[Quote of the day]
“Ah tidak, ini menyenangkan. Kalau bukan karena tekad dan niat, mungkin raga saya sudah terdampar di atas kasur empuk berlapiskan selimut”
***
Ngemplak, 8 Oktober 2017
Semangat murni tidak dicari, melainkan diciptakan diri sendiri. Begitu kiranya saya mensugesti diri, sehingga energi pulih kembali tanpa harus berkata “tapi”. Langit sore ini mendung, putih mengepul bersama biru dan abu-abu, sebentar lagi hujan. Angin bertiup kesana-kemari, mengabarkan jalan sebelah telah basah, tak ada yang bisa berontak, kecuali merelakan dirinya ikut basah. Seharian berada di jalanan membuat saya gerah, mungkin inilah alasan mengapa hujan turun hari ini. Tapi menyebalkan, berkali-kali deras-reda yang membuat saya berkali-kali juga memakai-melepaskan mantel biru ini. Tidak apa-apa, pikir saya didukung memori tentang senyum-senyum kecil berjejeran jauh di sana.
Tidak apa-apa, kembali saya mengucapkan kalimat itu, ya meskipun hanya saya sendiri yang mendengarnya. Tidak masalah, ini hanya sebatas butiran air yang turun bersamaan, yang tak akan mengalahkan satuan semangat yang tentunya didukung niat dan tekad. Sejenak, konsentrasi mengemudi roda dua ini memudar, tergelincir dalam genangan-genangan yang disisakan hujan. Pukul 15.46 saya bergegas, berkali-kali menggelengkan kepala, mengusir rasa ingin tidur yang teramat dalam, kembali membangun konsentrasi mengemudi. Sampai.
Teman saya berjalan sendirian, sudah terlihat dari kejauhan. Dia tersenyum dan kita memulai perjalanan baru, menuju tempat yang penuh dengan semangat, saya kira. Kami membicarakan banyak hal, tentang rasa malas dan komitmen yang datang bersamaan namun mereka bertentangan. Lalu kami memutuskan rasa mana yang lebih mendominasi sehingga salah satu dari mereka menang, karena hidup memang harus memutuskan. Kali ini, saya dan teman saya memilih komitmen sebagai pemenang. Yang artinya saya harus menyusuri jalan panjang penuh kemacetan, yang artinya saya harus berbaur dengan hujan, yang artinya weekend saya harus terkorbankan, yang artinya saya harus terburu-buru agar tidak digerus waktu, dan yang artinya saya tidak boleh membuat mereka menunggu.
Sampai, tiga puluh menit membosankan. Ditambah lagi kami harus berjalan menuju tempat yang dimaksudkan. Penuh semangat, saya kira. Hujan, saya pikir melakukan sesuatu harus seperti hujan; yang jatuh tanpa penyesalan dan turun tanpa mengharap balasan. Saya dengar suara mereka dari kejauhan. Itulah yang saya maksudkan percikan semangat, yang tidak akan datang menghampiri, yang tidak bisa dicari, namun diciptakan sendiri. Untuk itulah saya menciptakan diri saya dengan penuh semangat, yang kemudian akan saya percikkan kepada sekeliling saya.
Ramai, ah tidak seramai biasanya. Tujuh orang relawan mematung di dalam, satu dua orang membiarkan dirinya menjadi seutuhnya “relawan” yang dengan semangatnya sendiri menyampaikan beberapa materi. Kali ini, ada teka-teki, dan juga mozaik yang memaksa anak-anak berpikir berkali-kali. Ah tidak, ini menyenangkan. Kalau bukan karena tekad dan niat, mungkin raga saya sudah terdampar di atas kasur empuk berlapiskan selimut. Tapi saya sudah memilih komitmen sebagai pemenangnya, yang artinya saya juga harus menerima resikonya.
Setelah menjawab teka-teki dengan penuh sorakan, akhirnya tangan-tangan kecil dengan wajah memerah itu disibukkan dengan potongan-potongan kertas warna-warni, yang harapannya dapat juga mewarnai hari-hari mereka. Satu persatu, dengan sabar dan ketelitian, kami turut membantu tangan-tangan kecil yang sibuk itu. Bercampur lem dan kertas merah jambu, lalu menyusunnya menjadi satu. “Mbak, bantuin aku dong, ini susah lho.” Satu suara terdengar pelan, jemarinya sibuk memilah warna sesuai yang disuka, saya tersenyum, lalu membiarkan diri saya ikut serta terlarut dalam potongan kertas berwarna itu.
Menyenangkan. Saya menatap erat sepasang mata di depan saya, rambutnya sepundak dibiarkan tergerai, katanya namanya Rasty, dia tersenyum, oh manisnya. Lalu saya ingat seorang teman berkata, jika seseorang memutuskan menyukai sesuatu, Ia harus terlebih dahulu tahu bagaimana cara menikmatinya. Dengan kata lain, harus mengetahui cara terbaik melakukannya sebelum akhirnya keliru menilainya. “Kamu harus tetap semangat!” Bisik saya diantara riuhnya suara tertawa. Lalu saya benar-benar merasakan bahwa semangat memang diciptakan, dan kali ini berasal dari niat dan tekad.
Written by Firda Afifah