Mengenyam pendidikan merupakan hal yang begitu penting bagi seorang warga negara. Pemerintah memfasilitasi hal tersebut dengan merancang sistem pendidikan yang sedemikian rupa, sehingga terbentuklah kurikulum nasional yang diterapkan dalam berbagai jenjang pendidikan formal, mulai dari SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/MA. Dari situlah lahir kebijakan yang menstigma masyarakat untuk wajib belajar 12 tahun (dulu sembilan tahun), bahkan mengenyam pendidikan formal setinggi mungkin.
Masyarakat kemudian berbondong-bondong menggantungkan nasibnya pada pendidikan formal tersebut, dengan harapan seiring dengan tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh, semakin tinggi pula “kualitas hidup” yang mereka dapatkan. Outcome yang dihasilkan ternyata bermacam-macam. Banyak yang berhasil mengubah nasib, meningkatkan kualitas hidup, dan meraih kesuksesan melalui pendidikan formal. Namun, tidak sedikit pula yang mengeluhkan dan tidak puas akan nasibnya setelah menempuh jenjang-jenjang pendidikan formal, bahkan dari para lulusan bangku kuliah.
Hal di atas merupakan salah satu contoh ekspektasi masyarakat terhadap pendidikan. Namun, tidak semua ekspektasi sesuai dengan realita. Tidak semua potensi individu dapat dilejitkan oleh satu sistem pendidikan formal, konvensional, dan berlaku nasional. Adjusment ekspektasi-realita inilah yang kemudian membidani lahirnya ide mengenai pendidikan alternatif.
Secara teoritis, Jery Mintz mengkategorikan pendidikan alternatif ke dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu: (1) sekolah publik pilihan (public choice), (2) sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk), (3) sekolah/lembaga pendidikan swasta/independen, dan (4) pendidikan di rumah (home-based schooling). Keempat kategori tersebut menitikberatkan pada kecenderungan minat individu ataupun karakter/tipikal personal individu. Dapat kita ambil contoh untuk masing-masing kategori: (1) sekolah bibit untuk seorang yang memiliki potensi di bidang olahraga atau seni, (2) sekolah untuk para korban penyalahgunaan narkoba, (3) pesantren untuk seorang yang ingin menekuni agama, (4) homeschooling untuk seorang yang diharuskan keluarganya untuk mewarisi tradisi keluarga.
Kategorisasi pendidikan alternatif di atas barangkali dapat kita sebut dengan pendidikan alternatif yang formal, di mana sistem kurikulumnya jelas, arah pelaksanaannya juga jelas, serta terdapat ijazah yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan siswa. Namun, di samping itu ternyata banyak pula gerakan pendidikan alternatif yang non-formal, seperti yang dilakukan oleh komunitas-komunitas yang berkecimpung di dunia pendidikan dewasa ini. Banyak sekali alternatif kegiatan yang mendidik tercipta dari para pegiat komunitas ini. Misalnya kegiatan membaca sembarang buku, belajar melalui permainan, ataupun sekedar mengobrol santai yang memperluas pandangan terhadap permasalahan di lingkungan sekitar. Hadirnya alternatif pendidikan yang digerakkan oleh berbagai komunitas tersebut menjadi pelengkap (jika tidak dikatakan sebagai anti-thesis) bagi pemahaman masyarakat terhadap pendidikan, bahwa pendidikan yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup itu bisa diperoleh dari mana saja, tidak terpaku pada satu suatu sistem yang sudah baku.
Industrialisasi dan modernisasilah yang telah mereduksi pendidikan yang secara luas berarti pembelajaran manusia sebagai upaya terus menerus untuk mengenal diri dan dunianya menjadi pembelajaran formal di dalam sekolah, dengan tujuan untuk mengasah keahlian/profesionalisme diri sehingga berkesempatan untuk diterima di suatu lapangan kerja. Tereduksinya esensi pendidikan dalam sistem pendidikan formal tidak berarti bahwa pendidikan formal itu keliru dan menyeleweng jauh dari tujuan pendidikan.
Ada sebuah pandangan bahwa jati diri seseorang terdiri dari identitas dan personalitas. Identitas merupakan sesuatu yang dipilih dan diadopsi dari lingkungan yang sifatnya nurture, dan personalitas merupakan sesuatu yang telah diberikan oleh Tuhan, tidak bisa dipilih dan bersifat nature. Dari terminologi tersebut, pendidikan formal ala industrialisasi tidak sepenuhnya keliru sebab pendidikan formal membantu seseorang dalam membentuk identitasnya. Namun, menurut hemat penulis, pendidikan formal ala industrialisasi sekarang ini hanya menyandangkan gemerlap baju identitas pada seseorang tanpa memberi latar belakang pemahaman yang kuat atas fungsi baju identitas tersebut.
Jika kita meminjam analogi matematika, pendidikan seharusnya menjadi sebuah fungsi yang memetakan personalitas pribadi seseorang kepada identitas pribadinya. Sehingga seseorang yang memperoleh pendidikan betul-betul memahami personalitas dirinya dan mampu memilih dengan tepat identitasnya dan pada akhirnya dapat menjalankan peran identitas sesuai dengan fungsinya. Inilah yang menjadi tantangan bagi para penyelenggara pendidikan, baik yang formal maupun non-formal. Alternatif pendidikan yang bagaimana yang mampu menyelaraskan antara personalitas dan identitas seseorang sehingga jarak ekspektasi-realita dalam pendidikan dapat diminimumkan. [m.k.n ]
Referensi
[1] abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MB/Jurnal/AI%20Qalam/Desember%202014/12.pdf
[2] abasscio.wordpress.com/tag/terminology-identitas-dan-personalitas/