Lompat ke konten

The Pursuit of Happyness: Apa pun Bisa Terjadi

“Saat itu aku mulai berpikir tentang Thomas Jefferson, Pendeklarasian Kemerdekaan (The Declaration of Independence), pada bagian: hak untuk hidup; merasakan kebebasan; dan mengejar kebahagiaan. Dan aku ingat saat itu aku berpikir: Bagaimana dia (Thomas Jefferson) tahu tentang mengejar hal ini (mengejar kebahagiaan)? Mungkin kebahagiaan adalah sesuatu yang hanya bisa kita kejar saja. Dan mungkin kita sebenarnya tidak pernah bisa memilikinya dengan cara apa pun. Bagaimana dia bisa tahu itu?”

– Chris Gardner (Will Smith [aktor], The Pursuit of Happyness, 2006)

The Pursuit of Happyness adalah film yang terinspirasi dari kisah nyata perjuangan Chris Gardner yang  awalnya penjual alat medis pemindai kepadatan tulang hingga menjadi pialang saham. Pemeran utama Chris Gardner dimainkan oleh aktor Will Smith. Di film ini, Will Smith juga berkontribusi sebagai produser. Selain itu, film yang rilis tahun 2006 ini menjadi debut Jaden Smith (anak Will Smith) sebagai pemeran Christopher sebelum film The Karate Kid.

Film The Pursuit of Happyness diawali dengan visualisasi suasana hiruk-pikuk pagi hari Kota San Fransisco di tahun 1981. Sebelum bekerja, Gardner memulai rutinitas seperti biasa, salah satunya mengantar Christopher menuju day care (tempat penitipan anak). Kata “happyness” muncul ketika ia mengomentari mural di tembok luarday care.

Setiap harinya, Gardner membawa alat pemindai tulang dan menawarkannya pada dokter-dokter yang ia rasa tertarik untuk membelinya. Perjalanan karir Gardner sebagai pialang dimulai ketika mendaftar Broker Trainee Program di Dean Witter Reynolds yang berdurasi 6 bulan. Di sisi lain, ia menyayangkan program magang tersebut tak memberinya gaji. Dengan demikian, Gardner harus menjual mesin pemindai tulang yang tersisa untuk menyambung hidup keluarganya.

Singkat cerita, pada masa program pelatihan pialang, Gardner mengalami masa-masa sulit. Setelah berpindah dari apartemen ke motel 1 kamar, ia dan Christopher harus terusir dari motel tersebut. Lagi-lagi, itu semua terjadi karena Gardner menunggak pembayaran sewa tempat tinggal.

Kondisi Gardner diperparah lagi ketika uang tabungan yang ada di rekeningnya diambil paksa oleh pihak perpajakan dan menyisakan 21 dollar, karena keterlambatannya membayar pajak. Alhasil, keterbatasan tersebut membuat mereka menjadi homeless sehingga memanfaatkan layanan sosial gereja untuk mendapat tempat tinggal sementara di malam hari.

Dengan uang yang tersisa, mau tak mau Gardner harus berusaha lebih untuk menjual alat medisnya yang tersisa. Sialnya, alat tersebut mengalami kerusakan karena sempat terbanting di stasiun subway. Ia mencoba memperbaiki alat tersebut seraya belajar materi-materi dari program pelatihan pialang saham.

Bagi Gardner, menjadi pialang hampir sama dengan salesman. Kuncinya terletak pada usaha untuk membuat yakin calon pembeli atau nasabah agar menginvestasikan uangnya pada sebuah produk. Pada prosestele-marketing, ia memberanikan diri untuk menawarkan produk investasi keuangan kepada calon pelanggan potensial yang berada di top level. Calon pelanggan tersebut memintanya datang ke kantor dengan segera, namun Gardner terlambat dan tidak dapat bertemu tepat waktu.

Sebagai ungkapan minta maaf, Gardner mencoba mendatangi rumah calon pelanggannya tersebut dan menawarkan gambaran portofolio produk Dean Witter Reynolds. Namun ternyata calon pelanggan tersebut belum ada cukup waktu karena akan pergi menonton American football bersama anak dan koleganya. Di sela-sela pertandingan, Gardner mencoba menawarkan kembali produknya, namun ditolak secara halus.

Meski tidak berhasil, Gardner mendapatkan keuntungan lain, yakni memperoleh kartunama kolega dari calon pelanggan di tribun VIP tadi. Tak patah semangat, di lain waktu, ia mencoba menghubungi orang-orang yang ia dapat kartu namanya. Beberapa di antaranya tertarik dan Gardner mendapatkan closing penawaran.

Waktu program pelatihan pialang hampir usai, Gardner diminta oleh manajernya untuk menemui direksi. Ia diumumkan diterima sebagai karyawan di Dean Witter Reynolds. Saking bahagianya, dia langsung bergegas menuju day care untuk menjemput Christopher. Gardner mengajak anaknya jalan-jalan dan bersenda gurau dengan cerita kecil. Di akhir film, terdapat sebuah epilog bahwa setelah memulai karirnya di Dean Witter Reynolds, Gardner mendirikan firma investasi dengan nama Gardner Rich di tahun 1987. Pada 2006, Gardner menjual minoritas saham firmanya dengan valuasi berjuta-juta dollar.

Kalimat yang muncul ketika selesai menonton film ini adalah anything can happen for them who pursue their happiness. Seperti halnya Gardner yang mengejar perasaan bahagia melalui tekadnya mengikuti program pelatihan pialang dan akhirnya berhasil menjadi karyawan tetap.

Setiap orang pasti memiliki definisinya sendiri tentang kebahagiaan. Jadi untuk Jendelist semua, apa arti kata bahagia menurut kalian? Yuk kejar bahagia menurut Jendelist masing-masing. Mari buktikan kalau bahagia itu bukan sekadar mitos. Keep it up.

[Isa, Kotabaru]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *