“Mungkin mereka bukan motivator dan inspirator yang hanya bermodal kata – kata dan dibayar puluhan juta”
Minggu pagi, di awal tahun baru, Merapi masih cerah waktu itu ketika saya memutuskan untuk beranjak ke suatu tempat lainnya untuk menyambut sekelompok penggiat literasi dari Kartasura. Pijar Aksara, mereka menggunakan dua kata tersebut untuk menggambarkan bagaimana mereka hadir memberikan sebuah cahaya yang sangat nyata, bukan hanya retorika. Kalau boleh sedikit sombong, Pijar Aksara hadir karena mereka terinspirasi oleh Komunitas Jendela Jogja. Kami (Pijar Aksara dan Jendela Jogja) sama – sama tidak ingin terbelenggu oleh birokrasi pemerintah yang sedikit repot terkait pendidikan. Kami hadir juga bukan hanya sebagai proses kritik terhadap pemerintah akan semrawutnya kurikulum yang kerap berganti.
Kegiatan di Minggu pagi kali ini tidak ada yang begitu berbeda, kami memulai kegiatan dengan membaca dan berinteraksi sesama. Yang membedakan hanya kawan – kawan kecil kami yang baru, yang jumlahnya lebih banyak. Selepas membaca sekitar 30 menit, kami bergerak ke sebuah lokasi kegiatan yang baru dan cukup luas untuk bergerak di tengah pembangunan massive kota Jogja. Kegiatan kali ini membuat sebuah pembatas buku (bookmark) yang nantinya kami harap dapat menjadi suatu alasan mereka, kawan kecil kami, membaca buku lebih giat lagi. Kami bagi menjadi 5 kelompok dengan dua pendamping di masing – masing kelompok. Tingkah polos dan kreativitas yang berbeda – beda terkadang menjadi sebuah alasan kami untuk tersenyum dan bahkan tertawa puas.
Kegiatan kami akhiri tepat jam 1 siang dan dilanjutkan dengan makan siang bersama. Selepas makan siang, kami berfoto bersama dan menutup kegiatan tersebut dengan suka cita.
Saya sendiri, masih ingin bersama kawan – kawan kecil saya. Kami bergegas menuju Museum Vredeburg, sebuah museum yang dahulu digunakan sebagai simbol kolonialisme di Indonesia. Tidak banyak waktu yang kami habiskan di Vredeburg, tetapi banyak pelajaran yang saya alami secara langsung oleh tingkah polah mereka ketika berkunjung ke museum. Ada sesosok komandan yang dengan sabar memberikan arahan kepada teman – temannya untuk berhitung dalam rangka memastikan tidak ada rombongan yang tertinggal. Kami mengunjungi beberapa diorama yang menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia terlepas dari kolonialisme bangsa Barat. Kegiatan di benteng kami tutup dengan foto bersama dan melanjutkan kegiatan dengan membeli oleh – oleh di sekitaran benteng.
Acara inilah yang berhasil membuat mata saya beberapa kali berkaca – kaca menahan haru. Ada sepasang anak laki-laki yang bergerak ke arah saya dan meminta untuk ditemani membeli baju untuk adiknya. Dengan bermodal uang 20 ribu, uang dari orang tua yang tentunya digunakan untuk jajan, secara dengan sengaja ia belikan baju untuk adiknya. Ya, untuk adiknya. Sial, hal yang sedikit memberikan pecutan. Kenapa di usia sekecil mereka sudah timbul pikiran semacam itu. Saya sempat beberapa kali menawari untuk membelikannya baju yang sama, tetapi dia menolak. Dengan uang sisa 5 ribu ditangan, ia terlihat sangat senang dan membeli es teh dengan uang sisa tersebut. Tidak hanya kejadian tersebut yang sukses membuat saya merenung di sepanjang jalan pulang menuju kosan. Sepasang anak laki – laki yang lain tampak tergesa – gesa berlari menjauh, kebetulan saya melihat hal tersebut dan beberapa kali menanyakan mau kemana, mereka terkesan cuek tanpa jawaban. Dan sialnya, mereka berlari untuk mengejar seorang pengemis tua dan memberikan uang sisa jajannya untuk pengemis tua tersebut. Walaupun dalam undang – undang hal tersebut salah, tapi menurut saya itu adalah perbuatan yang benar, karena dengan usia mereka. Mereka sudah menerapkan indahnya berbagi.
Mereka adalah motivator ulung yang memberikan pelajaran berharga bukan hanya dengan kata – kata. Terlepas dari budaya dan bicara mereka yang kasar, hal itu tidak mengurangi respect saya terhadap kejadian yang sepertinya akan selalu saya ingat dan menjadi sebuah pengingat bahwa bukan hanya tampilan orang yang bisa kita lihat. Lebih jauh dari itu, kita harus melihat keseharian mereka. Terima kasih kawan – kawan Pijar Aksara sudah dengan sangat bagus memberikan pelajaran untuk adik – adik kecil yang secara garis besar tumbuh dan berkembang di kawasan yang cenderung buruk dan beberapa bahkan tidak mendapatkan kasih sayang orang tua.
Sincerly,
Kapten Jendela Jogja