[Quote of the day]
“Karena berada di komunitas ini tak sekedar panggilan hati, perlu banyak kerjasama dalam satu visi untuk terus mengembangkan potensi”
Banyak yang bertanya,“Mengapa sekarang aku mencoba terjun di dunia baru yang dinamakan “komunitas” setelah selama lebih dari lima tahun aku asyik dengan seluk beluk organisasi sekolah dan kampus? Apa yang menarik sehingga aku bisa berpaling?” Maka aku akan menjawab, aku mudah bosan, aku gampang tergoda sesuatu yang baru tetapi tak pernah bisa meninggalkan yang lama. Maka dari itu aku lebih memilih merangkap keduanya.
Organisasi kampus yang cenderung memiliki tekanan dari banyak pihak, terstruktur, terikat, deadline yang gak ada habisnya dan komitmen dengan jangka waktu lebih dari satu tahun tentunya membuat seseorang harus berfikir panjang. Tapi anehnya, semua bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya. Sebenarnya tak ada yang mengasyikkan sama sekali, lebih banyak capeknya, lebih banyak tugas sekolah yang harus dikerjakan tengah malam hingga terkadang dalam kurun waktu dua hari tidak tidur sama sekali. Pikirku kala itu,“Waktuku terbuang sia-sia ya” tetapi lucunya, semua “waktu sia-sia” itu terus berlanjut hingga sekarang. Ya, aku dapat belajar banyak hal. Belajar bertanggung jawab, kedisiplinan, tepat waktu, berbicara lancar di depan banyak orang, tidak menjadi pribadi yang tertutup, dan yang paling menyenangkan adalah mempunyai jalur khusus ke para petinggi sekolah. Yak, jika dilihat dari segi positifnya, semua itu justru menjadi input yang bagus.
Dan seiring berjalannya waktu, penyegaran pengalaman itu diperlukan. Kali ini aku ingin mencoba dunia baru yang belum pernah ku jamah. Komunitas namanya, komunitas Jendela Jogja lebih tepatnya. Pertama kali bergabung di dalam komunitas, pikirku semuanya akan sama dengan pertama kalinya bergabung dalam organisasi kampus, hanya berbeda di bagian teman yang akan ditemui bisa dari berbagai kampus se-Jogja. Sama-sama bekerja secara suka rela, sama-sama tidak dibayar, berpedoman pada asas pertemanan dan totalitas kekeluargaan. Tetapi setelah hampir satu tahun merasakan mekanisme kepengurusan membuatku sedikit bertanya dalam hati “kenapa begitu kontras? Apanya yang beda?”
Karena komunitas yang pada dasarnya berbasis relawan, bebas dan tidak terikat mungkin membuat sebagian dari para anggota silih berganti menghilang dikarenakan kesibukan lain yang harus lebih diutamakan dan mejadikan hanya orang-orang itu saja yang berkontribusi. Lantas, bagaimana “jika orang-orang itu saja” suatu saat juga akan pergi? Bagaimana kelanjutannya? Mungkin akan muncul orang-orang baru dengan semangat yang sama, mungkin. Tetapi jangan khawatir, di setiap hal yang kurang pas pasti ada hal yang sangat pas. Karena komunitas yang besifat bebas dan tanpa tekanan membuat keluarga satu ini begitu nyaman. Berisi orang-orang itu saja membuat mereka semakin akrab, semakin solid, semakin saling menjaga satu sama lain, semakin mengingatkan satu sama lain, dan pastinya membuat segala hal tersebut menjadi sangat bermakna. Walaupun mulut mereka terkadang menyebalkan dengan segala macam bercandaan yang sebenernya nyindir alus. So, sebenarnya itu yang paling menyenangkan. Kami tidak perlu jaim satu sama lain. Ibaratnya “kamu belum bisa dibilang akrab jika kamu belum menunjukkan sisi paling jelek dalam dirimu di depan orang lain”
Ya, di Komunitas Jendela Jogja ini kamu akan sangat diterima dengan hangat dan tangan terbuka, kamu akan tetap diterima walaupun kamu tiap hari ke sekre menjadi penggangu, kamu akan tetap diterima walaupun kamu disana cuma numpang isi baterai hp, kamu juga akan tetap diterima walaupun kamu disana cuma numpang tidur, kamu juga akan tetap diterima walaupun kamu disana cuma ketemu anggota perempuan lain buat sesi curhat, dan tentunya kamu juga akan tetap diterima walaupun kamu kerjaannya cuma main lari-larian sama anak-anak kecil dan masih ada banyak kehangatan yang tidak bisa diceritakan, seperti ibarat “kamu pipis dicelana, hangatnya ya cuma kamu sendiri yang rasain”
Setelah sedikit cerita mengenai serunya bergabung di Jendela Jogja, kali ini aku akan cerita mengenai salah satu pengalaman di Komunitas Jendela Jogja.
Cerita ini dimulai dengan prolog usaha untuk mendapatkan siaran TV. Diawali dengan pengiriman e-mail tapi gagal, chats personal yang cuma di-read kemudian harus chats terus menerus setiap empat jam dan ketika ada balasan “hubungin nomer ini aja ya mbak,” setelah dihubungin ada balesan lagi “saya sedang tidak di Jogja mbak, coba ke nomer ini ya” Pada akhirnya karena sudah eneg dengan pelemparan tanpa bersalah dari mereka dan kejelasan pun tak kunjung datang, akhirnya dengan niat yang cuma setengah, ya setengahnya lagi langsung hilang ketika melihat panasnya Jogja haha, Senin, 30 Januari 2017 kami langsung mendatangi kantor stasiun televisi Jogja TV yang letaknya sekitar 30 menitan dari sekretariatan Komunitas Jendela Jogja. Ketika sampai di lokasi, ternyata hanya ada dua orang bapak-bapak yang sedang asyik mengobrol, lokasi sangat sepi selayaknya gedung kosong. Jangankan diperkenankan masuk, kedua bapak-bapak tersebut hanya menerima kami di pos satpam, dengan sedikit obrolan basa basi yang menitik beratkan “Pak mohon maaf, tolong proposalnya dipastikan sampai kebagian HRD ya pak. Terimakasih,” kemudian kami meninggalkan proposalnya disana. Eits, jangan senang dulu, hari itu kami membawa lebih dari satu tapi kurang dari sepuluh proposal. Jadi perjalanan masih sangat panjang.
Sehari berselang, Selasa, 31 Januari 2017 jam 19.23 WIB ada pesan masuk di telpon pintarku. Perlu beberapa menit untuk membukanya, ya karena tertumpuk dengan hampir selusin grup yang konsisten ramenya gak kelar-kelar. Yak, pesan itu dari humas Jogja TV, Mas Pras namanya. Dia mengabarkan bahwa kami mendapatkan slot live talkshow hari Rabu jam 15.00 sampai jam 16.00 di rubik “Bincang Hari”. Tunggu tunggu… kapan? Rabu? Berarti besok? Astaga ini lucu, mendadak bin banget. Belum ada persiapan apapun, belum nginfoin ke temen-temen yang lainnya, belum bikin poster promosi, belum prepare harus ngomong apa. Tanpa berfikir panjang, langsung info itu dilempar kegrup“ulang tahunnya Jendela”, for your information kalau dilempar via pribadi itu ribetnya akan berkali-kali lipat haha. Pembahasan di grup pun tak jauh-jauh dari “jadi, siapa yang mau berangkat?”setiap konten sedikit melebar, pengulangan “jadi, siapa yang mau berangkat?” pasti akan muncul. Perlu pengulangan empat kali sampai menemukan siapa yang akan berangkat dan akhirnya diputuskan ada empat orang yang berangkat. Seiring diskusi mengenai siapa yang berangkat, tim PDD pun langsung mengebut poster promosi dan langsung jadi malam itu juga. Keren kan, yang awalnya agak gak masuk nalar karena mendadak tapi dalam kurun waktu tiga jam semuanya terselesaikan.
Keesokan harinya, Rabu, 1 Februari 2017 pukul 13.00 WIB seperti perjanjian di awal, yang berangkat siaran kumpul terlebih dulu di Sekretariatan Jendela Jogja, tetapi uniknya, pukul 14.20 WIB satu orang baru datang, dua lainnya malah asyik nonton film dan satu orang yang lain sudah langung berada di lokasi Jogja TV. Ya, on time dikalangan anak muda itu hanyalah hoax belaka. Tepat pukul 14.40 kami bertiga tiba di lokasi, dengan sedikit persiapan tapi tanpa briefing pribadi, siaran live pun langsung dimulai. Karena siaran ini bertajuk talkshow, obrolan kami pun berlangsung sangat santai dan seru. Yang awalnya gugup karena bingung harus ngomong apa, semuanya menjadi hilang seketika melihat hostnya, eh bukan.. hilang seketika karena suasananya yang sangat cair. Dalam durasi satu jam siaran dibagi menjadi lima segmen berdurasi kurang lebih 8 menit dengan pertanyaan pertanyaan seputar Jendela Jogja dan Gumregah Ulangtahun ke – 6 Jendela Jogja. Saking cairnya, satu jam berlalu dan sampailah pada pertanyaan,“Jadi, apa harapan untuk Jendela kedepannya?” sebagai penutup acara. Secara garis besar harapan untuk Jendela adalah semoga semakin menginspirasi banyak anak muda, bisa terus berbagi, dan bisa terus berkembang.
Siaran pun selesai, kami bersalaman dengan tim produksi sebagai tanda ucapan terima kasih karena telah berkerja sama. Sayangnya, kami lupa berfoto bersama karena tim produksi harus kejar tayangan selanjutnya.
Dan ini lah cerita konyol dalam perjalanan pulang dari siaran, niat hati tiga di antara kami ingin makan bersama tapi apa daya ban bocor dan akhirnya terpisah satu sama lain, hujan deras ditambah angin dan mengakibatkan kami bertiga gak ada yang bisa beranjak dari posisi aman (neduh), tunggu-tungguan dan perasaan gak enak hati buat pulang duluan pun terjadi tetapi berakhir dengan percakapan para lelaki yang menurutku sedikit konyol tetapi beresiko.
“Mas dimana?”
“Di Angkringan”
“Angkringan Pak Wakino?”
“Iya”
“Tenane?”
“Lha yo ora” belum sempat membuka apa balasan berikutnya, iya belum sempat. tetapi dua di antara kami sudah menyimpulkan bahwa satu di antara kami bertiga telah sampai di sekre. Sepuluh menit kemudian setelah sampai di sekre, ternyata tidak ada tanda-tanda dia ada di sekre. Ya, dia terjebak hujan. Ya, dia gak bisa pulang padalah sebelum hujan deras harusnya dia bisa pulang. Ya, dia pulang jam 11 malam. Ya, kadang bercandaan itu harus lihat situasi. Kalau gitu.. yang sabar ya mas. Kemarin itu cobaan.
Dan inilah sedikit cerita dariku. Cerita mengenai apa yang membuatku masih tetap berada di tengah keluarga ini. Karena berada di komunitas ini tak sekedar panggilan hati, perlu banyak kerjasama dalam satu visi untuk terus mengembangkan potensi. Menurutku kenyamanan tidak lahir hanya dengan satu dua kali kamu berjumpa. Perlu pembiasaan diri yang sering, perlu keahlian menempatkan diri, kesenangan, dan partner yang tepat sehingga membuatmu tidak datang dan pergi. Karena datang dan pergi itu menyebalkan, seperti doi contohnya.
Writen by : Brylian Nandya