Waktu shalat dzuhur tiba. “Ayo adik-adik kita shalat dulu di mushala belakang”, seru Kak Fathya yang hari itu bertugas mengisi materi.
Hari ini adalah hari kedua aku bergabung dengan Komunitas Jendela Jakarta, tepatnya bulan Maret 2016. Sebagai relawan baru, aku masih canggung dan beradaptasi dengan kegiatan rutin yang dilaksanakan, dengan adik-adik dan relawan pun belum terlalu kenal, sehingga hanya bisa mengamati dan sedikit membantu.
“Hei, ayo shalat dulu, nanti dilanjutkan lagi belajarnya”, sambil bangun dari duduknya Kak Tiara mengarahkan adik-adik untuk bergegas ke mushala, namun ia tidak ikut ke mushala. “Kok Kakak nggak ikut shalat?”, celetuk salah satu adik, Kak Tiara hanya membalas dengan senyum.
Dalam hati aku bergumam, bagus juga ya komunitas ini, tidak hanya mementingkan Intellegence Quoutient (IQ) tetapi juga menjaga dan meningkatkan Spiritual Qoutient (SQ) adik-adik. Kemudian aku coba membantu menuntun adik-adik untuk ke mushala untuk shalat berjama’ah.
Selesai shalat, kegiatan pun dilanjutkan hingga menjelang ashar. Seperti biasa setelah kegiatan selesai, dilakukan evaluasi sekaligus penentuan untuk pengisi materi di pertemuan selanjutnya. Saat asik membahas evaluasi kegiatan hari ini, kumandang adzan ashar terdengar. “Udah adzan, shalat ashar dulu aja,” interupsi Kak Tiara.
Semenjak dhuhur dan sampai ashar ini sebenarnya aku sedikit memperhatikan Kak Tiara, dia sangat antusias untuk mengingatkan shalat, tapi kenapa dia tidak ikut shalat. Aku berhusnuzhan, oh mungkin dia sedang halangan.
Hari-hari berlalu.
“Kak, ayo shalat,” aku mengajak Kak Tiara untuk shalat zhuhur, karena menurut perhitungan sewajarnya wanita berhalangan, harusnya hari ini kak Tiara sudah tidak berhalangan. Namun Kak Tiara hanya membalas dengan senyum dan berkata “Iya silakan, duluan.”
Kenapa Kak Tiara nggak shalat ya? Bukannya harusnya dia udah nggak halangan? Atau dia males? Padahal kemarin-kemarin dia semangat banget nyuruh adik-adik shalat. Hmmm.
“Heh, lo tadi ngajak Tiara shalat?” tanya Kak Ferdi setelah kami selesai shalat sambil berjalan ke perpustakaan.
“Iya, Mas,” jawab ku singkat.
“Dia non Islam tau,” bisik Kak Ferdi sambil sedikit menertawaiku.
“Astaghfirullah, serius Mas?” tanya ku memastikan ucapan Kak Ferdi.
“Iya,” jawab Kak Ferdi.
Terjawab sudah pertanyaanku sebelumnya, kenapa Kak Tiara tidak shalat padahal dia sudah tidak berhalangan.
Hari-hari berikutnya aku nggak pernah lagi mengajak Kak Tiara shalat, tentunya. Tapi ternyata Kak Tiara tetap seperti biasa, sangat antusias untuk mengingatkan dan mengarahkan adik-adik serta kakak-kakak relawan untuk shalat.
Bertahun-tahun hidup di lingkungan mayoritas muslim, membuat aku menjadi lebih terbuka tentang arti toleransi sebenarnya, khususnya dalam hal beragama. Toleransi bukan hanya kita mengakui adanya perbedaan di antara sesama, baik suku, agama, ras, dan budaya. Lebih jauh dari itu, toleransi adalah bagaimana kita memahami adanya perbedaan agar kita bisa saling menghormati dan tidak saling mengganggu.
Sikap toleransi yang ditunjukkan Kak Tiara, menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kami para relawan, khususnya aku, dan juga adik-adik. Keberagaman suku, agama, ras, golongan, tidak menjadi pengahalang bagi kami untuk bersatu, bekerja sama untuk menjalankan setiap kegiatan yang diadakan Komunitas Jendela Jakarta. Justru keberagaman ini menjadi pondasi yang kokoh terwujudnya persatuan di antara kami.
Pernah suatu ketika seorang adik bertanya, “Kak, kakak kenapa nggak shalat? Kakak bukan orang Islam ya?”. Pertanyaan mudah yang tentunya juga memiliki jawaban mudah jika si penanya sudah cukup dewasa dan mengerti apa artinya perbedaan agama. Tapi buat adik-adik, perlu jawaban dan penjelasan yang baik dan tepat supaya tidak menimbulkan salah persepsi.
Toleransi menjadi sangat penting bagi Komunitas Jendela, mengingat relawan dan adik-adik yang tergabung berasal dari berbagai macam latar belakang. Bukan hanya untuk relawan, tetapi adik-adik lebih membutuhkan. Bagaimana kita bisa menjelaskan dengan baik dan benar apa itu perbedaan agama, bagaimana kita harus saling menghormati dan menghargai umat beragam lain, bagaimana perbedaan agama tidak menjadi penghalan bagi adik-adik untuk tetap bisa berteman dan bermain bersama.
Terima kasih Kak Tiara. Terima kasih Komunitas Jendela.
(Fathul Hilal, Jendelist Jakarta)