Lompat ke konten

Resensi Novel: Gadis Pantai

“Mengerikan bapak, menegrikan kehidupan priyayi ini… Ah, tidak, aku tak suka pada priyayi…”

resensi-novel-gadis-pantai

 

Diresensi Oleh      : Boy Adisakti

Karya                      : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit                 : Lentera Dipantara

Cetakan kedua     : Maret 2005

Tahun terbit         : 2003

Tebal Buku           : +/- 270 halaman

 

 

Sudah lebih dari 70 tahun negara Indonesia merdeka. Lepas dari penjajahan kolonialisme Belanda yang ditaksir mencapai 350 tahun, giliran kaum fasis Jepang yang sempat menduduki Indonesia selama empat tahun. Selama pemndudukan dua negara asing itu membentang berbagai lembaran sejarah penting dari yang terdokumentasikan dan sebaliknya. Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang menulis novel-novel lintas sejarah yang sebelumnya tak terdokumentasikan secara ‘jujur’. Karya-karya beliau menjelaskan sejarah-sejarah perjalanan pra-kemerdekaan Indonesia  secara lebih lugas. Salah satu karya beliau yang cukup fenomenal dalam mengungkapkan sisi lain sejarah pra-kemerdekaan Indonesia adalah “Gadis Pantai”.

Novel yang berjudul ‘Gadis Pantai’ menceritakan tentang feodalisme masyarakat Jawa yang dilakukan oleh golongan priyayi pada saat itu. ‘Gadis Pantai’ dalam novel tersebut merujuk pada seorang anak yang tumbuh di lingkungan kampung nelayan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. ‘Gadis Pantai’ yang berkulit kuning langsat dan bertubuh mungil memikat hati salah satu priyayi yang bekerja pada Belanda. Pada usia yang keempat belas, ‘Gadis Pantai’ harus berpisah dari kedua orang tua yang sehari-hari hidup di pesisir pantai. Pada zaman itu, seorang bapak yang miskin akan sulit untuk menolak permintaan orang dari golongan bangsawan, termasuk permintaan untuk membawa sang gadis. Dengan dalih berbakti kepada orang tua dan hidup lebih sejahtera akhirnya sang ‘Gadis Pantai’ diboyong ke kota untuk hidup bersama sang priyayi.

‘Gadis Pantai’ akhirnya dipertemukan dengan sang priyayi dalam gedung megah yang sebelumnya tak terbayangkan olehnya. Sejak saat itu ‘Gadis Pantai’ menyandang gelar Mas Nganten. Istilah ini merupakan istilah bagi perempuan yang melayani kebutuhan seks para priyayi sampai mereka tersebut memutuskan untuk menikah dengan perempuan dari golongan yang sederajat. Sang lelaki priyayi masih dapat dikatakan perjaka hingga ia menikah dengan perempuan yang sederajat.

Novel ini menjelaskan kepada pembaca tentang kehidupan yang ada pada zaman dulu, di mana hierarki dan struktur dalam masyarakat masih menjadi pedoman utama dalam kehidupan sosial. Bagi manusia yang berada pada stuktur paling atas, kehidupan akan terasa terang benderang. Namun, bagi masyarakat struktur bawah, kehidupan hanya merupakan ruang untuk berduka. Dari novel ini Pramoedya Ananta Toer tidak hanya mengajak para pembaca untuk kembali belajar sejarah bangsa, namun juga mengajak para pembaca untuk melakukan refleksi terhadap kehidupan sosial saat ini dan melatih kepekaan sosial para pembaca dengan memastikan bahwa tidak ada ‘Gadis Pantai’ lainya saat ini.

Editor: D. Darmasetiadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *