satu lagi tambahan project yang lebih besar: Komunitas Jendela Malang terpilih menjadi panitia Makrabnas tahunan. Berhari-hari saya dan teman-teman disibukkan dengan membuat konsep dan rencana untuk berlangsungnya makrab nanti. Rangkaian kegiatan yang begitu padat sampai harus membuat saya bolos masuk PKL. Jika biasanya setelah bolos saya akan menyesalinya, kali ini saya tidak menyesal sama sekali. Hihihi..

Terima kasih Dita, Mbak Nisa, Mbak Nindy yang sudah mengompori saya untuk bolos waktu itu. Kalau saja saya tetap bersikukuh masuk PKL, mungkin pengalaman yang saya dapatkan dari makrab tidak akan sebanyak ini~

Makarab terasa berlangsung begitu cepat. Setiap waktu dan usaha yang saya keluarkan rasanya sebanding dengan memori yang terbentuk. Mengenal teman-teman dari berbagai daerah, mengenal senior yang jiwa sosialnya begitu tinggi, founder-founder yang begitu mengisnpirasi, mengenal relawan yang merupakan seorang dosen yang begitu humble dan masih banyak lagi pertemuan-pertemuan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya dan begitu saya syukuri hingga hari ini. Bahkan saya pun mensyukuri wawasan-wawasan kecil yang saya dapat seperti: mengenal jika ada jurusan kuliah Geodasi hingga mengenal kripik pisang coklat itu camilan khas daerah lampung.

Begitu banyak hal-hal sederhana dan memorable dari Makrabnas 2016. Bahkan hingga sekarang ketika secara randomly mendengarkan lagu Monita Tahalea – Melangkah Kembali  – Theme Song Makrab, langsung tergambar lagi suasana malam itu. Wajah-wajah ceria dan tawa-tawa yang lepas saat Jendelis berkumpul bermain mini game.

Malam semakin larut namun suasana malah semakin hangat. Mungkin karena ada dua sumber kehangatan waktu itu: Api unggun yang kian membara dan kebersamaan jendelis yang semakin kerasa. Ah jadi kangen…

Masa-masa makrabnas adalah masa-masa terindah saya di Jendela, namun rupanya masa itu hanya permulaan saja. Semakin dijalani semakin banyak lagi ‘kejutan’ yang saya dapati di komunitas ini. Saya bertemu dengan adik-adik baru, tempat baru juga pengalaman baru. Bahkan saya juga mendapati teman-teman baru yang kini sudah seperti keluarga sendiri.

Mengenang kembali perjalanan di Komunitas Jendela tentu akan sangat panjang. Dan waktu yang Panjang itu lebih dari cukup untuk menghabiskan seporsi makan siang. Tidak terasa, semangkuk koloke saya – yang sedikit gagal– akhirnya habis juga.

Koloke tanpa nanas dan waktu panjang tanpa berkegiatan memang sama-sama melahirkan kehampaan.

Namun satu yang pasti,

Komunitas ini sudah menjadi salah satu pengisi kehampaan saya. Terakhir, terima kasih atas segala pengalaman yang telah diberikan dan ya..  Selamat ulang tahun Komunitas Jendela yang ke-10.

 

(Nur Afni Indah Sari, Jendelist Malang)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *