Lompat ke konten

Yang Rela dan Yang Bahagia

Yang Sadar

Konon, ada perbedaan antara hidup secara sadar dan hidup secara tidak sadar. Hidup secara sadar mensyaratkan kita melewati momen dengan “hadir” secara utuh. Menyertakan hati dan pikiran. Sensasinya seperti ketika kamu sedang duduk, diam, melihat jari-jemarimu. Kamu gerakkan kelingkingmu pelan, lalu jari manis, jempol, lalu semuanya, kiri dan kanan. Kamu sadar ternyata jemarimu mengikuti kehendak pikiranmu. Merasakan setiap gerakannya. Rasanya ajaib. Lalu kamu menggerakkan telapak tanganmu menyentuh ubin. Dingin. Lalu kamu sadar tentang betapa banyak hal yang mampu dilakukan tanganmu. Pernah digunakan mencubit pipi keponakanmu yang lucu. Lalu keponakanmu merengut dengan ekspresi sebal yang dibuat-buat. Menggemaskan. Suatu ketika di sebuah trotoar, kamu menyaksikan anak seusia keponakanmu. Tangan anak kecil itu membawa gelas plastik berisi uang receh. Anak itu menyimpan ekspresi lucu yang sama. Wajah polos yang sama. Hanya saja kepulan debu dan asap kendaraan banyak menempel di wajah dan pakaiannya. Lalu kamu sadar. Hidup keponakanmu dan anak kecil itu sedang dibedakan nasib. “Sedang dimana tangan yang lebih beruntung?” kamu bertanya.

Kini kamu bersua dengan kesadaranmu. Akibatnya kamu lebih menyadari keberadaan diri, lingkungan, dan denyut irama di sekelilingmu. Dengan kesadaran baru itu kamu menjadi lebih peka dan perhatian. Kamu perhatikan di ujung jalan itu ada orang-orang. Ada kendaraan yang lalu-lalang. Ada pepohonan. Pergantian siang dan malam. Ada elemen-elemen yang saling bertautan. Singkat cerita, kesadaran mewarnai persepsimu tentang hidup.

Yang Ikhlas

Sampai disitu, bicara tentang persepsi, selain kesadaran konon perasaan ikhlas juga berdaya mempengaruhi persepsi hidup. Bahkan mereka berkaitan. “Setelah sadar lalu ikhlas”, kata seseorang. Seolah memberi syarat bahwa untuk menjadi ikhlas, seseorang harus terlebih dahulu menjadi sadar. Tapi ikhlas itu apa? Suatu kali saya membaca buku berjudul Quantum Ikhlas.  Dikatakan disana bahwa ikhlas mewujud melalui perasaan. Yaitu perasaan damai, sabar, mudah bersyukur, tawakal, dan menyerahkan urusan kepada Tuhan setelah berupaya maksimal. Lalu bagaimana perasaan ikhlas bisa mempengaruhi persepsi hidup ? Di buku tersebut saya juga menemukan paragraf ini :

 “Segala sesuatu akan menarik pada dirinya segala hal yang satu sifat dengannya. Itu lah The Universal Law of Attraction, atau hukum daya tarik menarik….Ini juga menjelaskan mengapa orang yang selalu merasa sial (sering mengumpat) justru sering mengalami kesialan, sementara orang yang selalu merasa beruntung dan menikmatinya (bersyukur) akan sering mengalami keberuntungan.”

Paragraf di atas barangkali sejalan dengan pemikiran The New Thought Movement. New Thought adalah sebuah gerakan filosofis yang berkembang di Amerika Serikat pada abad ke 19. Filsafat New Thought percaya bahwa manusia adalah makhluk spiritual. New Thought mengenal hukum tarik menarik dimana keadaan mental seseorang termanifestasi dalam pengalaman sehari-harinya. Sederhananya, jika berpikir positif kamu akan mendapat pengalaman yang positif. Jika berpikir negatif  kamu akan mendapatkan yang sebaliknya.

Sesungguhnya komunitas ilmiah menggolongkan The Law of Attraction ini sebagai pseudoscience. Yakni sesuatu yang “konon katanya ilmiah” namun belum didukung oleh bukti-bukti ilmiah. Orang Indonesia menyebutnya ilmu semu, sebutan yang juga dipasangkan dengan ramalan bintang dan klenik.

Diluar The Law of Attraction, dari panggung psikologi tema keikhlasan tampil sepanggung dengan kecemasan. Kecemasan disebut berkorelasi dengan ketenangan jiwa. Mereka yang cemas adalah mereka yang jiwanya tidak tenang. Disini  keikhlasan menawarkan diri sebagai obat ajaib untuk mengeliminasi kecemasan.

Dengan demikian perasaan ikhlas dengan segala sifat baiknya disebut-sebut akan menarik berbagai kebaikan hidup. Sesuai The Universal Law of Attraction, seandainya hukum ini benar adanya. Ia akan membuat hidup terasa mudah. Terasa menyenangkan. Di titik ini saya mendapat kesan bahwa perasaan ikhlas dianggap sebagai kunci kehidupan yang tenteram.

Antara yang Sadar, yang Ikhlas, dan yang Rela

Saya punya imajinasi begini. Orang yang sadar penuh atas hidupnya, kemudian ikhlas, mestinya mudah menjelma barisan orang-orang yang rela (baca : relawan). Ini adalah imaji yang tumbuh di pikiran saya tentang “mereka-mereka yang rela” itu. Tentang relawan. Bahwa mereka akan mudah ditemui berkerumun dan menyebar pada jalan hidup yang demikian. Saya pikir kesadaran yang menghadirkan mereka secara utuh dalam hidup bisa membuat mereka menghayati konsekuensi. Konsekuensi itu mengekori berbagai aksi mereka untuk diri sendiri dan lingkungan mereka. Sedangkan keikhlasan yang baik itu bisa  mendatangkan selubung perasaan hati yang baik-baik. Sebutlah rasa syukur, damai, dan sabar sehingga mereka tak menanggung derita saat harus berkorban. Dengan segenap urusan bantu-membantu itu. Mengayomi. Mengupayakan keadilan bersama. Menyelamatkan. Menabur kegembiraan disana-sini. Saya pikir mereka akan tertuntun memilih jalan hidup tersebut.

Imajinasi lain saya mengatakan tak ada yang terlalu mutlak tentang manusia dan pilihan-pilihan kita. Saya pun berandai-andai bahwa kronologinya akan sering terbalik. Ibaratnya kegiatan kerelawanan adalah belajar berenang. Maka ada orang yang karena mencintai air, akhirnya memilih belajar berenang. Sebaliknya ada orang yang semula belajar berenang demi pengalaman baru, akhirnya jadi menyukai air. Lebih dari itu, keduanya sama-sama belajar berenang dengan senang hati.

Ujungnya, konon selama “belajar berenang”, mereka menemukan cinta pada jalan hidup yang mereka pilih itu. Sebuah tujuan. Semacam jenis cinta yang membuat hidup mereka lebih utuh. Lalu bahagia.

 

Oleh : Teguh Arya Pamungkas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *